Be a leader, not a follower adalah pernyataan yang sudah umum kita dengar di mana-mana. Mulai dari spanduk di sekolah yang menunjukkan komitmen mereka untuk mendidik anak-anak menjadi pemimpin di masa depan, sampai iklan sepatu yang menjanjikan penggunanya akan memiliki kenyamanan untuk bergerak menjadi yang terdepan.
Menjadi pemimpin bisa jadi merupakan impian banyak orang. Terlepas dari tanggung jawab pemimpin yang jauh lebih besar, banyak orang mengartikannya sebagai posisi yang mendapatkan banyak privilege yang tidak dimiliki oleh yang lain. Sebaliknya, pengikut dianggap sebagai orang kebanyakan yang hanya pasrah terhadap arahan yang diberikan oleh pemimpin.
Jadi, posisi pengikut ini memang tidak populer. Bahkan banyak yang berasumsi bahwa pengikut itu pihak yang lemah, tidak memiliki kekuatan. Saat sekarang, terutama di masa pemilu, pengikut menjadi penting. Pengikut dianggap sebagai aset milik para pemimpin, seperti yang biasa kita dengar di ranah media sosial, “berapa follower-nya?” Semakin banyak follower, semakin naiklah kelas media sosialnya.
Organisasi pun mengharapkan para insan di dalamnya dapat menjadi pemimpin yang kuat. Banyak pelatihan mengenai kepemimpinan yang kerap dilakukan, bagaimana agar para individu memiliki karakter dominan untuk dapat menjadi pemimpin yang dapat memengaruhi orang lain. Tidak pernah ada pelatihan mengenai bagaimana menjadi pengikut yang baik.
Padahal dalam organisasi yang berbentuk piramida, bagaimana mungkin semua orang menjadi pemimpin? Apa yang terjadi dalam sebuah proses kerja sama bila semua orang hanya mau berbicara, mengarahkan, memengaruhi, tanpa ada yang mau mendengarkan, mengerjakan, dan mewujudkan harapan pemimpin? Apa artinya seorang pemimpin tanpa adanya pengikut?
Dalam sebuah pertemuan, Bill Gates mengakui bahwa tanpa karyawannya ia tidak mungkin berprestasi apa-apa. Fokus kita pada kepemimpinan, membuat kita bisa bisa teledor untuk berperan efektif sebagai pengikut.
Apakah followership itu?
Sebagaimana tidak semua leader memiliki kemampuan leadership, demikian juga tidak semua follower memiliki keterampilan followership. Ini berarti baik leadership maupun followership tidak mengacu kepada seseorang atau individu, melainkan kepada reaksi dan tepatnya peran yang mereka jalani.
Seorang leader dapat menjadi follower dari leader di atasnya. Demikian juga seorang follower dalam kesempatan berbeda dapat berperan sebagai leader. Jalan pikiran yang harus dibenahi adalah ketika kita berpikir bahwa seorang pemimpin akan terus menjadi pemimpin dan pengikut selamanya berada dalam posisi diarahkan. Efektivitas organisasi sendiri baru akan tercapai ketika leader maupun follower menjalankan peran masing-masing dengan efektif.
Followership adalah respons yang dimunculkan oleh para pengikut kepada mereka yang sedang menjalankan peran sebagai pemimpin. Ini adalah sebuah hubungan sosial antara pemimpin dengan para pengikutnya yang tetap harus melibatkan kemampuan berpikir kritis para pengikutnya dan interaksi aktif dengan pemimpinnya untuk mencapai sasaran kerja.
Menurut Robert Kelley, tidak semua followers itu sama. Ia membagi ragam tipe followers berdasarkan dua dimensi followership. Pertama, terkait dengan kemampuannya berpikir kritis. Kedua, berdasarkan skala keaktifannya dalam mengikuti pimpinan. Dari dua dimensi ini kita mendapatkan lima kelompok follower.
Pertama, pengikut pasif yang bergerak bagai kerbau dicocok hidung. Mereka menunggu pengarahan dan tidak memiliki apalagi mengembangkan pemikirannya sendiri.
Kelompok kedua, mereka yang aktif bergerak dengan motivasi tinggi tapi tanpa pemikiran yang mengkritisi apa dasar dari instruksi yang diterimanya. Mereka adalah kelompok konformis yang mendukung sepenuhnya arahan pemimpin.
Kedua kelompok ini seringkali adalah kelompok yang memiliki hubungan sangat dekat dengan pimpinan karena mereka sangat hormat, mendukung, dan melayani pimpinannya. Atasan menyukai mereka karena mendukung kepuasan egonya dan membentuk aliansi dengan mereka tanpa sadar hal ini pada akhirnya dapat melemahkan kekuatan organisasi menghadapi aneka tantangan di masa depan.
Kelompok berikutnya, allinated follower. Mereka memiliki pemikiran yang tajam terhadap gagasan pemimpinnya tapi tidak mau melibatkan diri ketika merasa tidak sejalan dengan pemikiran pemimpinnya. Sikapnya cenderung sinis dan sarkastik mengkritik gagasan pemimpinnya dari belakang, tapi tidak berani berargumentasi terbuka dengan pemimpin meskipun demi kebaikan tim. Aura yang disebarkan cenderung negatif terhadap suasana kerja.
Di area tengah antara kedua dimensi tersebut adalah para survivor yang pragmatis. Prinsip hidup mereka adalah better safe than sorry. Mereka bisa menyuarakan pendapatnya tapi memilih diam bila situasi tidak kondusif.
Terakhir, pengikut efektif yang aktif berpikir bagaimana mereka dapat menyelesaikan pekerjaan dengan kualitas terbaik bagi kepentingan pemimpin dan terutama organisasi. Mereka dikenal berani mengambil risiko yang mereka perhitungkan demi kebaikan organisasi, memiliki keberanian untuk bertindak dan mengambil keputusan.
Bagi pengikut efektif, fungsi pemimpin lebih banyak sebagai pengawas perubahan dan kemajuan, bukan pahlawan pembuat keajaiban. Para pengikut efektif ini melihat diri mereka sejajar dengan pemimpinnya. Mereka dapat melihat pemimpin pun menjadi pengikut bagi kebutuhan organisasi yang lebih besar lagi. Mereka meyakini bahwa mereka memiliki tanggung jawab sama besarnya dengan pemimpin untuk mencapai target masing-masing.
Namun hidup pengikut efektif ini tidaklah mudah. Mereka mungkin saja mendapatkan penghargaan karena pemikiran mereka yang membantu organisasi. Namun, mereka juga memiliki risiko lebih besar untuk disingkirkan dari organisasi karena berani menentang pemikiran atasannya. Inilah yang membuat banyak orang yang tadinya adalah pengikut efektif berubah menjadi pragmatis demi keberlangsungan hidup mereka di organisasi.
Banyak pimpinan yang mengatakan bahwa mereka berharap memiliki anak buah yang dapat berpikir kritis. Namun, kenyataannya mereka cenderung menghindari anak buah yang membuat mereka tidak nyaman ini. Pengikut efektif memang perlu belajar bagaimana cara menyuarakan pendapat mereka dengan lebih halus agar tujuan mereka demi kebaikan organisasi tercapai tapi eksistensi mereka pun tetap terjaga.
Mutual respect between leader and follower is a key prerequisite to success.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Baca juga: IQ Versus Sikap Kerja