Ilmu pengetahuan menyediakan ruang amat luas untuk dieksplorasi, termasuk untuk kepentingan membangun rumah. Kita memang tak seharusnya berhenti pada cara yang konvensional. Teknik dan material baru yang ditemukan bisa saja menjanjikan bangunan yang lebih kokoh sekaligus ramah lingkungan.

Selama ini, dunia industri mengenal komposit fibre reinforced plastic (FRP) sebagai bahan baku beragam produk, seperti pesawat terbang, sepeda, atau furnitur. Bahan ini pun potensial untuk dijadikan material rumah, dari lantai sampai atap. Namun, pemanfaatannya memang masih jarang. Selain itu, komposit yang saat ini terdapat di pasaran sebagian besar terbuat dari residu bahan bakar fosil, yang notabene persediaannya terus menipis.

Serat tumbuh-tumbuhan sebenarnya punya potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku material bangunan. Direktur Utama Matic Composites Whisnu Budi Prihatin membuat rekayasa komposit dari serat alam tersebut. “Komposit jenis FRP pada dasarnya terbuat dari dua bahan utama, serat dan polimer atau plastik. Kedua komposisi tadi bisa dibuat dari bahan sintetis maupun alami. Saya membuat yang alami,” tutur Whisnu.

Dua serat andalan Whisnu adalah serat bambu dan pisang abaka (Musa sapientum). Pisang abaka yang berasal dari Filipina biasa digunakan untuk serat pintal. Pada usia 18–24 bulan setelah ditanam, batang tumbuhan ini bisa dipanen. Bambu pun punya kualitas yang baik untuk dijadikan komposit. Seratnya kuat, masa panennya pun cepat. Indonesia sendiri punya lebih dari 160 spesies bambu. Selain itu, serat alam dapat pula diambil dari eceng gondok, kenaf, sabut kelapa, dan sebagainya.

“Serat alam tersebut lantas dicampur dengan polimer yang terbuat dari singkong,” ujar Whisnu. Pemrosesan dengan tekanan yang tinggi menghasilkan komposit dengan kekuatan tertentu yang bisa diandalkan untuk berbagai kepentingan, bahkan untuk membuat gedung bertingkat.

Whisnu ingin pengetahuan yang dimilikinya bisa dimanfaatkan dengan tepat. Ia melihat, saat ini, kebutuhan rumah masyarakat sangat tinggi. Di sisi lain, harga tanah terus melambung, membuat keseluruhan biaya pembangunan rumah menjadi mahal, apalagi jika dibangun dengan cara konvensional.

Whisnu mulai mengenalkan rumah yang dibangun dengan bahan komposit FRP. “FRP bisa digunakan untuk lantai, dinding, sekaligus atap,” tutur Whisnu. Rumah komposit dibuat dengan sistem bongkar pasang, terdiri atas panel-panel yang kemudian dirangkai menjadi satu.

Karena kuat sekaligus ringan, rumah komposit unggul dalam beberapa hal dibandingkan rumah konvensional. Kualitas bahan baku yang homogen akan mempermudah kontraktor untuk memperkirakan dengan cukup akurat waktu maupun teknis pengerjaannya. FRP lebih ringan daripada batu, beton, atau baja, sekaligus lebih kuat dan tahan lama. Perawatannya pun mudah, bahkan cenderung bersifat free maintenance. Dari sisi biaya, pembangunannya juga menjadi lebih terjangkau.

Karakter material FRP cocok untuk Indonesia yang rawan gempa. Ketika terjadi guncangan, komposit tak mudah patah seperti batu bata dan semen. Saat getaran terlampau besar dan kemungkinan paling buruk terjadi, rumah atau atap ambruk, material yang ringan juga akan meminimalisasi cedera yang bisa dialami penghuni rumah.

Lebih jauh lagi, Whisnu ingin pula membangkitkan kesadaran bahwa dalam membangun pun kita mesti memperhatikan sekitar dan bertanggung jawab. Menggunakan material yang ramah lingkungan dan berkesinambungan salah satu caranya. “Saya ingin menanamkan pola pikir, ke depan itu membangun bukan dengan merusak, melainkan menumbuhkan,” pungkasnya. [NOV]

noted: Material Inovatif dari Serat Alam