Semuanya ini tanpa disadari menggerus semangat para pekerja kita sedikit demi sedikit. Padahal, kita semua tahu bahwa pekerja yang bahagia adalah aset dari organisasi. Sebagaimana yang ditemukan dalam survei Gallup bahwa organisasi dengan tingkat engagement yang kuat menunjukkan profitabilitas 21 persen lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi sejenis lainnya.
Dalam surveinya tahun 2022, Gallup juga menemukan bahwa hanya 32 persen dari pekerja yang benar-benar engage dengan pekerjaannya, sementara 18 persen lainnya justru secara aktif menampilkan perilaku-perilaku disengage dengan tempat kerjanya. Angka engagement ini merupakan angka terendah yang ditemukan oleh Gallup dalam survei mereka semenjak tahun 2013.
Penurunan ini dikhawatirkan memang dampak yang terjadi akibat dari tempat kerja yang semakin menyebar dengan kebijakan bekerja secara remote yang dilakukan oleh banyak organisasi. Namun, memaksa pekerja untuk kembali bekerja di kantor pun dapat memicu pengunduran diri besar-besaran seperti yang kita lihat terjadi pada beberapa organisasi besar, di antaranya Twitter dan Google, beberapa saat lalu.
Bagaimana manajemen mengomunikasikan strategi dan budaya organisasi yang baru pada era new normal ini? Bagaimana karyawan, khususnya generasi muda, yang baru bergabung dalam kondisi kerja secara remote dapat memahami dengan jelas harapan organisasi terhadap mereka? Bagaimana organisasi dapat menularkan semangat positif di antara para pekerjanya? Ini adalah hal-hal yang perlu dipikirkan oleh organisasi untuk tetap menjaga semangat insannya.
Revitalisasi
Seperti halnya baterai, sumber daya fisik dan psikologis manusia pun ada batasnya. Apalagi dalam situasi yang penuh ketegangan, tuntutan perubahan yang terus-menerus terjadi, energi yang dipakai pun semakin banyak. Bila hal ini tidak disadari, bisa saja individu yang tadinya dinilai berprestasi tahu-tahu terlihat menurun performanya. Terus memaksakan mereka untuk bekerja tanpa mendapatkan penanganan yang tepat hanya akan memperburuk keadaan. Dalam kondisi seperti ini, langkah paling tepat yang dilakukan adalah mengambil waktu untuk berefleksi dan mengisi kembali energi yang sempat tersedot.
Untuk mengoptimalkan fase ini, ada baiknya pimpinan pun turun tangan dan membantu anggotanya agar dapat kembali pada jalur semangatnya lagi. Setiap manusia menginginkan arti dalam hidup dan para pemimpin berada pada posisi yang tepat untuk membantu anggota timnya memahami mengapa mereka penting dan bagaimana mereka dapat merasa bermakna dalam pekerjaan mereka.
“He who knows the ‘why’ of his existence, will be able to bear almost any ‘how’” demikian dinyatakan oleh Viktor Frankl penulis buku Man’s Search for Meaning. Menurut Frankl, bila tujuan bekerja hanya diarahkan untuk mendapatkan penghasilan ataupun keuntungan, bekerja akan kehilangan maknanya dan hidup yang dijalani pun menjadi tiada berarti selain untuk sekadar bertahan hidup.
Ketika para pemimpin dapat membantu orang-orang untuk mengingat dan merangkul alasan “mengapa” bekerja, mereka lebih cenderung percaya bahwa mereka memang berkontribusi pada kesuksesan tujuan perusahaan.
“Don’t aim at success—the more you aim at it and make it a target, the more you are going to miss it. For success, like happiness, cannot be pursued; it must ensue, and it only does so as the unintended side-effect of one’s personal dedication to a cause greater than oneself,”- Viktor Frankl.
Reparasi
Ingat kata pepatah, tidak ada keluarga yang tidak memiliki masalah? Terkadang rasa sakit hati yang terbesar itu terjadi bukan dengan orang asing, melainkan justru disebabkan oleh orang terdekat kita. Dalam situasi bekerja bersama-sama yang menghabiskan lebih dari sepertiga waktu kita setiap hari, singgungan dan konflik tidak terelakkan. Tugas pemimpinlah untuk mengajak anggota timnya dapat bersama-sama mengobati luka yang pernah terjadi agar tidak makin membesar menjadi borok yang sulit disembuhkan. Mendengar dan memahami adalah kunci kesuksesan tahap reparasi ini. Bantu semua pihak untuk dapat memahami luka hati mereka dan apa yang dapat dilakukan untuk mengobatinya sehingga mereka semua dapat bersama-sama melangkah dengan kuat menyambut tantangan baru pada masa depan.
Refokus
Dalam program pengembangan yang biasa disusun oleh organisasi, fokus pengembangan sering kali lebih banyak diarahkan pada area-area kekurangan individu. Padahal, pada awal merekrut seseorang untuk bergabung dengan organisasi, kita tentunya memilih mereka sebagai yang terbaik di antara pilihan lainnya berdasarkan kekuatan yang dimiliki. Mengapa ketika mereka sudah berada di organisasi, fokus kita justru beralih pada kekurangan mereka? Memaksa semua orang harus memiliki kekuatan yang sama berarti mengabaikan kekuatan keberagaman individu.
Jika ingin bersaing untuk mendapatkan bakat dan menciptakan lingkungan yang benar-benar menarik tempat para talenta dapat berkembang dan unggul, kita perlu mengarahkan mereka menemukan kembali kualitas-kualitas manusiawi yang membuat pekerjaan lebih dari sekadar pekerjaan.
Tinjau kembali tujuan tim dan pastikan setiap orang memahaminya agar semua orang dapat bergerak sesuai dengan peranan mereka masing-masing dengan antusias. Tanyakan kepada masing-masing, apa yang penting bagi mereka, apa yang dapat mereka lakukan dengan baik dan bagaimana mereka dapat melakukannya dengan lebih baik lagi.
Sebagai pemimpin, hal yang juga penting adalah bagaimana kita memikirkan diri sendiri. Seperti saat pesawat dalam keadaan bahaya, kita diingatkan untuk mengenakan masker oksigen terlebih dahulu sebelum membantu orang lain, kita pun harus dapat membantu diri sendiri terlebih dahulu. Kemampuan kita memberi energi kepada tim akan bergantung pada energi yang kita miliki. Kita tidak boleh memprioritaskan tim tanpa menyiapkan mental sendiri.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga: