Digdaya di samudra menjadikan namanya melegenda dalam kidung kehidupan bahari. Ia bertransformasi sesuai tuntutan zaman. Jika dulu dikenal sebagai kapal dagang, kini identik sebagai kapal wisata bahari. Menautkan kehidupan lampau dan kini, siapa yang tak kenal kapal pinisi?

Bangsa Indonesia mengakui bahwa nenek moyang mereka adalah pelaut andal. Berbagai catatan sejarah mendukung hal ini. Diperkirakan, para penjelajah laut dari Nusantara telah menginjakkan kaki di benua Afrika melalui Madagaskar sejak awal Masehi.

Tanpa kompas, apalagi teknologi global positioning system (GPS), nakhoda kapal mengarahkan kemudi dengan mengandalkan alam sebagai navigasi. Membaca bintang dan bulan, mengamati pola pergerakan awan, dan menyimak arah angin adalah cara untuk mengarungi lautan luas.

Kapal pinisi, hasil karya Suku Bugis-Makassar, menjadi penanda ketangguhan tradisi bahari Nusantara. Kapal kayu tradisional yang dibuat dengan tangan ini tak hanya memamerkan keindahan arsitekturnya, tetapi juga menampilkan kecanggihan ilmu pembuatan kapal tradisional.

Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini biasanya memiliki 2 tiang layar utama dan 7 layar yang dibagi di 3 tempat. Layar dan embusan angin menjadi tenaga penggerak utama.

Diperkirakan telah digunakan sejak abad ke-14, kapal pinisi berfungsi sebagai kapal pengangkut barang. Seluruh bagian kapal terbuat dari kayu dan dirangkai tanpa menggunakan paku. Kayu bitti menjadi bahan utama pada pinisi, yang digunakan untuk membuat rangka lambung kapal. Selain karena karakter alaminya yang cenderung melengkung, kayu bitti juga tidak disukai cacing laut sehingga ideal sebagai bahan pembuat lambung kapal. Selain kayu bitti, kayu jati dan kayu ulin juga digunakan untuk membuat pinisi.

Butuh waktu minimal setahun untuk membangunnya, yang setiap tahapannya disertai dengan rangkaian upacara adat. Mulai dari pemilihan kayu, penebangan, awal pembuatan, hingga saat diluncurkan pertama kali ke perairan. Meski dibuat secara tradisional, selama ratusan tahun, kapal ini terbukti mampu bertahan dari terjangan ombak dan badai di lautan lepas.

Transformasi

Ukuran kapal pinisi tidak main-main. Memiliki panjang berkisar 15-40 meter, terdiri atas 2–3  lantai, kapal pinisi merupakan satu-satunya kapal kayu besar peninggalan masa lalu yang masih diproduksi hingga hari ini. Keahlian membuat kapal kayu ini diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, yang bisa disimak langsung saat bertandang ke Bulukumba, Sulawesi Selatan, sekitar 5 jam berkendara dari Makassar.

Ada tiga desa utama yang bisa disambangi, yakni Desa Ara, Bira, dan Tanah Lemo. Penduduk di tiga desa tersebut mendedikasikan hidup untuk membuat kapal pinisi, yang per kapal minimal seharga Rp 1 miliar. Mengapa ada di tiga desa itu?

Seperti yang tertulis dalam naskah lontar, pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, putra mahkota Kerajaan Luwu, pada abad ke-14. Ia menggunakannya untuk berlayar ke China, demi meminang We Cudai, putri dari China.

3110-LANGGAM-PINISI_4
3110-LANGGAM-PINISI_3
3110-LANGGAM-PINISI_2
3110-LANGGAM-PINISI_1
3110-LANGGAM-PINISI_5

Setelah berhasil memperistri We Cudai, ia bermaksud kembali ke kampung halamannya. Namun menjelang masuk perairan Luwu, kapal diterjang ombak besar. Pinisi pun terbelah tiga dan terdampar di Desa Ara, Tanah Lemo, dan Bira. Masyarakat ketiga desa ini kemudian merakit pecahan kapal lalu menjadi ilmu yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Tumpukan kayu dan rangka-rangka kapal di tepi pantai desa memperlihatkan masih tingginya permintaan kapal pinisi. Kini, kegunaannya tak lagi mengangkut barang, tetapi sebagai kapal pesiar mewah yang melayani rute wisata bahari yang banyak ditawarkan oleh biro perjalanan.

Dua orang warga Eropa yang tak sengaja bertemu saat koran ini berkunjung ke Tanah Lemo mengaku, berpesiar dengan kapal pinisi memberi sensasi tersendiri. Selain karena punya nilai historis tinggi, mereka juga terlena dengan keindahan serat dan motif kayu dari paduan kayu bitti, jati, dan ulin. Berawal dari sekadar berpesiar, kapal pinisi pesanan mereka pun sudah hampir jadi untuk kemudian dilayarkan menuju Bali.

Berpesiar dengan kapal pinisi banyak ditemui di perairan Komodo, Labuan Bajo di Flores, hingga Raja Ampat di Papua. Permintaan pembuatan kapal pinisi tak pernah putus. Pembelinya pun banyak yang berkebangsaan asing. Hal ini menjadikannya tetap lestari, tetapi di sisi lain meninggalkan keresahan tersendiri. Mengingat material kayu bersifat organik dan tidak bisa ditumbuhkan dalam waktu cepat. Pohon kayu bitti, yang banyak tumbuh di kawasan Sulawesi Selatan, terus berkurang.

Kini kapal pinisi masuk dalam nominasi warisan budaya dunia UNESCO. Jika kapal legendaris ini berhasil mendapat gelar tersebut, kian mantaplah posisi Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia yang tengah menggenjot wisata bahari sebagai bagian dari pengembangan kepariwisataan Indonesia. [ADT]

Foto-foto dokumen Tommy B. Utomo dan Iklan Kompas/M I Rani Adityasari

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 Oktober 2017