Nama besar Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang terus melegenda sampai sekarang bila kita bicara soal integritas bukanlah tanpa sebab. Beragam kisah mengenai komitmennya untuk menegakkan integritas beredar di berbagai kalangan.

Hoegeng pernah meminta sang istri untuk menutup toko kembangnya, sehari sebelum Hoegeng dilantik menjadi Dirjen Imigrasi karena khawatir akan ada konflik kepentingan dari orang-orang yang memesan bunga di toko istrinya. Hoegeng juga menolak keinginan anak laki-lakinya yang ingin masuk Akabri ketika Hoegeng masih menjadi Kapolri.

Kekerasan hati Hoegeng diteruskan sampai ia dipensiundinikan pada usia 49 tahun akibat usahanya membongkar kasus Sum Kuning. Kasus ini diduga kuat melibatkan anak-anak pejabat negara.

Mendengarkan kisah tentang Hoegeng, membuat kita sadar bahwa cerita kepahlawanan seharusnya bukan hanya ada di buku-buku bacaan. Terlalu sering kita mendengarkan berita mengenai peraturan yang bisa dengan mudah diubah justru oleh para petugas yang diharapkan menjadi garda penjaganya. Begitu apatis kita mendengar kasus anak-anak tokoh publik yang dengan mudah lolos dari jeratan hukum berkat kekuasaan dan harta orangtuanya.

Ada masanya ketika kita begitu terbiasa dengan selipan-selipan amplop ketika ingin mengurus sesuatu di instansi pemerintahan sampai hal ini pun sudah dianggap sebagai kenormalan. Kita pun hanya bisa terperangah melihat pejabat korup yang tertangkap malah memohon doa agar kuat menghadapi cobaannya. Beragam kasus pelanggaran yang sudah dimaklumi ini membuat kita menjadi galau. Apakah aturan, norma, dan etika masih bisa dijadikan pegangan hidup?

Dalam dunia profesi, kita pun mengenal kode etik yang dipegang para profesional. Dokter tidak boleh mengiklankan diri di bidang kesehatan, apalagi mendiskreditkan kualifikasi sejawatnya. Mereka memiliki kewajiban untuk memberikan sejelas-jelasnya informasi kepada pasien dan keluarganya segala tindakan yang akan dilakukan, lengkap dengan konsekuensi yang mungkin terjadi akibat dari tindakan tersebut.

Jurnalis memiliki aturan mengenai tanggung jawab atas berita yang mereka tulis. Mulai dari bagaimana memperoleh berita sampai proses klarifikasi untuk bisa memberikan gambaran yang obyektif. Demikian pula di dunia hukum, siapa boleh dan tidak boleh mengadili siapa. Kode etik biasanya mengatur tindakan untuk menjaga terjadinya ketidakpatutan, ketidakadilan, unfairness, yang membuat terusiknya kemanusiaan kita.

Mengapa sulit menjaga etika?

Pelunturan etika sering berhubungan dengan keterbatasan manusia dalam memproses informasi. Ketika berfokus pada satu elemen penting saat menghadapi masalah, kita sering tidak bisa melihat pentingnya masalah lain.

Ketika berfokus pada tanggung jawab sebagai orangtua untuk menjaga keutuhan keluarga, kita lupa pada keluarga-keluarga lain yang porak-poranda akibat perbuatan anggota keluarga kita. Ketika kita berfokus untuk mencapai KPI divisi dan target organisasi, bisa jadi kita melupakan tata krama berorganisasi, mengupayakan segala cara demi pencapaian tujuan tersebut. Bukan tidak mungkin kita merasa telah melakukan hal yang baik karena mengutamakan kepentingan organisasi.

Peneliti Ann Tenbrunsel dari Universitas Notre Dame menuliskan, Ethical fading adalah bentuk penyamaran diri. Jarang sekali kita bermaksud melakukan hal yang salah, tetapi petunjuk-petunjuk halus membawa kita untuk mengabaikan implikasi moral dari keputusan-keputusan kita. Kita membiarkan etika kita “memudar” dari pandangan.”

Di sinilah awal mula batas antara apa yang benar dan salah mulai kabur. Mulai dari menyepelekan fakta menyangkut nilai-nilai yang kita pegang dengan alasan kepentingan organisasi, hingga menghibur diri sendiri dengan pembenaran-pembenaran.

Situasi itu disusul situasi lain terus-menerus sampai membuat kewaspadaan kita luntur. Kita membohongi teman karena tidak bisa menepati janji, menyembunyikan fakta perusahaan terhadap pemangku kepentingan, melakukan window dressing, menjual barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi karena tidak mau menanggung kerugian, bersiasat menghindari pajak, daftar ini semakin lama bisa kian panjang. Kita melakukan rasionalisasi yang meyakinkan diri bahwa semua orang juga melakukannya. Ini memperkuat ego untuk tetap melanjutkan pelanggaran.

Simon Sinek dalam bukunya The Infinite Game menulis, gejala pelunturan ini biasa bermula dari ketegangan dalam proses mencapai sasaran jangka pendek individu. Sinek menekankan bahwa hampir dipastikan pelunturan wewenang ini dilakukan mereka yang berpikiran pendek dan hanya memikirkan diri sendiri atau lingkungan terkecilnya.

Budaya yang menempatkan uang di atas segalanya, bisa membuat orang terdorong untuk mengambil jalan pintas, menekuk peraturan, membuat keputusan demi keuntungan material. Biasanya dalam budaya seperti ini terdapat pemimpin yang kehilangan visi ke depannya.

Tim, organisasi, sampai negara terdiri atas kumpulan manusia. Manusia memang bisa berbohong. Namun, kita juga bisa memilih untuk menguatkan perilaku etis, memikirkan kualitas kita sebagai manusia, serta berusaha keras bersikap jujur pada diri sendiri dan orang lain.

Mencegah pelunturan etika

Bahaya pelunturan etika ini seperti infeksi yang merusak sistem imunitas diri kita. Ketika hal ini dilakukan oleh seorang pemimpin, bawahan akan dengan mudah mengikuti dan menormalisasi perilaku ini sampai moral organisasi tidak lagi terjaga.

Perbaikan terhadap budaya seperti ini sulit dilakukan dalam semalam. Pelunturan etika ini sudah membuat kemanusiaan terluka. Seperti halnya antibiotik yang harus digunakan untuk mengobati infeksi parah, dibutuhkan kekerasan hati untuk memulai lagi penegakan etika.

Langkah awal, kita perlu mencermati setiap keputusan yang kita buat. Kita perlu mempertimbangkan segala aturan dan dampak yang ada terhadap sasaran jangka panjang.  Kita perlu terbuka terhadap pandangan orang lain dan siap untuk berubah. Kita juga perlu waspada terhadap kebiasaan merasionalisasi tindakan kita dengan istilah-istilah manis, yang secara nurani kita tahu bahwa itu melanggar etik.

Profesor Ariely dari Duke University menggambarkan tindakan pencegahan ini dengan formula REVISE (reminding, visibility, dan self engagement) yang mengangkat etika dengan tegas ke permukaan. Setiap orang perlu mewaspadai tanda-tanda kecil dari gejala ketidakjujuran ataupun pelanggaran moral yang disusul dengan membatasi anonimitas, meningkatkan saling jaga satu sama lain, dan mendorong setiap individu memperjuangkan self image yang positif.

Kita beruntung sebagai bangsa Indonesia cukup mengacu pada 2 sila di antara 5 sila Pancasila sebagai acuan hidup kita: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pemimpin yang etis cukup berpegang pada dua sila ini.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga:

Tata Krama di Dunia Digital