Masih banyak yang dengan tegas mengatakan: bisnis dulu, manusia belakangan. Bila sasaran bisnis tidak bisa kita capai, bagaimana kita akan membayar gaji karyawan?
Namun, dengan perkembangan teknologi sekarang, ketika para pemimpin sering merasa kalah langkah dari anggota tim yang ternyata memiliki solusi yang lebih jitu, sadarlah mereka bahwa nilai manusia sangat berharga. Pada saat inilah para pimpinan ingin mengarahkan organisasi menjadi people centric. Namun, apakah semudah itu melakukannya?
Banyak manajer ataupun pimpinan yang tidak sepenuhnya mengerti mengenai konsep people centric. Ada manajemen yang berfokus pada daftar gaji dan merasa bahwa bila upah yang diberikan cukup kompetitif, karyawan akan bahagia. Padahal mungkin karyawan akan lebih bahagia bila atasan menghargai dengan memperlakukan mereka sebagai teman satu tim tanpa prasangka.
Kebijakan hibrida (hybrid) dalam bekerja tidak bisa kita buat tanpa memperhitungkan satu per satu kebutuhan individu. Kita bisa saja berasumsi bahwa karyawan yang satu bersedia mengorbankan dirinya untuk bekerja lebih keras atau mendapatkan giliran masuk kantor yang lebih banyak tanpa alasan operasional yang kuat. Namun, itu berarti kita sudah menunjukkan bahwa kita memang belum bisa disebut sebagai pemimpin yang people centric.
Hal utama untuk memulai pendekatan people centric adalah berlatih melihat melalui lensa mata karyawan. Bagaimana karyawan memandang disrupsi teknologi ini? Apa dampaknya terhadap kehidupan bekerja dan pribadinya? Bagaimana karyawan memandang automasi, perkembangan, dan tantangan yang harus dihadapi perusahaan? Apakah karyawan dapat menghayati perubahan dan pengembangan perusahaan serta turut bersemangat seperti halnya manajemen?
Bila manajemen masih meragukan hal itu, marilah kita melakukan evaluasi pilar demi pilar.
Pilar budaya
Culture is king. Demikian kata para ahli. Budaya organisasi merupakan landasan lembut yang membuat karyawan merasa nyaman berada dalam suatu organisasi. Budaya yang kuat dan positif juga memberi rasa nyaman ketika terjadi banyak perubahan dalam organisasi.
Setiap organisasi memiliki resep tersendiri untuk membuat budayanya solid. Namun, boleh dibilang fokus kepada manusia adalah bahan utamanya. Artinya, pertama, kita memang harus memastikan bahwa setiap karyawan sudah merasa dihargai. Setiap karyawan dari posisi paling rendah sekalipun perlu merasa yakin bahwa manajemen menempatkan kebutuhan mereka dalam pertimbangan penyusunan kebijakan.
Hal yang juga penting dalam budaya perusahaan adalah sense of belonging. Saat ini, makna rasa memiliki sudah meluas pada keberagaman. Tantangan para pemimpin adalah memelihara bentuk keberagaman baru yaitu perspektif, pengalaman, kontribusi, dan pemikiran yang berbeda-beda diterima, bahkan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Hal itu justru membuktikan bahwa organisasi memanfaatkan kekuatan keunikan individu untuk membangun kekuatan berkompetisi. Keberbedaan ini harus membawa kebahagiaan karyawan. Dengan demikian, culture is valuable not only for ethical reasons and its qualitative results, but to achieve that bottom line as well.
Pilar fokus sense of purpose yang kualitatif
Hampir sebagian besar dari kita bekerja karena membutuhkan nafkah untuk membiayai hidupnya. Namun, akan ada satu titik dalam hidupnya ketika kita bertanya apa makna dari pekerjaan yang kita lakukan ini, yang bisa jadi menghabiskan lebih dari separuh waktu hidup kita setiap hari.
Tugas seorang pemimpinlah untuk memberi bobot “makna” pekerjaan setiap karyawan. Banyak pimpinan merasa bahwa memberi “goal” yang jelas dalam bentuk target pendapatan perusahaan sudah cukup. Padahal, angka penjualan tidaklah cukup untuk memberi “arti” kepada para karyawan. Seorang pemimpin harus memperjelas lagi sense of purpose bawahannya.
Mengapa kita sebagai perusahaan retail tetap harus masuk kerja pada hari raya selain bahwa pada hari tersebut jumlah pelanggan pasti meningkat sehingga meningkatkan angka penjualan? Ini harus jelas agar setiap orang dengan penuh kesadaran mengorbankan waktunya bersama keluarga demi tujuan perusahaan. By positioning purpose as a priority, people-centricity will become a natural, dominant characteristic of your organization.
Pilar memprioritaskan solusi agar makna kerja lebih kuat
Tidak dapat disangkal bahwa teknologi memang membantu pekerjaan kita. Namun, ingat, teknologi hanyalah alat. Manusialah yang menjalankan disrupsi perubahan. Apakah kita sudah melakukan penelitian tentang apa yang dibutuhkan oleh karyawan kita, yang dapat meningkatkan nilai tambah dari pekerjaan mereka? Sering terjadi, aplikasi dengan harga selangit yang diharapkan menciptakan “sihir” ternyata hasilnya tidak sesuai dengan kebutuhan manusianya.
Pilar memastikan kesiapan seluruh individu
Proses bisnis yang saat ini sering difasilitasi beberapa perangkat lunak, seperti enterprise resource planning (ERP) juga perlu dirancang sesuai dengan yang dibutuhkan dalam setiap titik proses bisnis. Manajemen perlu memikirkan bagaimana bisa menggali potensi manusia secara optimal dan mengelola proses bisnisnya. Untuk menjamin keberhasilan, pastikan bahwa individu yang ada sudah siap menjalankan setiap titik dalam proses bisnis ini.
Proses ini perlu “high touch” dan “high quality” karena manusia di organisasi tidak seperti robot yang tidak menghayati proses bisnis organisasi.
Automasi tidak berarti melepas 100 persen. Manusia harus menjadi titik fokus untuk menavigasi perubahan dalam semua prosesnya. Manusia harus beramai-ramai membimbing dan mengawal perubahan sehingga inovasi benar-benar tercipta dalam budaya organisasi.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Evaluasi Diri