Respons terhadap pembukaan lowongan pekerjaan di sebuah korporasi bergengsi selalu mendapatkan sambutan yang luar biasa. Para lulusan baru (fresh graduate) ini sudah membayangkan kesempatan belajar dan berkembang yang bisa mereka dapatkan bila dapat bergabung dalam program management trainee perusahaan tersebut. Berkeliling dari satu divisi ke satu divisi, mempelajari berbagai hal baru, bertemu dengan orang-orang penting di perusahaan dan mengintip kisah sukses perjalanan karier mereka. Semuanya ini tentulah akan menjadi sebuah kesempatan emas yang luar biasa bagi kesuksesan kariernya pada masa mendatang. Oleh karena itu, tidak heran para fresh graduate akan berjuang mati-matian untuk dapat lolos dari saringan yang sangat ketat itu.

Namun, berapa banyak kita menemukan curhatan para generasi muda ini di media sosial terkait kondisi lingkungan kerjanya. Ada yang bercerita mengenai budaya kompetisi yang sangat tinggi sampai sikut-menyikut ataupun memanfaatkan orang lain demi mengejar prestasi pribadi.

Tidak sedikit yang mengeluhkan perilaku atasan yang kerap memaki anak buah di depan umum sampai mencari kambing hitam dalam setiap permasalahan yang muncul. Ada juga atasan yang gemar sekali melakukan micro managing sampai-sampai anak buah pun sulit bergerak apalagi berkembang melalui proses pembelajaran.

Gejala-gejala ini tidak jarang muncul dari atas dan menurun sampai ke bawah hingga menjadi budaya di organisasi. Misi mulia organisasi yang sebenarnya bertujuan untuk menciptakan organisasi berkinerja tinggi ternyata malah membangun suasana mencekam, enggan mengambil risiko apalagi berinovasi dan pada akhirnya menciptakan turn over yang cukup tinggi.

Tony Schwartz dalam artikelnya di Harvard Business Review menyatakan, “building a culture focused on performance may not be the best, healthiest, or most sustainable way to fuel results. Instead, it may be more effective to focus on creating a culture of growth.”

Membalik perspektif: bertumbuh dulu, kinerja mengikuti

Tony Schwartz dalam artikelnya mengenai Growth Culture mengatakan,  dengan membudayakan pertumbuhan, baik dari segi individual, kelompok, maupun  organisasi, ini akan menghasilkan lingkungan kerja yang aman, proses belajar yang berkelanjutan, kegiatan eksperimen yang bisa terkelola dengan baik, dan kebiasaan memberi serta menerima umpan balik secara teratur. Organisasi seperti ini juga akan  menghargai pengambilan risiko yang dilakukan demi inovasi, kegagalan, atau kesalahan akan dilihat sebagai sebuah investasi pembelajaran.

Seorang pemimpin perkebunan bercerita bagaimana ia belajar mengenai semangat pertumbuhan dari operasional kebunnya. Hasil perkebunannya baru dapat ia panen setelah masa penantian selama 25 tahun dengan kesabaran merawat kebun tersebut selama jangka waktu itu agar dapat menuai hasil sesuai harapan.

Membangun sumber daya manusia pun sebenarnya mengikuti irama pertumbuhan ini. Kita perlu mengasuh, memupuk para suksesor organisasi kita semenjak dini sehingga ketika tiba saatnya, kita pun dapat menuai hasil dengan pemimpin-pemimpin yang siap membawa organisasi menghadapi kompetisi.

Memimpin berdasar “growth mindset

Banyak pimpinan organisasi juga menyadari bahwa tuntutan kinerja yang semakin hari semakin tinggi dapat menghadirkan ketegangan pada para karyawan.

Bisnis berjalan sangat cepat, disruptif, dan kompetitif. Karyawan pun dipaksa untuk berkompetisi satu sama lain, bahkan tidak jarang saling berebut lahan. Tidak sedikit karyawan yang mengalami kelelahan mental sehingga performa pun semakin lama semakin menurun. Apa yang sebenarnya harus dilakukan karena target organisasi tentunya tetap harus dicapai demi keberlangsungan organisasi.

Untuk menghindari suasana kerja menjadi toksik, mau tidak mau perubahan harus dilakukan. Perubahan yang paling efektif tidak bisa tidak harus dimulai dari puncak organisasi. Sebelum mengubah mindset para bawahan, pimpinan perlu terlebih dahulu meyakini bahwa hanya dengan semangat bertumbuhlah kinerja organisasi akan dapat tercapai sambil tetap menjaga kesehatan mental seluruh insan dalam organisasi.

Pemimpin perlu melakukan introspeksi, sudahkah ia menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi semua pihak tanpa pandang bulu. Apakah ia dapat tetap bersikap positif tidak hanya kepada karyawan yang berprestasi, tetapi juga kepada mereka yang kurang menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Keberanian pemimpin untuk mengakui dan mengambil tanggung jawab atas kesalahan yang ia lakukan akan menumbuhkan perasaan aman bagi para karyawan bahwa siapa pun tidak lepas dari kemungkinan melakukan kesalahan.

Selanjutnya pemimpin juga perlu mengevaluasi sejauh mana target belajar sudah tercapai. Apakah program dan metode belajar terus berkembang seiring dengan tuntutan kompetisi bisnis? Sudahkah semangat untuk upskilling tumbuh menjadi sebuah tuntutan yang disadari oleh masing-masing individu.

Bagaimana dengan kegiatan berinovasi dalam organisasi? Apakah setiap orang senantiasa tergelitik untuk mencari cara-cara baru yang dapat membuat kinerja pribadi, divisi, maupun organisasi menjadi semakin cepat, semakin baik, dan semakin efisien.

Pemberian umpan balik juga menjadi bagian yang sangat penting dalam membangun semangat bertumbuh itu. Setiap orang dalam proses belajar tentunya membutuhkan umpan balik untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan sudah ia raih dan hal-hal apa yang masih harus menjadi pekerjaan rumahnya. Pemberian umpan balik dalam suasana learn and grow akan sangat membantu mengubah perilaku individu karena membangkitkan semangat belajarnya.

Dari kinerja dengan aura belajar dan berkembang ini, kita akan lebih mudah mencanangkan sasaran yang lebih tinggi karena semua orang akan terdorong untuk mencapainya dalam semangat berkinerja sambil belajar.

Memimpin dengan semangat bertumbuh ini sangat penting, terutama bila kita memperhitungkan generasi yang sudah mulai memasuki dunia kerja sekarang. Kita memang pasti memiliki perbedaan pandangan, pengertian, keterampilan, dan kapabilitas. Namun, bila hal ini dikelola secara transparan dan positif, suasana kerja pun akan menjadi lebih sehat.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Budaya Apresiatif

Memaknai Nilai Korporasi