Kebutuhan akan tempat tinggal semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, pasangan muda yang baru menikah membutuhkan tempat tinggal sendiri agar dapat membentuk kehidupan rumah tangga secara mandiri.
Namun, ketersediaan lahan yang semakin terbatas membuat pembangunan rumah tapak semakin terbatas pula. Jika pun ada, membangun rumah tapak khususnya yang berlokasi di pusat kota akan sangat mahal. Di pusat kota Jakarta, misalnya, rumah tapak sederhana harganya bisa mencapai Rp 900 juta.
Dengan harga setinggi itu, rumah tapak hanya dapat dimiliki oleh sebagian orang yang tergolong masyarakat kelas menengah. Padahal, masyarakat kelas bawah pun membutuhkan tempat tinggal yang layak untuk merajut kehidupan yang lebih baik. Akhirnya, kondisi backlog atau kekurangan jumlah pasokan rumah pun terjadi.
Menyikapi kondisi tersebut, dalam dua tahun belakangan ini, sejumlah pihak menyampaikan bahwa backlog sebenarnya bisa diatasi dengan mengimplementasikan teknologi prefabricated house atau rumah prefabrikasi. Konsep ini cukup berkembang di luar negeri, misalnya di Australia dan Rusia.
Rumah prefabrikasi adalah bangunan yang komponen-komponennya sudah dipersiapkan atau diproduksi di pabrik. Di lokasi penempatannya, komponen tadi tinggal dipasang dengan sistem joint, mirip mebel knock down. Lebih praktis, lebih cepat, tidak butuh banyak tukang, dan tidak ada bahan yang terbuang.
Rumah prefabrikasi bisa berbentuk rumah panggung atau langsung berpijak di permukaan tanah, seperti rumah beton saat ini. Pembangunan dimulai dengan fondasi dan leveling lantai. Dilanjutkan dengan pemasangan rangka dinding, partisi, atap, dan penutup atap (bila rumah hanya satu lantai). Atau, ditambah pembuatan dak, pemasangan tangga, dan railing balkon kalau bangunan dua lantai. Seperti panel lain, bahan dak seperti beton pracetak dibuat di pabrik.
Selain lebih cepat, rumah yang dibangun dengan konsep ini dianggap lebih ekonomis dan efisien dibandingkan dengan rumah yang dibangun secara konvensional. Namun, jika ingin menerapkan bangunan prefabrikasi di Indonesia perlu ada penyesuaian dengan budaya, kontur alam setempat, dan konteks penggunaannya.
“Bangunan prefabrikasi merupakan bentuk budaya modern industri. Bangunan ini merujuk ke rumah massal, di mana bentuk bangunan dan luasnya seragam. Bangunannya bersifat fix. Artinya, sering kali sudah tidak dapat diubah-ubah lagi, bukan rumah tumbuh. Sementara itu, masyarakat Indonesia lebih menyukai rumah tumbuh, di mana rumah ini bentuk dan luasnya dapat diubah di kemudian hari,†papar Principal Architect Han Awal & Parners Architects Yori Antar, Kamis (15/10).
Salah satu faktor yang harus diperhatikan ketika menerapkan bangunan prefabrikasi adalah kondisi alam atau kontur tanah. “Beberapa tahun lalu, saya pernah mendapat proyek untuk membangun rumah prefabrikasi di Timor Leste. Sayangnya, kontur tanah yang sulit dijangkau dan medan yang agak berat membuat material-material rumah prefabrikasi sulit untuk dikirim ke sana, akhirnya proyek ini tidak terlaksana,†kenang Yori.
Di Indonesia, bangunan prefabrikasi sering digunakan sebagai bangunan yang bersifat temporer. Biasanya difungsikan sebagai tempat tinggal sementara untuk karyawan perkebunan, pertambangan, dan proyek-proyek rekonstruksi di daerah eks bencana, seperti Yogyakarta dan Aceh. Sementara itu, untuk tempat tinggal yang sifatnya permanen, belum ada yang tertarik secara penuh untuk menerapkan rumah prefabrikasi.
“Jika pun ada yang menerapkan konsep ini di Indonesia masih sering dikombinasikan sehingga lebih sering berupa rumah hibrid,†terang Yori yang pernah meraih IAI Award 2011 untuk Konservasi Rumah Tradisional Wae Rebo di NTT ini.
Rumah prefabrikasi di luar negeri
Di luar negeri, tren tempat tinggal berkonsep bangunan prefabrikasi mulai banyak dijumpai. Banyak perusahaan arsitektur yang menawarkan berbagai paket rumah prefabrikasi.
Di Rusia, BIO-Architects menghadirkan proyek rumah prefabrikasi dengan nama DublDom. DublDom ditawarkan dengan harga mulai 13.200 dollar AS hingga 41.600 dollar AS. Sementara itu, di Slovenia terdapat perusahaan arsitektur bernama Philippe Starck dengan proyek rumah prefabrikasinya, yaitu Pre-fabricated Accessible Technology Home (P.A.T.H.). Harga yang ditawarkan berkisar 300–540 dollar AS per meter persegi.
Di Melbourne, Australia, bahkan ada sebuah rumah prefabrikasi hemat energi. Rumah ini dibangun oleh perusahaan arsitek Archibox. Rumah karbon yang diklaim Archiblox sebagai rumah prefabrikasi hemat energi pertama di dunia tersebut memanfaatkan desain tenaga surya melalui serangkaian atap panel surya. Selain itu, rumah tersebut bisa mendaur ulang air hujan agar dapat membantu mengurangi konsumsi air tanah. [ACH]
noted:Â Mengenal Rumah Prefabrikasi