Dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Mengendalikan Representasi” yang berkolaborasi dengan Henry Manampiring, penulis buku Filosofi Teras, sebelum bisa sampai ke persepsi (representasi), manusia harus melalui impresi terlebih dahulu. Menurut Henry, meskipun keduanya berkesinambungan, tetapi masing-masing punya makna yang berbeda.
Impresi adalah fakta saat indra kita melihat sesuatu secara spontan. Misalnya, ketika melihat sebuah rumah besar berwarna putih. Sementara itu, representasi adalah impresi yang telah diberi penilaian oleh diri sendiri. Misalnya, ketika melihat rumah putih besar itu, kita akan berpikir bahwa pemiliknya pastilah orang kaya yang jarang berada di rumah.
Dari situ, representasi menambahkan suatu nilai yang terkadang tak ada hubungannya dengan impresi. Oleh karena itu, representasi atau yang sering kita kenal dengan persepsi, sering kali memunculkan prahara kehidupan. “Karena yang bikin banyak masalah hidup manusia itu, ya, si representasi,” jelas Henry.
Terbentuk dari dua faktor
Setelah diri menerima impresi, biasanya representasi bisa muncul karena dua faktor, yaitu dari internal dan eksternal. Faktor internal terjadi ketika kita menilai sesuatu hanya dari sudut pandang kita. Misalnya, ketika melihat seorang pria yang sesuai dengan tipe ideal, secara tak sadar kita akan mengatakan ia tampan.
Sementara itu, representasi dari eksternal muncul saat ada orang lain yang bisa mengubah impresi kita. Misalnya, saat berada pada suasana kantor yang damai, tiba-tiba teman kantor datang dan marah-marah. Spontan, hal itu membuat kita jengkel dan kesal dengannya.
Meskipun sering kali berawal dari eksternal, tak dapat dimungkiri bahwa yang bisa mengendalikan itu semua adalah internal diri. Menurut Henry, kita juga tak bisa menyalahkan salah satunya, “Tapi gak bisa nyalahin eksternal, semuanya kan disetujui sama internal.”
Ia juga menambahkan, sebagai manusia yang memiliki akal, kita juga punya kemampuan untuk memproses impresi sebelum jadi representasi. Oleh karena itu, rajinlah berdialog dengan diri agar penyaluran si representasi bisa diarahkan menjadi lebih positif.
“Kita hidup menciptakan judgment secara spontan. Itu mungkin terjadi sepersekian detik. Apa pun kita nilai, baik atau buruk,” pungkasnya.
Cara mengendalikan representasi
Agar representasi dapat dikendalikan dan tak melukai orang lain, ada beberapa tips yang bisa dilakukan. Pertama, kita harus sadar dengan emosi yang hadir karena impresi atau representasi. Menurut Henry, ini adalah cara terampuh, tetapi paling sulit dilakukan.
Ketika kesal karena tiba-tiba hujan sehingga tak bisa pergi, kita cenderung emosi dengan menyalahkan hujan secara berlebihan. Padahal, tak ada gunanya kita mengeluarkan emosi seperti itu.
Dibutuhkan perilaku mindfulness agar kita tak larut dengan emosi negatif. Anggaplah hujan yang turun itu adalah sebuah berkah. Daripada marah-marah, kita masih bisa bertemu dengan teman lewat video call atau menjadwalkan ulang pertemuan. Apabila tetap ingin pergi, bisa saja mencari tempat yang lebih mudah dijangkau semuanya.
Kedua, berdialog dengan diri sendiri. Menurut Henry, masalah hidup itu muncul karena manusia jarang berbicara dengan diri sendiri. Kita lebih sering menduga tanpa mau memahami penyebab dan memikirkan solusinya.
“Apa yang ada di bawah kendali kita itu sedikit sekali, yaitu hanya pikiran kita. Sisanya itu di luar kendali kita.”
Berdialog dengan diri sendiri berfungsi agar kita tak terus-terusan menduga. Dugaan itulah yang terkadang menanamkan pemikiran beracun sehingga manusia terus larut dalam emosi negatif. Padahal, dengan berdialog, kita bisa lebih bijak dalam melakukan representasi.
Memang, untuk mampu mengendalikannya, kita harus berlatih berulang kali. Hal ini dilakukan agar diri terbiasa merespons kejadian atau peristiwa secara bijak.
Dengarkan lebih lengkap pandangan Henry Manampiring seputar representasi dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Mengendalikan Representasi”. Tunggu apa lagi? Yuk, ikuti siniarnya sekarang juga agar kalian tak ketinggalan informasi lainnya seputar kesehatan mental.
Penulis: Alifia Putri Yudanti & Ikko Anata
Baca juga :Â Perfeksionis Saat Ketelitian Menjadi Terlalu Berlebihan.