Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah tulisan dari Dr Agus Budiyono yang beredar di berbagai grup Whatsapp mengenai tidak relevannya ranking, NEM, dan IPK  yang digunakan oleh sistem pendidikan kita terhadap kesuksesan seorang individu.  Tulisan tersebut mengutip hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 100 faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan 733 miliuner di AS, nilai sekolah yang baik merupakan faktor sukses urutan ke-30, sementara IQ berada pada urutan ke-21.

Masih menurut artikel tersebut, 10 peringkat teratas faktor yang paling berpengaruh terhadap kesuksesan ternyata sama sekali tidak berhubungan dengan penilaian-penilaian ini, tetapi lebih terkait dengan kualitas-kualitas diri, seperti disiplin, keterampilan berhubungan dengan orang lain, dan sebagainya.

Dalam dunia kerja, kita memang melihat bagaimana orang-orang yang memiliki IQ tinggi dalam proses seleksi di organisasi ternyata belum tentu bisa berkontribusi dengan optimal pada organisasi. Mereka yang sulit menerima pendapat orang lain, enggan berkolaborasi, lebih senang menonjolkan kepandaian dirinya, pada akhirnya malah menghambat proses di organisasi yang hampir semuanya membutuhkan kerja sama yang baik dengan berbagai pihak.

Sementara itu, individu yang mungkin memiliki kapasitas berpikir rata-rata ternyata lebih cepat menapaki tangga karier dengan kemauan mereka untuk belajar hal-hal baru, terbuka terhadap ide dan masukan dari pihak lain, serta kemampuan untuk tetap bersikap positif dalam menghadapi situasi yang menekan.

Lou Holtz, seorang pelatih sepak bola Amerika legendaris di Universitas Notre Dame pernah mengatakan, “Kemampuan adalah apa yang mampu Anda lakukan. Motivasi menentukan apa yang Anda lakukan. Sikap menentukan seberapa baik Anda melakukannya.”

Dari sini, kita belajar bahwa sikap sangat menentukan apakah kita akan meraih kesuksesan atau tidak. Kita bisa saja memiliki kemampuan yang tinggi dan semangat untuk mencapainya. Namun, bila cepat menyerah ketika menghadapi kesulitan, niscaya kita akan sulit untuk meraih kesuksesan.

Ada tiga elemen sikap yang berpengaruh pada kesuksesan yaitu sebagai berikut.

Elemen pertama, persepsi kita terhadap kehidupan

Bagaimana kita melihat hidup ini? Apakah kita selalu melihat dengan sikap skeptis atau bersemangat mencari sisi positifnya? Bagaimana kita melihat suatu kegagalan atau kesalahan? Seorang yang berpandangan skeptis akan melihat kegagalan sebagai jalan buntu yang membawanya jatuh dalam keterpurukan.

Sementara itu, si positif biasanya melihat kegagalan sebagai kesuksesan yang tertunda dan memberinya banyak kesempatan untuk belajar sebelum mendapatkan sukses yang lebih besar lagi.

Henry Ford pernah berkata, “Bila berpikir bisa atau tidak bisa, Anda benar,” menunjukkan bagaimana pikiran kita, sikap kita dalam menghadapi suatu masalah dapat menjadi penentu apakah kita berhasil atau tidak.

Sebuah konsep self fulfilling prophecy atau yang sering juga dikenal sebagai pygmallion effect menjelaskan bagaimana kepercayaan kita berubah menjadi kenyataan. Dalam mitologi Yunani kuno, seorang pematung bernama Pygmallion jatuh cinta kepada patung buatannya sendiri sehingga bisa menghidupkan patung tersebut menjadi wanita cantik.

Dalam studinya, psikolog Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson menemukan bahwa guru-guru yang memiliki harapan tinggi terhadap anak-anak didiknya ternyata dapat menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang guru-gurunya menganggap anak didiknya ini tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk berhasil.

Tidak hanya di olahraga. Dalam bisnis maupun kehidupan, kita perlu memiliki kepercayaan pada kesuksesan dan menolak untuk kalah. Ini bukan berarti bahwa kita menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Ini karena kemenangan menjadi tidak berarti bila hati kecil berkata bahwa kita sebenarnya tidak pantas mendapatkan kemenangan ini. Namun, ini dimaksudkan untuk merujuk pada harapan yang dapat memberikan tenaga dalam setiap upaya kita.

Langkah pertama untuk mengembangkan pandangan hidup positif ini selalu berasal dari diri sendiri  bukan orang lain. Leo Tolstoy mengatakan, “Semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah diri mereka sendiri.”

Elemen kedua, komitmen

“Apakah Anda bersedia menerima pasangan hidup Anda dalam keadaan sehat dan sakit, senang dan susah, kelimpahan maupun kekurangan?” adalah pertanyaan yang biasa diajukan pada pasangan yang akan mengucapkan janji pernikahan.

Hidup tidak selamanya mulus, kesulitan mungkin saja menghadang perjalanan kita. Hanya dengan komitmen tinggilah kita mampu bertahan, bahkan sukses keluar dari masa-masa sulit.

Ketika pertama kali bergabung dengan organisasi, hampir setiap orang memiliki semangat yang menggebu-gebu untuk memberikan seluruh upaya terbaiknya bagi organisasi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu serta mendapati banyak situasi tidak ideal dalam perjalanan kariernya, sikut-menyikut, atasan yang pilih kasih, persaingan bisnis yang semakin tajam, dan klien yang menuntut, hanya mereka yang memiliki komitmen tinggilah yang akan tetap mempertahankan semangatnya untuk memberikan segala upaya terbaiknya. Sementara itu, yang lain mungkin sekadar memenuhi tuntutan tanggung jawab tugasnya.

Kita dapat melihat produk yang dihasilkan oleh tim yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk memberikan yang terbaik akan sangat berbeda kualitasnya dengan kelompok yang penting selesai. John Wooden, pelatih bola basket terkenal mengatakan, “Jika tidak punya waktu untuk melakukannya dengan benar, kapan Anda punya waktu untuk menyelesaikannya?”

Keseriusan, kerja keras hingga tuntas dan memastikan standar kualitas selalu terpenuhi merupakan ciri-ciri sikap individu yang berkomitmen tinggi. Lagi-lagi, komitmen ini harus dimulai dari diri kita sendiri.

Elemen ketiga, kemampuan menghadapi tantangan

Kita pasti pernah mendengar pepatah what doesn’t kill you makes you stronger. Kesulitan dan tantangan adalah ujian-ujian yang melatih kita menjadi semakin tangguh dan membuat kita naik kelas. Bila tidak berani mengambil ujian, kita tidak akan tahu sampai di mana batas kekuatan diri sendiri.

Babe Ruth, pemain bisbol legendaris, mengatakan, “Anda tidak bisa mengalahkan orang yang tidak pernah menyerah.” Keberanian kita mengambil tantangan juga sangat tergantung pada persepsi dan komitmen kita. Bahkan, banyak ungkapan dalam berbagai budaya yang mengatakan bahwa di balik tantangan pasti ada kesempatan. Through adversity comes opportunity.

Sebagaimana individu sukses didukung oleh ketiga elemen ini, mereka yang gagal bisa jadi karena sikap mentalnya. Oleh karena itu, marilah kita memberikan perhatian lebih besar untuk menempa sikap mental kita agar semakin kuat menghadapi beragam tantangan dengan semangat positif.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga:

Buka Mulut

Beban Emosi Pemimpin