Dalam proses pembuatan kapal pinisi, paduan antara keterampilan tradisional dan modern sangat dibutuhkan, selain ketelitian dan kesabaran. Tidak hanya itu, dalam proses pembuatannya juga melibatkan ritual-ritual tradisional karena memang kapal ini tidak hanya sekadar alat transportasi.
Ritual dalam membangun kapal pinisi
Bagi masyarakat Bugis, pembuatan kapal pinisi seperti proses pro-kreasi. Yang proses awalnya merupakan penyatuan dua buah kayu besar sebagai lunas atau induk badan kapalnya. Ini merupakan simbol bersatunya suami dan istri.Dari induk badan ini, pembuatan rangka kapal dan bagian kapal lainnya mulai dikerjakan. Menariknya, pembuatan kapal ini dilakukan tanpa blueprint dan telah dilakukan turun-temurun.
Pembuatan kapal pinisi di Bulukumba misalnya. Sebelum memulai pembuatan, akan digelar ritual dipimpin oleh seorang punggawa yang juga bertindak sebagai kepala perajin.
Dalam melakukan pemotongan kayu, lunas atau bagian terbawah kapal, diposisikan menghadap timur laut. Simbolisasi kayu ini melambangkan tulang rusuk, yakni bagian depannya adalah laki-laki dan bagian belakangnya adalah perempuan.
Lunas itu kemudian dibacakan mantra dan kemudian pemotongan dilakukan dengan gergaji mesin. Proses pemotongan ini harus dilakukan satu kali jadi, tak boleh berhenti di tengah jalan.
Mengutip Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, dan Sastra berjudul Bentuk dan Makna dalam Ritual Pembuatan Kapal Pinisi di Kabupaten Bulukumba, ritual ini mewakili nilai budaya dan spiritual mendalam masyarakat Bugis.
Selama ritual, masyarakat setempat ikut terlibat, mulai dari pemilihan pohon yang tepat hingga pemasangan tiang kapal. Dalam prosesnya, masyarakat melibatkan pemimpin spiritual untuk memohon berkat dan perlindungan bagi kapal yang dibuat. Secara budaya, kerja sama ini memperkuat ikatan sosial antar-anggota masyarakat.
Setelah selesai, proses peluncurannya ke laut ibarat proses kelahiran bayi. Seorang panrita lopi atau pemimpin masyarakat akan membacakan doa. Sebelum diluncurkan ke laut, masyarakat juga melakukan upacara Appasili untuk menolak bala dan akan dilanjutkan pada pagi hari dengan upacara Barzanji hingga selesai di acara puncak Ammossi sebagai penutup.
Prosesi kendurian juga dilakukan terus-menerus, mulai dari awal pembuatan, pembuatan lambung kapal, dan peluncuran. Dalam pembuatannya, posisi kapal memang sudah langsung dihadapkan menuju laut.
Pada proses pelepasan kapal ke lautan, ritual unik secara tradisional masih tetap dilakukan. Ratusan warga akan menarik dan menyeret kapal pinisi mencapai laut dengan menggunakan tambang.
Baca juga :
- Mengenal Karakteristik Kapal Pinisi yang Khas dari Indonesia
- Antara Bitti, Pinisi, dan Wisata Bahari
- Menyelami Keindahan Hamparan Karang di Taka Bonerate
Tahap pembuatan kapal pinisi
Secara garis besar, pembuatan kapal pinisi bisa dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Pencarian kayu
Sebelum mencari kayu, pencarian hari baik dilakukan. Hari baik ini biasanya dipilih pada hari ke-5 atau 7 pada bulan pembuatan kapal. Pencarian hari baik ini memiliki tujuan dan harapan agar rezeki selalu didapatkan. Sehingga proses pembuatan kapal dilancarkan.
2. Tebang, keringkan, potong
Dalam pembuatan kapal pinisi, kayu yang digunakan adalah kayu besi, bitti, kondela atau punega, dan jati. Setelah menemukan kayu tersebut, kayu kemudian dikeringkan dan dipotong sesuai dengan bagian kapal. Setelah itu, proses perakitan dimulai.
Dalam memilih kayu, materialnya harus benar-benar diperhatikan kualitas dan umurnya. Kapal pinisi yang lebih besar membutuhkan umur kayu yang semakin tua. Standar untuk kapal berukuran besar, kayu yang dibutuhkan paling tidak harus berumur 50 tahun. Sementara untuk kapal kecil hanya dibutuhkan yang berusia 25 tahun saja.
3. Pelepasan ke laut
Setelah melalui beragam upacara, pada siang hari kapal akan diluncurkan. Pesta pun kembali diadakan oleh pemilik kapal. Tujuannya, untuk menghormati dan memberikan penghargaan kepada orang-orang yang telah membantu pembuatannya.
Pembuatan kapal pinisi bisa memakan waktu hingga 6 bulan dan melibatkan 5-10 orang. Semakin sedikit orang yang bekerja, maka tradisi percaya bahwa nilai seni dari perahu akan semakin tinggi.
Pembuatan kapal pinisi juga tidak murah. Satu kapal pinisi bisa mencapai Rp 2 miliar sampai Rp 12 miliar.
Kapal pinisi telah ditetapkan Badan Kebudayaan Dunia (UNESCO) sebagai Warisan Budaya Tak Benda (intangible cultural of humanity) pada 7 Desember 2017 di Sidang ke-12 Komite Warisan Budaya Tak Benda UNESCO di Pulau Jeju, Korea Selatan.