Arsitektur yang baik memuat ciri-ciri kesetempatan. Bersama dengan arsitektur, hadir pula budaya dan adaptasi atas kekhasan geografis. Arsitektur adalah hasil dialog antara manusia, alam, dan budaya.

Sayangnya, idealisme tentang arsitektur lebih sering menjadi mentah ketika kita melihat bangunan-bangunan yang berdiri sekarang. Di berbagai kota di Indonesia, dengan mudah ditemukan rumah yang berdandan ala Mediterania, art deco, atau Skandinavia. Namun, konsep rumah yang diimpor itu tidak dengan sepenuhnya diterapkan. Keutuhan gaya bangunan disederhanakan menjadi tempelan-tempelan yang artifisial.

Dalam bukunya Arsitektur yang Lain, Avianti Armand menyebut fenomena semacam itu sebagai kitsch. Sesuatu yang sekadar menyerupai dan jatuh menjadi imitasi yang buruk dari sebuah karya artistik, salah satunya dalam hal arsitektur. Hal-hal yang ingin kelihatan bermakna, tetapi sebenarnya dangkal.

Klasikamus
Arsitektur Vernakular          

Dalam kaidah arsitektur, vernakular merujuk pada tipe arsitektur yang asli, yang dibangun pada waktu atau tempat tertentu (tidak diambil atau dikutip dari yang lain). Arsitektur vernakular dipengaruhi antara lain oleh iklim, budaya, dan material yang tersedia di daerah setempat.

Arsitek Yori Antar suatu kali bercerita, Nusantara masa lampau punya kearifan tentang bangunan. Mereka membangun rumah dari material yang ada di sekelilingnya tanpa menjadi serakah. Melindungi diri dari terik, angin, dan hujan tanpa merusak alam. Membuat fondasi yang tidak “melukai” bumi dengan tiang-tiang pancang yang menghunjam jauh ke bawah. Lebih dari itu, memuat ciri budaya dan menyesuaikan bangunan dengan kondisi geografis. Tak heran, rumah di pulau yang satu berbeda dengan pulau yang lain, yang berada di dataran tinggi punya kekhasannya sendiri, yang dibangun dengan filosofi tertentu tak sama bentuknya dengan yang lain.

Hal tersebut bertahan sampai diserapnya ilmu-ilmu yang berkiblat pada Barat, Eropa. Pengetahuan datang ibarat pedang bermata dua. Satu sisi membuka pikiran terhadap hal-hal baru, di sisi lain membawa kebimbangan atas pilihan sikap, termasuk dalam arsitektur. Kita terpana pada kokohnya bangunan dari semen dan beton, menciptakan bangunan yang tertutup tanpa banyak pintu, ventilasi, atau jendela. Seperti di Eropa, negara dengan empat musim. Padahal, kita tahu betul, di Indonesia tak ada salju tebal menumpuk di atap atau angin dengan temperatur membekukan yang menerobos lewat celah jendela.

Barangkali sudah agak terlambat untuk memperbaiki wajah berbagai daerah di Nusantara yang kehilangan identitas karena rasa arsitektur lokalnya yang pupus. Namun, pemahaman tentang keragaman arsitektur Indonesia itu tetap harus digali kembali. Bukan untuk serta-merta menduplikasinya, melainkan mengambil nilai kearifan serta pengetahuan di dalamnya. Dengan bekal itu, kita bisa kembali mencari bentuk arsitektur yang lebih sesuai untuk diterapkan pada zaman ini.

Belajar dari Jepang

Mari sejenak menilik Negeri Matahari Terbit, Jepang. Arsitektur di negara ini berhasil bertransformasi dari masa lalu ke zaman modern tanpa kehilangan ciri khasnya.

Orang-orang Jepang, yang pada masa lampau menganut kepercayaan Shinto, punya filosofi hidup yang berkaitan dengan harmoni, keseimbangan, dan keheningan. Hal tersebut terejawantah pula bangunannya. Mereka menggunakan material yang ringan, sederhana, dan ada di sekitar, yaitu kayu, bambu, jerami, kertas, dan sutera.

Arsitektur Jepang dipengaruhi oleh alamnya yang indah serta karakter penduduknya yang pekerja keras dan penuh perhitungan. Dalam bangunan, orang Jepang memadukan sesuatu yang eksak matematis dengan sesuatu yang estetis. Oleh karena itu, garis-garis dan kepolosan dinding geometris menjadi salah satu ekspresi arsitektur mereka. Mereka juga membubuhkan detail-detail keindahan.

Cita rasa akan keindahan tampak jelas, contohnya pada taman yang tampil dengan cantik dan elegan. Tak hanya sebagai hiasan atau pelengkap rumah, taman di Jepang juga bentuk penghayatan akan kehidupan. Kolam-kolam menyimbolkan keheningan. Batuan di jalan setapak seolah ingin mengatakan, janganlah tergesa dalam menjalani hidup, nikmati iramanya.

Di dalam bukunya Wastu Citra, Romo Mangun memuji kemampuan Jepang modern dalam menerjemahkan kembali arsitekturnya selaras dengan gerak zaman. Bangunan bertingkat yang dibangun dengan beton dan baja masih mampu satu napas dengan bangunan tradisionalnya. Bangunan tersebut tetap menonjolkan kemurnian geometri, menunjukkan perpaduan seimbang antara yang horizontal dan vertikal, dan mengusung kesederhanaan.

Gedung Olahraga di Takamatsu menjadi contoh lain. Dengan bentuk yang bermain-main mirip kapal, dalam struktur teknis dan bentuknya, gedung ini sarat dengan pertimbangan logika. Ciri geometrisnya kasatmata, balok-balok diagonal pada lantai berpadu serasi bentuk trapesium lengkung seluruh lantai.

Dari Jepang, kita tahu, bangunan mampu menjadi kontemporer tanpa meninggalkan kekhasan lokal. Di Indonesia, Bali adalah contoh daerah yang masih bisa mempertahankan rasa arsitektur lokalnya. Oleh karena itu, ketika berada di Bali kita tidak merasa “tersesat” berada di daerah lain. Arsitektur memberi petunjuk di mana kita berada. Kemampuan sebuah ruang untuk memosisikan kita pada tempat dan waktu tertentu—sesuai dengan kekhasannya masing-masing—inilah yang perlu dibangun juga di daerah-daerah lain di Indonesia.  [NOV]

noted: menggali kembali rasa arsitektur lokal