Sebagai makhluk berintelegensi tinggi, manusia menggunakan kekuatan berpikirnya untuk melakukan perubahan. Hasil-hasil itu dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran filsafat, kepercayaan, kebudayaan, atau teori-teori ilmiah ilmu pengetahuan. Manusia juga butuh komunikasi.

Manusia tidak hidup sendiri. Ia hidup bersama manusia lain dan saling mengekspresikan pemikirannya. Untuk itu, manusia berkomunikasi dengan sesama lewat suatu sistem lambang bunyi atau bahasa secara lisan atau lewat gerak-gerik tubuh. 

Lebih lanjut, selain mengekspresikan pemikirannya, manusia melakukan komunikasi untuk memupuk relasi dengan manusia lain, menyampaikan emosi dan perasaannya, menegaskan identitas, bahkan juga untuk memengaruhi manusia lain.

Dengan demikian, komunikasi adalah fundamental penting bagi kehidupan manusia. Melalui siniar (podcast) OBSESIF musim keempat edisi Wrapped Up bertajuk “Komunikasi dan Masyarakat Digital”, kita akan diingatkan lagi tentang arti penting komunikasi dalam hubungan sosial dan ilmiah, hingga realitas terkini umat manusia sebagai masyarakat digital. 

Komunikasi, fundamental kehidupan manusia

Deddy Mulyana, Profesor Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar mendefinisikan komunikasi secara etimologis. Berasal dari Bahasa Latin, communis yang berarti “sama”, lalu menjadi communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama”. 

Hal itu dapat terjadi apabila terdapat kesamaan antara pengirim dan si penerima pesan. Oleh karena itu, komunikasi bergantung dari kemampuan seseorang untuk dapat memahami satu dengan lainnya.

Akan tetapi, tahukah kamu bahwa ada kemampuan komunikasi khusus yang dilakukan untuk skala besar? Kemampuan tersebut dinamakan public speaking.

Public speaking

Salah satu kemampuan berkomunikasi adalah public speaking atau berorasi. Komunikasi yang bersifat formal ini disampaikan kepada khalayak ramai untuk mempresentasikan suatu topik. Perlu penguasaan informasi yang jelas dan teknik berbicara yang tepat agar efektif melakukannya.

Banyak keuntungan yang bisa didapatkan ketika seseorang memiliki kemampuan komunikasi ini. Cut Jihan Shavira, public speaker dan Delegasi Resmi untuk Harvard National MUN 2020, memberikan tips public speaking yang bisa dipelajari.

Sebelum lebih lanjut memberikan tips, Cut terlebih dulu menyebutkan apa sebab orang sulit mempelajari public speaking, yaitu rasa gugup. “Kita gugup karena kita takut melakukan kesalahan,” ungkapnya. Ia menambahkan rasa takut itu disebabkan adanya risiko-risiko yang dapat terjadi, seperti ditertawakan, malu, tidak nyaman, dan lain sebagainya.

Untuk dapat mengatasi rasa takut akan risiko, menurutnya, rasa gugup adalah faktor yang harus diatasi. “Caranya gimana? Dengan mengubah mindset bahwa hal yang kita takuti dari risiko tadi itu sebenernya dampaknya lebih kecil daripada kemungkinan benefit yang akan kita dapatkan ketika kita berhasil melakukan sesuatu,” ujarnya.

Akan tetapi, ruang-ruang untuk mengekspresikan kemampuan public speaking kini terancam bereduksi akibat era disrupsi pandemi. 

Komunikasi era disrupsi pandemi

Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan masif, peradaban manusia kini memasuki suatu era yang dinamakan disrupsi. Istilah disrupsi ini pertama kali dicetuskan sebagai disruptive innovation oleh Joseph L Bower  dan Clayton M Christensen dalam artikelnya bertajuk “Disruptive Technologies: Catching the Wave” di Harvard Business Review 1995.

Secara umum, era disrupsi merupakan masa ketika manusia mengalami inovasi dan perubahan secara masif, “mengganggu” tatanan hidup lama, bahkan terjadi lebih cepat dari kemampuan adaptasi. Salah satu contoh era disrupsi yang sedang terjadi adalah pandemi Covid-19.

Pandemi ini merubah cara hidup umat manusia dengan begitu masifnya. Manusia kini dituntut untuk merubah gaya hidupnya untuk menerapkan protokol kesehatan: mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak satu sama lain. 

Selain itu, manusia dituntut untuk merubah sistem berelasi dan berkomunikasi, yang sebelumnya dilakukan secara bebas lewat tatap muka, sekarang lebih banyak dalam jaringan lewat program software telekonferensi. 

Baca juga:

Kendati demikian, manusia tetaplah harus berkomunikasi untuk melanjutkan kehidupan, salah satu caranya adalah lewat komunikasi digital seperti telekonferensi. 

Harry Febrian, seorang Digital Media Researcher dan PhD Candidate di RMIT University, memberikan tips-tips berkomunikasi pada era disrupsi akibat pandemi ini.

“Pertama, menunjukkan adanya usaha untuk mendengarkan rekan yang sedang berbicara,” Harry. Dengan mendengarkan, kita menghargai usaha penyampai pesan ketika mengekspresikan idenya.

“Kedua, menunjukkan adanya usaha untuk berfokus pada kelu-kelu nonverbal,” sambungnya. Menurut Harry, 60 sampai 80 persen komunikasi ternyata berbentuk nonverbal, seperti ekspresi wajah, gestur tangan, dan lain sebagainya. Hal itu bisa membantu meminimalisasi kesulitan membangun relasi komunikasi digital.

Artikel ini ditulis dari episode “Komunikasi dan Masyarakat Digital” yang dapat Anda dengar lebih lengkap melalui podcast OBSESIF edisi Wrapped Up. Episode tersebut menghimpun episode-episode OBSESIF musim keempat yang bertemakan komunikasi, ilmiah, dan masyarakat digital.

Atau jika kamu ingin lebih tahu tips-tips seputar soft skill esensial, berwirausaha, atau isu sosial lainnya, dengarkan siniar OBSESIF di Spotify atau akses melalui tautan berikut https://dik.si/obs_wrapup2.

Penulis: Fauzi Ramadhan dan Brigitta Valencia Bellion