Namun, ada pepatah “it takes two to Tango”, penyebab hubungan saling tidak percaya juga bisa saja datang dari pihak yang memang sulit memercayai orang lain. Bisa karena pengalaman buruk pada masa lampau yang membuatnya menjadi skeptis dengan pihak lain atau bisa jadi karena ia merasa dirinya lebih baik dari yang lain.
Banyak yang bilang ketidakpercayaan ini akibat kurangnya komunikasi, sementara kita melihat hubungan yang kuat rasa saling percayanya membutuhkan komunikasi yang sangat minim. Cukup dengan sekali pandang ataupun sebuah gerakan kecil, pihak lain sudah dapat memahami dan berespons. Yang jelas, rasa saling tidak percaya satu sama lain akan menyebabkan rasa tidak nyaman.
Bagaimanakah kita mengembangkan rasa percaya ini dan memperkuat hubungan?
Rasa percaya dalam organisasi
Rasa percaya dalam organisasi lebih kompleks daripada rasa percaya antar-individu. Bila keterbukaan adalah dasar dari hubungan rasa saling percaya, sering kali kita merasa banyak hal yang tidak bisa terlalu dibuka dalam pekerjaan. Setiap divisi memiliki agendanya masing-masing, targetnya sendiri-sendiri meskipun semua berada dalam satu organisasi. Namun, kecenderungan us vs them ini tidak mudah untuk dihilangkan.
Dengan pihak luar, kita bisa dengan mudah memutus hubungan bila merasa tidak lagi memiliki rasa percaya satu sama lain dan mengganggu kenyamanan. Sementara itu, ikatan hubungan dalam organisasi ibarat hubungan dalam keluarga, tidak mudah mendiskusikan masalah yang ada tanpa melibatkan emosi. Padahal, setiap hari kita harus berinteraksi dengan erat.
Ada tiga jenis rasa percaya dalam organisasi. Pertama, strategic trust, rasa percaya atau keyakinan karyawan terhadap cara pengelola perusahaan mengambil keputusan-keputusan strategis, visi, dan kekuatan kompetensi organisasi. Kedua, personal trust berupa keyakinan karyawan terhadap atasan atau rekan kerjanya, baik dari divisi yang sama maupun berbeda. Apakah mereka cukup bersikap adil satu sama lain dan mengutamakan kepentingan organisasi? Ketiga, organizational trust, rasa percaya individu terhadap organisasinya, terhadap kemampuannya menghadapi tantangan masa depan. Selain itu, kepercayaan sejauh mana organisasi menghargai individu-individu di dalamnya.
Walau tiga jenis rasa percaya ini terlihat berbeda, ketidakpercayaan di salah satu area akan memengaruhi area lain. Ketika bawahan merasa tidak percaya pada atasannya, bagaimana mungkin ia percaya bahwa organisasi akan menghargai kontribusinya?
Mencegah merosotnya rasa percaya
Konsistensi, komunikasi yang jelas dan keinginan untuk terbuka, memang merupakan cara untuk membangun rasa percaya. Namun, ada banyak faktor psikologis lain yang perlu diperhatikan dalam lingkungan organisasi. Sebagai pemimpin, kita memang sebaiknya menyadari tindakan-tindakan tertentu yang berpotensi menimbulkan rasa tidak percaya anak buah kita.
Lingkaran komunikasi dalam grup Whatsapp yang awalnya bertujuan mempermudah komunikasi, dapat menjadi bumerang ketika ada informasi yang disampaikan dalam kelompok yang satu tidak disampaikan pada kelompok yang lain, padahal ada pihak-pihak terkait juga di sana.
Ketidaksengajaan seperti itu mudah menumbuhkan suasana like and dislike serta rasa tidak percaya anak buah terhadap keadilan pimpinannya yang berkembang cepat seperti virus, melalui jalur-jalur komunikasi virtual menjadi ketidakpercayaan organisasi.
Terkadang sikap toleran pemimpin juga bisa membuat rasa percaya menjadi kendur. Toleran terhadap standar yang sebenarnya sudah disepakati bersama dan menjadi kewajiban, terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, dapat membuahkan sikap kurang respek karyawan pada pemimpin maupun organisasi. Bahkan, menilai aturan hanya dibuat untuk segelintir orang dan tidak untuk yang lain.
Rumor dan ganjalan perasaan yang tidak diperjelas ini dapat membuat rasa aman karyawan terganggu dan memberi pupuk pada benih-benih kecurigaan.
Apresiasi sebagai penghargaan atas hasil kerja anak buahnya pun perlu dilakukan dengan tepat. Pemberian pujian yang terkesan basa-basi dapat membuat anak buah meragukan ketulusan pemimpinnya.
Trust bersifat natural
Ada dua bagian otak yang bekerja sama untuk membangun rasa percaya dengan pihak lain. Pertama, bagian yang memungkinkan kita memahami pikiran orang lain. Dengan demikian, kita dapat memperkirakan tindakan orang lain ketika akan berkoordinasi dengan mereka. Kedua, bagian yang memungkinkan kita untuk merasakan emosi orang lain, artinya kita dapat berempati dengan mereka.
Riset menunjukkan bahwa empati semakin menguat ketika otak mengeluarkan oksitosin yang dapat menurunkan kecemasan kita dan memotivasi kita untuk berhubungan dan membantu orang lain. Artinya, ketika kita berinteraksi dengan orang baru, otak masing-masing pihak akan membentuk suatu skema tentang apa yang akan dilakukan oleh pihak lain dan mengapa. Di sinilah “permainan trust” itu terjadi. Apakah dia dapat kupercaya, apakah ia mempercayai saya?
Dopamin yang dihasilkan oksitosin akan membuat individu merasa senang dan nyaman sehingga di sinilah rasa saling percaya terbentuk. Ketika kita dapat lebih mengerti dan menikmati hubungan dengan orang lain.
Berbagai penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa oksitosin ini bersifat menular timbal balik. Jadi, ketika kita merasa tidak dipercaya, tanyakan pada diri sendiri, apakah kita juga memercayai pihak lain. Ketika kita ingin situasi berubah, hubungan berubah, mulailah dari diri kita sendiri. Pemimpin yang membuka diri untuk lebih mempercayai anak buahnya akan mendapatkan hal yang sama dari anak buahnya.
Mengingat itu adalah hal yang biologis, kita tidak dapat memanipulasi rasa percaya itu. Rancangan kata-kata yang memotivasi rasa percaya padahal sebenarnya tidak, tidak akan memicu oksitosin untuk bekerja. Jadi, ketulusan memang penting dan menjadi landasan dari hubungan saling memercayai ini.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga:
Keterampilan Memimpin adalah Keterampilan Nonteknis