Rasa penasaran atau curiosity merupakan sifat yang berkaitan dengan keingintahuan terhadap sesuatu. Ketika rasa ini muncul, seluruh panca indera, seperti penglihatan dan pendengaran, menjadi sangat peka untuk membuktikannya. Untuk itulah komunikasi ilmiah diperlukan.

Di masa ketidakwarasan akibat pandemi ini, sering kali muncul rasa penasaran tentang apa yang sedang terjadi, entah itu isu vaksin, varian baru virus, atau obat-obatan. Kemudian, kita mencari tahu hal tersebut lewat internet, buku, atau media informasi lainnya.

Dalam pencarian tersebut, terkadang kita menemukan beberapa istilah ilmiah atau sains yang agak sulit untuk dipahami. Meski begitu, dengan pembacaan berulang, kita jadi memahami apa substansi yang diinformasikan. Walau terkadang kita masih bingung setelah membaca berulang kali, itu tetap dinamakan sebagai proses pembelajaran.

Namun, jangan khawatir, karena dalam episode siniar (podcast) OBSESIF bertajuk “Winona Wijaya: Komunikasi Ilmiah Vs. Opini, Samakah Pentingnya?”, Winona Wijaya PhD, mahasiswa Science Environmental Microbial Ecology Nanyang Technological University Singapore membahas perihal bahasa-bahasa ilmiah tersebut.

Scientific communication

Rupa-rupanya, bahasa-bahasa ilmiah atau sains yang kita temukan adalah suatu informasi yang diklasifikasikan sebagai suatu scientific communication atau komunikasi ilmiah.

Dikutip dari situs Newcastle University Library, komunikasi ilmiah merupakan praktik pengomunikasian ide, metode, pengetahuan, dan penelitian ilmiah kepada audiens non-ahli secara mudah diakses, dipahami, dan bermanfaat. Secara praktis, komunikasi ilmiah merupakan bidang multidisiplin yang sedang berkembang di ranah sains.

Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Winona secara ringkas. “Scientific communication adalah mengkomunikasikan pengetahuan ilmiah sehingga orang lain bisa mengerti. Orang lain yang dimaksud tidak hanya peneliti, tetapi spesialis penelitian lain, atau bahkan masyarakat awam hingga anak kecil sekalipun,” ujarnya.

Masyarakat dan problematikanya

Menurut artikel riset berjudul “The Sciences of Science Communication” oleh Baruch Fischhoff, komunikasi ilmiah bertujuan untuk menginformasikan produk sains atau ilmu pengetahuan kepada masyarakat.

Komunikasi ini diperlukan sebab produk sains telah hadir di kehidupan masyarakat. Misalnya saja teknologi listrik pintar, metode ketahanan pangan, dan lain sebagainya. Menurut Fischhoff, masyarakat perlu memiliki pemahaman sains yang baik agar kelak dapat membuat keputusan tepat atas suatu permasalahan.

Terlebih, sering kali politisi membuat suatu keputusan sains yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak.

Akan tetapi, bagaimana komunikasi ini merespons problematika yang mengakar dalam masyarakat, seperti isu perubahan iklim, rasialisme, dan kelaparan global?

Winona menjawab pertanyaan ini dengan dua perspektif. “Kita melihat dari sisi orang yang berusaha solve the problems, juga dari sisi orang yang dirugikan,” ujarnya.

Menurut Winona, bagi orang atau kelompok yang berusaha solve the problems, seperti akademisi dan politisi, perlu adanya komunikasi yang baik antarpihak. Misalnya, ketika berusaha mengentaskan isu perubahan iklim, pihak yang berjalan tidak hanya dari akademisi lingkungan, tetapi juga pemegang kebijakan atau politisi.

“Jadi, untuk men-solve suatu problem dari banyak disiplin (seperti ini), mereka harus saling communicate, masalah dari sisi lo apa, dari sisi gue apa. Ketika masing-masing sudah mengkomunikasikannya, maka mereka bisa mencoba untuk solve the problem bareng-bareng,” tambahnya.

Dari perspektif yang dirugikan, Winona mengungkapkan komunikasi ilmiah membantu untuk menciptakan suatu mitigasi masalah yang bersifat jangka panjang dan efektif bagi masyarakat.

Penggunaan komunikasi ilmiah

Ketika membahas boleh atau tidaknya komunikasi ilmiah digunakan secara publik, Winona mengungkapkan, kini sudah banyak nonakademis, seperti masyarakat, yang sudah menggunakan komunikasi ilmiah. Namun, bentuk komunikasi ilmiahnya bersifat umum, bukan seperti pada konferensi ilmiah.

Contoh pelaku komunikasi ilmiah oleh masyarakat adalah jurnalis atau pewarta foto. “Mereka bukan dari akademisi, melainkan bisa dibilang science journalist,” ujar Winona.

I guess, justru bagus dengan adanya lebih banyak orang yang mengkomunikasikan sains yang benar, supaya juga bisa meningkatkan literasi masyarakat,” tambahnya.

Kembali ke pertanyaan boleh atau tidaknya komunikasi ilmiah digunakan secara publik, Winona mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dilarang sebab masifnya penggunaan teknologi. Masyarakat bisa saja menyaksikan suatu video ilmiah, lalu menyebarkan informasi ilmiah yang terkandung bersama pandangannya mengenai informasi tersebut.

Hal tersebut sudah termasuk suatu tindakan komunikasi ilmiah. Namun, Winona mengingatkan bahwa komunikasi ilmiah yang dilakukan harus secara bertanggung jawab dan benar.

Potongan memahami komunikasi ilmiah di atas dapat Anda dengar lebih lengkap melalui siniar (podcast) OBSESIF berjudul “Winona Wijaya: Komunikasi Ilmiah Vs. Opini, Samakah Pentingnya?”.

Untuk mendengarkan lebih lengkapnya atau ingin lebih tahu tips-tips seputar soft skill esensial, berwirausaha, atau isu sosial lainnya, dengarkan siniar OBSESIF di Spotify atau akses melalui tautan berikut https://dik.si/obsesifS4E11.

 

Penulis: Fauzi Ramadhan dan Brigitta Valencia Bellion

Baca juga : Pentingnya Mengendalikan Persepsi Sebagai Fondasi Diri.