Kisah lain dari kota besar, saat sekelompok orang yang tinggal di lahan negara diminta pindah demi pembangunan fasilitas umum. Beberapa dari mereka menuntut kompensasi besar dan menolak tawaran relokasi yang sebenarnya cukup layak.
Kedua situasi tadi mencerminkan pola pikir yang menempatkan diri sebagai pihak yang berhak menerima terus-menerus, seolah-olah orang lain selalu berkewajiban untuk membantu. Pola pikir seperti ini juga terjadi dalam dunia kerja dan organisasi. Beberapa orang lebih suka menunggu arahan daripada berinisiatif menyelesaikan masalah. Padahal, mereka memiliki kemampuan intelektual dan bekal pendidikan yang mumpuni.
Ada yang kurang percaya diri atau terbiasa bergantung pada orang lain, dalam hal ini rekan kerja atau atasan. Di sisi lain, ada yang proaktif dan datang dengan solusi, bukan sekadar membawa masalah. Tentunya organisasi akan berkembang lebih baik jika dipenuhi dengan individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan siap bergerak tanpa harus diarahkan.
Mental mandiri dan proaktif
Kepribadian merupakan salah satu faktor yang membentuk kemandirian dan sikap proaktif. Dalam Hogan Assessment, individu yang proaktif umumnya memiliki dorongan kuat untuk mencapai hasil, kepercayaan diri yang tinggi, serta kemampuan mencari peluang baru dan berpikir kreatif dalam menyelesaikan masalah. Mereka juga mampu tetap tenang di bawah tekanan dan tetap bertindak meskipun menghadapi hambatan.
Selain faktor kepribadian, pola pengasuhan juga berperan penting dalam membentuk mental mandiri dan proaktif. Penelitian jangka panjang oleh Harvard University menemukan, anak-anak yang sejak dini terlibat dalam pekerjaan rumah tangga lebih mungkin tumbuh menjadi individu yang sukses dan bahagia.
Mereka mengembangkan etos kerja yang kuat serta rasa tanggung jawab karena terbiasa menghadapi dan menyelesaikan masalah sendiri. Dengan demikian, keterampilan pemecahan masalah mereka berkembang, yang sangat berguna saat memasuki usia dewasa dan dunia kerja.
Dalam lingkungan profesional, individu yang mampu bekerja tanpa harus selalu diarahkan akan lebih efektif dalam menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan. Stephen R Covey bahkan menempatkan be proactive sebagai kebiasaan pertama yang harus dibangun untuk menjadi pribadi yang efektif.
Sikap proaktif memungkinkan seseorang untuk menemukan cara baru dalam menyelesaikan masalah serta berkontribusi terhadap perkembangan organisasi, terutama pada era yang penuh dengan tantangan dan disrupsi.
Mereka yang mandiri dan proaktif pun lebih cepat berkembang dalam karier. Alih-alih mengeluh, mereka langsung mencari solusi. Saat menghadapi konflik, mereka cenderung memilih kolaborasi daripada menyalahkan pihak lain. Bukan hal aneh jika individu seperti ini menjadi lebih diperhatikan oleh atasan karena kontribusinya jelas dan nyata.
Ubah pola pikir untuk mandiri dan proaktif
Terlepas dari kepribadian, latar belakang, dan pengalaman kita, mental mandiri dan proaktif adalah keterampilan yang dapat dikembangkan. Dibutuhkan kombinasi pola pikir, pembiasaan, dan keberanian untuk bertindak agar kita tidak bergantung pada orang lain dalam menghadapi tantangan.
Langkah pertama adalah menyadari kitalah yang bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kita sendiri, bukan orang lain. Tidak ada gunanya menunggu terus bantuan orang lain. Ubah pola pikir “saya tidak bisa” menjadi “kalau bukan saya, siapa lagi?”
Bertanggung jawab bukan berarti tidak boleh minta bantuan. Kita bisa belajar dari orang lain, membaca, ikut pelatihan, atau berdiskusi untuk mengasah kemampuan memecahkan masalah. Ketakutan sering menghambat, tapi bertindak—meski belum sempurna—adalah cara terbaik untuk belajar dari kesalahan.
Sikap ini juga terlihat dari cara kita menangani masalah di tempat kerja. Daripada selalu bertanya “apa yang harus saya lakukan” kepada atasan, kita seakan-akan menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada atasan untuk menjawab problem yang terjadi. Lebih baik datang dengan dua atau tiga alternatif solusi. Hindari kebiasaan menyalahkan rekan kerja. Fokuslah pada apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki situasi.
Ciptakan budaya untuk mendorong kemandirian
Peran pemimpin sangat penting dalam menumbuhkan budaya kerja yang mandiri dan proaktif. Pemimpin perlu memberi ruang bagi tim untuk mencoba dan mengambil keputusan. Pemimpin yang terlalu sering “menyelamatkan” anggota tim justru bisa menghambat pertumbuhan mereka.
Kita bisa belajar dari keluarga. Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang terlalu melindungi biasanya tumbuh dengan rasa takut mencoba. Ini juga berlaku dalam organisasi. Jika setiap keputusan harus menunggu lampu hijau dari atasan, lama-kelamaan tim kehilangan daya inisiatifnya.
Pemimpin perlu mendorong anggota tim untuk keluar dari zona nyaman dan berpikir kreatif dalam mencari solusi. Satya Nadella, misalnya, menanamkan budaya proaktif di Microsoft. Saat mengembangkan Azure, ia tidak ingin timnya sekadar melaporkan bahwa Amazon Web Services (AWS) sudah unggul.
Ia justru menantang mereka berpikir, “Kalau kita tidak bisa menyalip dari jalur yang sama, kenapa tidak buat jalur baru?” Dengan pendekatan ini, Nadella berhasil membangun tim yang lebih mandiri dan inovatif.
Budaya kerja yang menghargai inisiatif dan keberanian mengambil keputusan akan melahirkan lebih banyak pemimpin, bukan hanya pengikut. Komunikasi terbuka, pemberian umpan balik yang membangun dan sehat serta penghargaan terhadap tindakan berani akan menumbuhkan rasa percaya diri di seluruh lini organisasi.
Jika setiap individu dalam organisasi memiliki mental mandiri dan proaktif, organisasi tidak hanya akan bertahan di tengah perubahan, tetapi juga mampu melaju lebih cepat menghadapi masa depan. Sebab pada akhirnya, dunia berubah bukan karena mereka yang menunggu, tapi karena mereka yang bergerak lebih dulu.
Jadi, jika bukan kita yang memulai, siapa lagi?
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Linawaty Mustopoh & Eileen Rachman
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.