Memasuki masa endemi saat ini, banyak organisasi mulai kembali menata manajemen perusahaannya agar lebih sesuai dengan situasi yang tentunya sudah banyak berubah bila dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Ada organisasi yang merasa bahwa back to normal adalah the new normal sehingga memutuskan bahwa operasional organisasi perlu berjalan kembali seperti masa-masa sebelum pandemi. Namun, kita tidak bisa mengabaikan kebiasaan-kebiasaan baru yang sudah membentuk para karyawan sebagai dampak dari adaptasi terhadap situasi pandemi tiga tahun terakhir ini.

Banyak metode bekerja pun yang sudah berubah, menyesuaikan pada kebutuhan pandemi kemarin yang tidak dapat serta merta diubah kembali seperti sebelumnya.

Saat ini, tempat dan suasana kerja yang lebih sehat sudah menjadi suatu kebutuhan bagi para karyawan. Bila ingin membangun tempat kerja yang berkualitas dan mendorong produktivitas karyawan, perspektif kita terhadap manajemen organisasi pun perlu disesuaikan dengan ekosistem dunia kerja pascapandemi yang sudah berubah ini.

Organisasi perlu memutar otak bagaimana dapat memberikan lebih banyak ruang terbuka bagi para karyawan dan menjamin kebersihan setiap ruangan sesuai dengan standar kesehatan yang baru.

Tantangan setiap organisasi adalah mengambil lesson learned dari masa pandemi kemarin dan mentransfomasikannya pada masa sekarang. Sebelum pandemi, bekerja jarak jauh ataupun hibrida bukan sesuatu yang lazim. Namun, ketika pandemi berkecamuk, kita dipaksa melakukannya sambil tetap menjaga produktivitas dan efisiensi seluruh sumber daya yang kita miliki. Apakah pada masa endemi ini kita akan kembali pada suasana kerja lama?

Dalam studi yang dilakukan Culture Shift dan Harvard Business Review ditemukan bahwa 20 persen karyawan menginginkan bekerja dari rumah secara penuh waktu, sementara sisanya ingin memiliki pilihan untuk dapat menentukan sendiri kapan mereka perlu bekerja dari kantor dan kapan dapat bekerja dari rumah.

Kita juga sudah tidak bisa hanya mendengung-dengungkan “growth mindset” di seputar organisasi tanpa aksi nyata. Setiap orang perlu bersiap membuat contingency plan-nya. Rapat kerja yang setahun sekali saat ini terasa sudah obsolete. “The post-pandemic workplace is much more well-suited to an ever-changing routine and the need for prevention, rather than action.”

Revolusi keterampilan

Kita semua tahu bahwa disrupsi dalam bentuk automasi dan digitalisasi sudah tidak main-main. Para profesional yang sudah terkenal piawai pun tetap harus meningkatkan keterampilan mereka bila tidak ingin ketinggalan.

Industri perbankan yang biasanya selalu paling maju dalam hal keamanan ternyata sempat diserang malware yang menimbulkan kerugian tidak sedikit. Menurut World Economic Forum’s 2020 Future of Jobs Report, dengan tenggat waktu tahun 2025, banyak sekali pekerjaan yang membutuhkan reskilling dan upskilling. Kita membutuhkan tim yang lebih agile, adaptif, dan resilien dengan kapabilitas yang terkini.

Dengan segala perkembangan yang ada, peningkatan keterampilan memang harus menjadi fokus utama. Kita bahkan perlu mendorong karyawan untuk berani melakukan job crafting agar mereka dapat semakin memperkaya pekerjaannya sesuai dengan keterampilan yang telah mereka kembangkan selama ini. Organisasi yang agile tentunya tidak akan melewatkan kesempatan-kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

People first

Hasil penelitian McKinsey menunjukkan bahwa 58 persen dari tenaga kerja menghasilkan peningkatan prestasi yang signifikan selama pandemi. Hanya 11 persen yang mengatakan kinerja mereka menurun. Apa yang menyebabkan peningkatan performa ini?

Situasi pandemi dengan metode bekerja secara remote ini membuka kesempatan baru yang memungkinkan pekerja untuk mencari lowongan pada organisasi-organisasi di belahan dunia yang sebelumnya begitu jauh dari jangkauan mereka. Kesempatan pun menjadi tak terbatas, tentunya bagi mereka yang memiliki kualifikasi dan keterampilan yang dibutuhkan bagi organisasi. Karyawan sekarang kian berinisiatif meningkatkan kompetensi mereka sendiri, tidak lagi bergantung pada fasilitas dari organisasi.

Hal ini berarti sebagai pemimpin kita perlu membangun organisasi yang memiliki daya tarik bagi talenta-talenta terbaik. The companies of the future will want to treat their employees as they treat their customers–with the utmost importance and support.

Kalau dulu selalu menekankan sikap customer first, sekarang, kita perlu berfokus pada people first sebagaimana yang dikemukakan oleh chairman Starbucks Howard Schultz, “We are not in the coffee business serving people, but in the people business serving coffee.”

Redefinisi manajemen pascapandemi

Bagaimana kita membentuk perspektif baru mengenai manajemen organisasi sesudah gonjang-ganjing tiga tahun ini?

Pertama, memastikan tenaga kerja yang sudah tidak bersatu secara fisik ini tetap dapat engaged secara emosional. Tugas pertama manajemen adalah mendorong terbangunnya rasa saling percaya di antara anggota tim melalui komunikasi dan transparansi kepada seluruh anggota tim.

Kedua, jangan ragu untuk meredefinisikan office of the future, dengan memastikan tersedianya investasi baik dari sisi teknologi maupun infrastruktur yang memungkinkan berjalannya operasional organisasi yang lebih adaptif dan mengakomodasi kebutuhan untuk berkolaborasi, baik dengan pihak internal maupun eksternal.

Ketiga, berfokus pada tujuan yang bermakna. Generasi pekerja saat ini mencari organisasi yang dapat membuat mereka merasa bermakna karena berkontribusi terhadap tujuan yang lebih besar daripada sekadar keuntungan semata. Para pekerja yang berfokus pada tujuan seperti ini biasanya memiliki daya lenting yang lebih kuat manakala mengalami kesulitan; dan komitmen yang lebih tinggi untuk tetap bertahan dan berjuang bersama ketika organisasi dalam kesulitan.

Yang pasti, paradigma para pemimpin harus berubah. Solusi-solusi jitu masa lalu belum tentu berhasil diterapkan dalam situasi kompleks saat ini. Keberanian untuk mengakui pemimpin tidak selalu benar, mendorong keberanian para karyawan untuk menggali potensi mereka lebih jauh. Hal ini berarti perpindahan pemikiran dari mereka bekerja untuk saya, menjadi mereka bekerja bersama dengan saya.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Budaya Apresiatif

Memaknai Nilai Korporasi