Ketika suasana tim terus dipenuhi dengan atmosfer negatif, saling sikut dan sulit bekerja sama, instruksi dijalankan dengan setengah hati oleh para bawahan, seorang pimpinan selayaknya melakukan refleksi dan bertanya-tanya apa penyebab situasi seperti ini bisa terbentuk.

Namun, bukan pertanyaan itu yang paling penting direnungkan, melainkan bagaimana reaksi kita sebagai pemimpin terhadap pertanyaan tersebut. Apakah kita cenderung menyalahkan pihak lain, seperti potensi anak buah yang kurang memenuhi syarat? Atau, situasi eksternal yang memang tidak bersahabat dan berada di luar kontrol kita?

Berapa banyak dari kita yang berani untuk melihat diri kita sendiri dan dengan jujur menelaah apa yang kurang ataupun tidak tepat dari sikap kita, keputusan kita, ataupun reaksi kita sehari-hari, baik kepada orang lain maupun kepada organisasi. Menduduki posisi puncak yang selalu menjadi panutan banyak orang dapat membuat pandangan kita terhadap diri sendiri menjadi kurang jernih.

Padahal awareness mengenai kekuatan dan kelemahan diri kita adalah satu-satunya jalan menuju perbaikan. Jadi, apakah kita sudah berani membersihkan kacamata kita dan jujur kepada diri sendiri?

Apakah kejujuran itu?

Kata kejujuran yang dipakai dalam pembicaraan sehari-hari sering disandingkan dengan integritas dan autentisitas. Kejujuran berarti bebas dari tipu muslihat dan ketidakbenaran. Autentisitas adalah keaslian, keselarasan antara keadaan internal dan eksternal kita.

Kita menjadi autentik ketika aksi kita tetap kongruen dengan apa yang kita percayai dan inginkan sekalipun ditekan dari luar. Sehingga autentik tidak sekedar mengetahui diri kita sendiri, tetapi berani menjadi diri sendiri, tidak menyembunyikan diri di balik topeng ataupun kepribadian palsu.

KBBI menjelaskan integritas sebagai suatu mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan satu kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan serta kejujuran. Jadi, kejujuran, autentisitas, dan integritas semuanya mengarah pada keberanian untuk tetap menunjukkan kebenaran dari keseluruhan sikap maupun perbuatan kita.

Dalam kondisi yang baik-baik saja, kita dengan mudah dapat bersikap autentik, jujur apa adanya. Namun dalam keadaan terpojok, mekanisme pertahanan diri seringkali mengambil alih dan membuat kita sulit menjadi jujur pada diri sendiri, apalagi pada pihak luar.

Ada 4 hal yang perlu kita latih agar lebih jeli dalam menajamkan kejujuran pada diri sendiri.

Autentisitas

Autentisitas berarti kesamaan antara siapa kita bagi diri sendiri dengan siapa yang kita perlihatkan kepada dunia.

Masalah dalam autentisitas ini adalah sebagian besar dari kita tidak memiliki petunjuk tentang siapa kita bagi diri kita sendiri. Kita percaya bahwa apa yang kita tampilkan pada dunia itu adalah diri kita yang autentik.

Kita menampilkan diri sebagai keluarga yang bahagia, anak yang senantiasa berbakti, orangtua yang penuh kasih, suami yang bertanggung jawab, istri yang lemah lembut dan penyayang karena hal-hal inilah yang ingin dilihat oleh orang lain.

Ketidakautentikan dalam kepemimpinan bisa terlihat dalam atasan yang selalu perhatian kepada anak buah, terbuka terhadap kritik, ataupun rela berkorban demi memperjuangkan kesejahteraan anggota kelompoknya.

Kondisi-kondisi itu adalah kondisi ideal yang ingin kita capai. Namun, sesungguhnya kita tidak akan mencapai kondisi tersebut bila tidak berani melihat dan mengakui dengan jujur bagaimana kondisi kita saat ini. Bagaimana kita akan menjadi atasan yang terbuka terhadap kritik jika kita tidak mengakui bahwa seringkali kuping kita panas pada kritik anak buah.

Untuk menjadi autentik terlebih dulu kita perlu mengambil jarak dan melihat dengan jujur bagaimana reaksi kita ketika sedang sendirian, tidak ada orang lain yang mengawasi. Apa yang kita pikirkan saat itu, apa yang kita rasakan.

Kita memang tidak perlu membuka seluruh hal tentang diri kita pada dunia, tapi bila kita dapat melihat dengan jelas bagaimana diri kita yang sesungguhnya, barulah kita dapat bergerak untuk mencari cara perbaikan yang perlu dilakukan.

Interpretasi

Berapa sering kita mengambil kesimpulan berdasarkan interpretasi-interpretasi yang kita buat? Bawahan yang mempertanyakan instruksi kita, bisa kita interpretasikan sebagai tidak menghormati kita. Atasan yang memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang genting, kita interpretasikan sebagai pemaksaan kehendak.

Padahal interpretasi adalah produk yang dihasilkan pikiran kita. Ia bisa berupa ilusi yang diwarnai bias-bias tertentu. Seberapa dekat interpretasi yang kita buat itu dengan realitas yang sesungguhnya?

Karenanya pencarian data dan fakta menjadi kunci yang penting agar dapat berpegang pada realitas. Kita harus belajar membuka diri tidak hanya pada data yang mendukung interpretasi, tetapi juga berusaha untuk mengejar data-data yang tidak selaras dengan interpretasi kita itu. Jika kita telah memiliki data yang cukup, barulah kita menarik kesimpulan. Inilah interpretasi sesungguhnya.

Tanggung jawab

Ketika situasi yang terjadi tidak berjalan mulus, seringkali kita mencari pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. Padahal dalam konteks pengembangan pribadi, tanggung jawab perlu dihayati oleh setiap individu untuk mencapai tujuannya.

Ketika anak buah tidak berespons dengan baik, kita perlu bertanggung jawab untuk mencari cara bagaimana dapat menggerakkan mereka. Kita perlu belajar bagaimana mengambil keputusan yang sulit dan melakukan tindakan yang tepat meskipun tidak populer. Bila kita menghindari tindakan-tindakan ini, bawahan akan mempertanyakan tanggung jawab kita. Di sinilah kejujuran pada diri sendiri teruji.

Komunikasi

Poin terakhir adalah komunikasi karena di dalamnya tercakup keautentikan, interpretasi, serta tanggung jawab kita. Bersikap jujur dalam komunikasi membutuhkan keberanian untuk mendengar apa yang tidak ingin Anda dengar, merasakan apa yang tidak ingin Anda rasakan, menjadi terbuka dan rentan, serta bertanggung jawab atas apa yang Anda katakan.

Namun, kekuatan komunikasi kita akan menumbuhkan kekuatan hubungan interpersonal dan kekuatan ini adalah landasan yang kuat untuk mempertahankan personal honesty.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING