Mendengar berbagai berita buruk di sekitar kita, mulai dari kejahatan yang kian di luar nalar, ulah para politisi wakil rakyat yang tidak beretika ataupun integritas, hingga bencana alam yang datang beruntun, acap kali membuat kita merasa down.

Kita merasa kehidupan tampak suram dan tidak ada daya untuk mengubah dunia. Bila perasaan ini kita pelihara terus-menerus, kemungkinan kita akan tumbuh menjadi seorang pesimis yang lebih banyak khawatir terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk daripada mempersiapkan agar kemungkinan terbaik dapat menjadi kenyataan.

Penelitian-penelitian mengenai psikologi positif membuktikan bahwa para pesimis biasanya berumur lebih pendek daripada para optimis. Ini disebabkan para pesimis lebih rentan terhadap stres dan akibatnya meningkatkan level kortisol yang menyerang sel tubuh yang penting bagi imunitas kita.

Akibatnya, kemampuan tubuh untuk berjuang melawan penyakit pun menjadi lemah. Sebaliknya, para optimis memiliki produksi hormon dopamin yang lebih tinggi yang dapat membuat mereka lebih bahagia dan termotivasi. Dopamin ibarat pemantik api di mesin mobil yang merangsang pembakaran.

Optimisme dapat menumbuhkan kualitas lain, seperti kreativitas, kekuatan pemecahan masalah, dan memengaruhi kerja tim. Pemimpin yang optimistis berfokus pada bagaimana menginspirasi pengikutnya untuk mencapai sasaran yang senantiasa lebih besar dari sebelumnya.

Tokoh dalam sejarah yang terkenal memiliki optimisme yang tinggi adalah Nelson Mandela. Ia ditangkap dan dihukum penjara seumur hidup karena aktivitasnya yang menentang rezim apartheid.

Namun, selama 27 tahun penahanannya, ia tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan di Afrika Selatan akan berhasil. Dalam kondisi yang sulit di penjara, dia memimpin para tahanan politik lainnya untuk tetap teguh dan tidak menyerah pada perjuangan mereka.

Puncak dari optimisme Mandela datang pada 1990, ketika Pemerintah Afrika Selatan akhirnya melepaskan dia dari penjara. Meskipun menghabiskan hampir tiga dekade di belakang jeruji besi, ia justru memilih jalur perdamaian dan rekonsiliasi untuk membangun negara yang lebih baik, bekerja keras menyatukan masyarakat yang pernah terpecah oleh perbedaan ras.

Pesimis, optimis irasional dan rasional

Bersikap optimistis tidak sekadar berharap pada hal-hal baik terjadi. Memiliki semangat dan menggantungkan harapan bahwa segalanya akan baik pada akhirnya dapat membuat kita menjadi seorang optimis yang irasional.

Apalagi bila kita menolak untuk melihat kenyataan mengenai hal-hal yang seharusnya diperbaiki untuk memastikan akhir baik itu benar-benar terjadi. Seorang optimis yang irasional mengabaikan data dan informasi yang menunjukkan bahwa mereka harus berubah, harus menyesuaikan produk mereka dengan kebutuhan pelanggan, harus melakukan berbagai usaha untuk merealisasikan harapan mereka.

Sebaliknya, seorang optimis yang rasional justru memiliki keseimbangan antara mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk ala si pesimis tapi tetap berharap akan kemungkinan yang terbaiknya si optimis.

Harapan akan hal-hal baik yang mungkin terjadi inilah yang memberikan si optimis energi dan kekuatan untuk melihat beragam celah yang dapat mereka lakukan untuk mencari solusi terbaik. Seorang pesimis biasanya tidak memiliki kekuatan untuk berinvestasi pada solusi karena mereka sudah merasa hasilnya nanti tidak akan seperti yang ia harapkan.

Dalam menghadapi kegagalan, seorang pesimis cenderung menyalahkan dirinya sendiri yang semakin membuatnya terpuruk. Sementara itu, seorang optimis rasional berusaha untuk melihat alasan di balik kegagalan dan pelajaran yang dapat dipetik dari situasi tersebut untuk membuat langkah yang lebih baik pada kemudian hari.

Membangun optimisme rasional

Menurut John Medina, ahli biologi molekular, sikap positif akan mengawetkan kerja otak karena sikap optimistis bekerja seperti otot. Semakin banyak dilatih akan semakin kuat. Martin Seligman, pakar psikologi positif, juga mengusulkan beragam latihan yang dapat melatih kekuatan sikap optimistis dalam hidup kita.

Pertama, mengembangkan kebiasaan bersyukur. Rasa terima kasih ini perlu diungkapkan secara spesifik dan dilakukan secara berkesinambungan. Hal-hal apa yang kita syukuri pada hari ini?  Hari-hari awal akan terasa mudah, kita bersyukur atas keluarga yang sehat, pekerjaan yang baik dan lain sebagainya.

Namun, semakin hari akan semakin sulit bila kita menuntut diri untuk mencari hal-hal baru yang dapat kita syukuri. Di sinilah kepekaan kita akan semakin berkembang, kita belajar untuk bersyukur pada banyak hal kecil yang mungkin selama ini kita terima begitu saja. Menurut Seligman, dengan rutin melakukan latihan ini, mental kita akan berubah menjadi lebih optimistis.

Kedua, dengan mengubah kebiasaan kita dalam berbahasa. Alih-alih mengatakan “saya harus” yang menunjukkan adanya otoritas tertentu yang membuat kita terpaksa harus melakukan sesuatu, kita ganti dengan kata-kata “saya mau”, “saya akan” yang menunjukkan bahwa kita memiliki kehendak bebas untuk menentukan dan mengontrol tindakan kita.

Bahasa memang berperan penting dalam pembentukan persepsi kita. Ketika mengatakan suatu isu sebagai masalah, kita akan cenderung berusaha menghindarinya karena masalah berkorelasi dengan kesulitan yang tidak menyenangkan. Sementara itu, bila menggunakan istilah tantangan yang perlu untuk diatasi, otak kita akan berusaha mencari jalan keluar sehingga kita dapat merayakan kemenangan setelah berhasil menghadapi tantangan tersebut.

Sekecil apa pun sukses yang kita miliki, ketika kita menghargainya, kita membangun kesempatan untuk terus menumpuk lebih banyak pengalaman positif dalam memori kita. Ini akan meningkatkan level dopamin kita.

Terakhir, mencari lingkungan yang memberikan pengaruh positif. Diri kita adalah refleksi dari rata-rata orang yang kita temui setiap hari. Jadi, bila orang-orang ini adalah orang yang positif, maka kita pun akan memancarkan sinar positif penuh optimisme.

Bersikap optimistis tidak selalu mudah. Apalagi bila menghadapi kesulitan di depan mata. Namun, optimisme bukan sekedar sikap yang baik, tetapi senjata yang membuat kita tetap mampu menghadapi kesulitan hidup. Seperti ungkapan Nelson Mandela, Kemuliaan terbesar dalam hidup tidak terletak pada keberhasilan kita untuk tidak jatuh, tetapi bangkit setiap kali jatuh.”

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Baca juga: Memasuki Tahun VUCA