Dalam satu setengah tahun masa pandemi ini, sebagian besar orang dan perusahaan sibuk menjalankan mode bertahan hidup. Ada berbagai cara yang dilakukan perusahaan dalam situasi ini. Ada yang merumahkan karyawannya, ada yang memotong gaji karyawan meskipun sambil mendorong mereka untuk tetap produktif pada masa krisis ini.

Banyak perusahaan yang berhasil bertahan dengan cara-cara ini. Hal ini tentunya disyukuri oleh para karyawan. Namun, pertanyaan menggelitik yang perlu kita ajukan adalah seberapa jauh kita juga memberikan perhatian pada pengembangan karyawan?

Dari hasil penelitian Gallup, 87 persen milenial menganggap pengembangan dan kesempatan pengembangan karier sangat penting. Namun, ternyata 75 persen karyawan merasa, selama ini, mereka melakukan pengembangan kariernya sendiri tanpa bimbingan perusahaan.

Dengan kondisi ketika banyak dari kita terpaksa melakukan pekerjaan dari rumah (work from home/WFH), 31 persen karyawan merasa pengembangan diri mereka menurun selama WFH. Tidak hanya itu, banyak karyawan tidak melihat adanya pengembangan yang diinisiasi oleh pihak perusahaan selama pandemi, terlepas dari kerasnya kerja mereka.

Dengan pergeseran kehidupan perkantoran ke model hybrid atau bahkan remote, banyak karyawan yang meragukan, apakah pengembangan karyawan masih akan menjadi agenda penting perusahaan. Pengembangan karyawan memang perlu diatur dalam program perusahaan. Ada perusahaan yang berusaha mengupayakan e-learning yang interaktif agar menarik bagi karyawannya. Namun, tak jarang karyawan yang bekerja remote ini juga enggan berpartisipasi.

Sebanyak 70 persen karyawan tidak terlalu percaya dengan online learning mereka bisa mempelajari keterampilan tertentu. Tentunya, karyawan juga perlu memiliki kesungguhan niat untuk berkembang. Sebaik apa pun programnya, bila karyawan sudah puas dengan keterampilan yang sudah dimilikinya saat ini saja, tentunya akan percuma.

Sudah waktunya, baik perusahaan maupun karyawan, menerima situasi hybrid ini sebagai kondisi tetap, bukan sementara, sehingga upaya pengembangan karyawan pun dipersiapkan dengan memperhitungkan situasi ini. Setiap karyawan wajib mengembangkan dan berhak memiliki program pengembangannya masing-masing.

Program pengembangan

Penelitian menunjukkan, kurang dari 30 persen karyawan internal yang tertarik pada program pengembangan yang dibuat perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan perlu berusaha menjual program ini secara menarik. Memang ada perusahaan yang sudah menggambarkan dengan jelas tangga karier dan panduan untuk menapakinya. Namun, ada juga yang belum memilikinya.

Perlu strategi cermat agar setiap individu di organisasi memiliki motivasi untuk maju dan mengembangkan kariernya, mengingat 33 persen dari karyawan yang mencari pekerjaan baru beralasan, mereka mencari kesempatan berkembang. Artinya, bila mereka menemukan kesempatan berkembang di dalam perusahaan, nilai turn over karyawan akan berkurang.

Kesempatan itu tidak selamanya berarti suatu kedudukan atau kenaikan pangkat. Kita juga perlu menyosialisasikan kepada karyawan pemahaman bahwa organisasi saat ini tidak bisa berbentuk piramida lagi. Oleh karena itu, kesempatan berkembang bisa berupa tantangan untuk membangun sekumpulan keterampilan, memperbaiki kelemahan, atau menjadi lebih efisien dalam menjalankan peran tertentu yang nantinya akan berimbas pada sistem reward dalam organisasi juga.

Komitmen atasan

Tidak jarang kita mendengar atasan yang mengeluhkan kompetensi anggota tim. Namun, bila ditanya waktu mereka yang dialokasikan bagi pengembangan anak buahnya, sulit kita mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pengembangan karier bawahan sering dikesampingkan oleh para atasan. Mulai dari alasan mereka lebih berfokus pada kinerja bisnis sampai pada alasan mereka merasa tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam mengembangkan anak buah.

Dengan bekerja jarak jauh seperti ini, akses ke atasan untuk sekadar small talk dan berbincang mengenai pengembangan karier menjadi semakin langka. Padahal, one on one meeting ini biasanya akan lebih mengena. Untuk itu, organisasi perlu memikirkan cara-cara untuk mendorong komitmen atasan yang lebih serius dalam pengembangan anak buah.

Meningkatkan interaksi sosial

Dalam banyak organisasi ada keyakinan, pengembangan karyawan tidak cukup hanya hard skills. Personal growth leads to professional growth. Seperti tanaman yang membutuhkan sinar matahari untuk bisa berkembang, manusia juga membutuhkan interaksi dengan manusia lain untuk berkembang.

Di kantor, suasana feedback, diskusi, debat bisa terjadi secara wajar. Sementara kondisi WFH membuat rasa isolasi cenderung menguat. Rasa ini berdampak sangat negatif terhadap well-being dan engagement karyawan. Sebanyak 60 persen dari karyawan yang WFH merasa, mereka ketinggalan informasi terkini karena kurang banyak mengobrol informal.

Untuk itu, organisasi dapat mengupayakan berbagai kegiatan informal yang dapat meningkatkan interaksi karyawannya, baik dengan internal maupun dengan pihak luar. Ada yang mendorong karyawan untuk bekerja di coworking space sehingga membuka kesempatan bertemu individu dari perusahaan lain. Ada yang mengupayakan happy hour, baik dengan olahraga maupun makan siang bersama.

Organisasi juga perlu memberikan perhatian khusus pada karyawan yang baru masuk pada masa WFH ini, antara lain dengan menyiapkan buddy atau mentor tempat mereka dapat bertanya, bicara dari hati ke hati, agar mereka tidak merasa kesepian dan bisa mendapatkan bimbingan mengenai budaya perusahaan yang mungkin lebih sulit terbaca dengan sistem bekerja remote ini.

Kita tidak dapat mengharapkan pengembangan berjalan secara autopilot. Kita perlu menyediakan alat, perhatian, dan kesempatan agar karyawan berkembang. Dengan upaya yang serius dan maksimal, hasilnya pasti akan terlihat dan berdampak pada retensi dan engagement karyawan.

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM