Akhir-akhir ini, pemanfaatan ruang publik di beberapa kota besar di Indonesia mulai dirasakan. Ruang publik pun kembali ditata. Contohnya, taman-taman ditata kembali menjadi lebih aman dan nyaman sehingga membuat banyak orang memilih taman sebagai tempat berkumpul. Di Taman Suropati, Jakarta, misalnya, kegiatan yoga dan latihan bermain alat musik menjadi pemandangan yang biasa.

Selain taman, perpustakaan kini menjadi tempat yang asyik untuk melakukan beragam aktivitas. Sebagai contoh, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI). Setelah dibangun di lahan yang baru dan dilengkapi beragam fasilitas yang memadai, perpustakaan UI yang letaknya di tepi Danau Science Park ini menjadi destinasi terfavorit untuk mahasiswa. Mereka sering memusatkan kegiatan kemahasiswaan di tempat ini, contohnya berdiskusi, latihan teater, dan menggelar beberapa pertunjukan musik.

Klasikamus

Undang-Undang Republik Indonesia No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 menyatakan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota dan proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20 persen dari wilayah kota.

Peran ruang publik di kota-kota besar sangat penting. Dengan adanya ruang publik, seluruh lapisan masyarakat dapat memiliki ruang untuk bersantai dan mendapatkan hiburan murah meriah. Dengan demikian, keberadaan ruang publik sebenarnya dapat menjadi ukuran tingkat stres masyarakat kota besar.

Dosen Ilmu Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Prof Ir Edy Darmawan MEng pernah memaparkan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tentang “Peranan Ruang Publik dalam Perancangan Kota (Urban Design)”. Dalam penjelasan tersebut, ruang publik memiliki tiga karakter penting, yaitu memiliki makna (meaningful), dapat mengakomodasikan kebutuhan para pengguna dalam melakukan kegiatan (responsive), dan dapat menerima berbagai kegiatan masyarakat tanpa ada diskriminasi (democratic). Ruang publik berperan sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, baik formal maupun informal, individu, atau kelompok.

Singapura misalnya, sudah sangat memperhatikan pentingnya keberadaan ruang publik. Tak heran jika pergi ke sana, dengan mudahnya kita dapat menemukan banyak taman yang tertata rapi. Bahkan, jalur pejalan kaki juga dibuat senyaman mungkin.

Dua tahun lalu, Singapura melalui The Urban Redevelopment Authority (URA) mengumumkan penetapan distrik pemerintahan sebagai simpul sipil dan budaya negara. Simpul tersebut meliputi daerah yang terdapat jantung sejarah dan budaya Singapura, seperti Old Parliament House, Padang, Asian Civilizations Museum (ACM), dan Espalanade.

Pembentukan simpul sipil dan budaya tersebut bertujuan untuk memperkuat identitas dan meningkatkan daya tarik, termasuk membangun ruang publik baru dan meningkatkan konektivitas pejalan kaki. Sebagai langkah awal, jalan kecil di Empress Place yang berada di antara ACM dan Victoria Theater akan ditutup untuk kendaraan.

Sejatinya, konsep jalur pedestrian ini bukan hal baru di Singapura. Sebelumnya, telah diterapkan di Ann Siang Road dan Haji Lane. Namun, karena dinilai kurang, URA ingin menambah fasilitas bagi pejalan kaki. Penambahan terbaru, yaitu di Circular Road yang mulai dibuka pada Oktober 2013.

Tak hanya itu, trek balap Formula 1 juga akan disesuaikan untuk memberikan ruang publik baru di area Empress Place, persis di depan Victoria Theatre. Sementara itu, di Esplanade Park, akan dibangun promenade tepi laut baru yang dilengkapi plaza sehingga memungkinkan masyarakat untuk lebih dekat dengan air.

Dengan contoh yang ada, diharapkan Pemerintah Indonesia menjadi lebih termotivasi untuk menghadirkan ruang publik yang nyaman dan aman bagi warganya. Bukan hanya melakukan pembangunan komersial yang nyatanya tak dapat dinikmati oleh banyak warga. [*/ACH]

noted: pemanfaatan ruang publik

foto: shutterstock