Para sukarelawan yang terdiri atas mahasiswa ini telah diperiksa secara fisik dan psikologis sebelum mereka menjalani simulasi dan dipastikan sehat. Setengah dari sukarelawan secara acak dipilih dan ditugaskan mengambil peran sebagai narapidana dan setengah lagi berperan sebagai penjaga penjara.
Mereka ditempatkan dalam ruang eksperimen yang dirancang khusus menyerupai kondisi asli penjara dan diberikan seragam yang sesuai dengan peran mereka masing-masing. Sukarelawan narapidana mendapatkan perlakuan yang sama persis dengan yang biasa diterima narapidana di penjara umum, mulai dari saat mereka ditangkap sampai dimasukkan ke sel.
Sukarelawan penjaga tidak mendapatkan pelatihan khusus mengenai tugas mereka, tetapi dijelaskan mengenai potensi bahaya yang mungkin muncul dalam tugasnya seperti halnya bila bertugas di penjara sesungguhnya. Mereka diperbolehkan mengambil tindakan terhadap para narapidana yang menurut mereka diperlukan demi menegakkan aturan dan hukum yang mereka susun sendiri.
Hari pertama berlangsung tanpa insiden yang berarti. Namun, hari kedua, tiba-tiba para narapidana melakukan pemberontakan sehingga menaikkan ketegangan antara para penjaga dan narapidana.
Penelitian ini dilakukan tidak hanya untuk melihat perubahan psikologis dari para narapidana, tetapi juga kepada para penjaga yang berkuasa dan bebas mengambil tindakan untuk menunjukkan kewenangan mereka. Terlihat bagaimana para penjaga yang tadinya mahasiswa biasa ini kemudian melakukan beragam penghukuman kepada para narapidana, mulai dari yang bersifat fisik sampai yang berusaha menghancurkan harga diri.
Dari sini, kita melihat bagaimana kekuasaan yang dimiliki bisa sedemikian drastis mengubah perilaku seseorang. Seorang ahli sejarah dan politik dari abad ke-19 Lord Acton mengatakan, “Power brings out the best in some people and the worst in others.” Artinya, cobaan terbesar seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa mengendalikan kekuasaannya sambil tetap memegang nilai-nilai etis yang dimiliki sebelumnya. Teringat ucapan Abraham Lincoln, “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.”
Professor Dacher Keltner dari UC Berkeley dalam penelitiannya selama hampir 20 tahun menemukan bagaimana seorang pemimpin yang awalnya terpilih karena karakter-karakter positifnya, seperti berempati, berkolaborasi, peduli pada yang lemah, di samping tentunya keterampilan memimpin, dapat berubah ketika kekuasaannya semakin lama semakin kuat.
Power yang tadinya digunakan untuk memengaruhi orang lain agar mengikuti visinya, berubah menjadi power untuk membuatnya mendapatkan privilege yang menurutnya menjadi haknya selaku pemimpin.
Keltner menyebut fenomena ini sebagai “the power paradox”. Dalam studinya, ia menemukan, mereka yang memiliki kekuasaan, kekayaan, dan kredensial sering kali lebih rentan kehilangan kendali nilai kebajikannya. Pernahkah Anda merasa tidak dianggap oleh penjaga toko barang bermerek ketika penampilan Anda seadanya saja?
Orang-orang kaya cenderung lebih tergoda untuk memanipulasi pajak daripada para karyawan biasa. Masyarakat pun cenderung bersikap skeptis ketika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan keluarga pejabat ataupun tokoh publik yang memiliki harta berlebih.
Dalam penelitiannya, Keltner menemukan, para pemegang jabatan tinggi memiliki kecenderungan tiga kali lipat lebih besar untuk menginterupsi pekerjaan anak buah, melakukan multitasking sambil rapat, dan memberikan beragam pressure di lingkungan kerjanya. Bagaimana kita bisa menghindari situasi yang memabukkan sebagai pemilik kekuasaan yang powerful?
Refleksi pribadi
Satu hal yang perlu kita waspadai ketika menduduki jabatan adalah corruption of morality. Dimulai dari hal yang sederhana. Ketika masih “bukan siapa-siapa”, kita sering jengah melihat kepongahan pejabat yang mendapat pengawalan di jalan. Namun, ketika mendapatkan jabatan penting, kita mulai merasa bahwa waktu kita sedemikian berharga untuk melakukan hal-hal yang lebih penting ketimbang dihabiskan untuk kemacetan jalanan.
Perlahan-lahan empati pun mulai berkurang karena kita tidak lagi hidup seperti rakyat biasa. Tanpa sadar, perspektif kita sebagai pemimpin pun semakin buram mengenai apa yang menjadi kebutuhan mereka yang kita pimpin. Perspektif yang tidak jernih ini membuat kita sulit menerka apa yang akan terjadi pada masa depan, dan pada akhirnya tidak bisa menavigasi arah perubahan.
Akibatnya, kita tidak berani mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan stagnasi dan merusak organisasi yang kita pimpin. Kita menjadi lebih self centered dan tidak lagi merasa bersalah bila melakukan tindakan yang tidak etis.
Semakin besar wewenang yang dimiliki, kita justru perlu lebih berhati-hati dan menjaga kesadaran kita. Hasil riset mengatakan, bertambahnya kekuasaan bisa membawa kita pada keadaan manic, super-excited, dan merasakan dorongan besar haus penghargaan dan pujian. Kita merasa omnipotent dan kebal terhadap risiko. Bukankah situasi ini dapat membuka jalan ke perilaku yang kasar dan tidak etis?
Jaga diri
Salah satu cara sebagai pegangan untuk memitigasi aspek negatif dari besarnya kekuasaan, yakni kesadaran bahwa kekuatan dan wewenang yang didapatkan ini adalah untuk kepentingan pihak yang jauh lebih besar dari diri dan keluarga. Kekuasaan yang dipegang saat ini bukan semata-mata karena kemampuan diri sendiri, tetapi ada harapan dan kepercayaan yang disematkan oleh banyak orang. Kepercayaan ini setipis porselen yang harus dijaga baik-baik agar tidak pecah.
Pemimpin perlu lebih sering memeriksa code of conduct-nya sebagai pemimpin. Ia perlu secara spesifik memperhatikan kebiasaannya satu per satu dan memperingatkan dirinya akan batasan-batasan. Bila ada rencana untuk mengintervensi, tanyakan berulang kali apakah hal ini memang penting untuk dilakukan. Disiplin dan kebiasaan baik yang telah membawanya hingga mencapai posisi sekarang justru harus semakin diperkuat.
“Mereka yang memiliki kekuasaan sejati membaginya, sementara mereka yang haus kekuasaan menyalahgunakannya.”
Royalton Ambrose
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga: