Begitu pula di lingkungan kerja. Tak dapat dimungkiri bekerja merupakan tantangan karena setiap harinya ada masalah baru yang menghadang para karyawan. Misalnya, perbedaan persepsi, konflik dengan rekan kerja, hingga target yang tak tercapai. Hal-hal seperti itu bisa memicu keluarnya emosi negatif.
Dalam siniar Obsesif episode “Mengelola Emosi dalam Bekerja” dengan tautan akses dik.si/ObsesifS8E5, dijelaskan bahwa emosi negatif perlu divalidasi. Selain itu, emosi ini perlu juga dikelola karena saat berada di lingkungan kerja, kita harus tetap menjaga profesionalitas.
Pemicu Emosi Negatif di Tempat Kerja
Mengutip Forbes, Anne Kreamer, penulis It’s Always Personal, Navigating Emotion in the New Workplace, mengatakan bahwa meski lingkungan pemicu berbeda, namun emosi bisa dirasakan di mana saja, termasuk di tempat kerja. Biasanya, emosi ini dipicu oleh kritik berlebihan, masalah dengan rekan kerja, lingkungan toxic, hingga pengumuman mengejutkan, seperti PHK.
Namun, inti dari semuanya adalah keadaan tersebut tak sesuai dengan ekspektasi yang kita rancang sehingga emosi pun muncul. Penting untuk segera menyadari jika mulai muncul respons terhadap emosi.
Misalnya, di suatu meeting, kita dimarahi oleh rekan kerja dan atasan sehingga membuat kita ingin menangis. Padahal, kita menganggap pekerjaan telah diselesaikan dengan baik. Timbulnya perasaan itu adalah hal yang wajar dan kita harus mampu mengeluarkan emosi itu dengan tepat.
Terlebih, bagi para pekerja baru, menyelesaikan pekerjaan akan terasa berat. Ditambah lagi belum cukupnya pengalaman untuk menghadapi situasi tersebut sehingga rentan menghadapi perasaan tak aman yang memicu emosi negatif.
Hal inilah yang sempat menjadi pembicaraan hangat bahwa mayoritas Gen Z terkesan ‘lemah’ saat dihadapkan dengan dunia kerja. Perasaan tertekan bisa bertambah jika lingkungan kerja tak mendukung atau memberikan fasilitas untuk mereka belajar. Alhasil, mereka pun jadi lebih rentan terkena masalah mental.
Pentingnya Regulasi Emosi di Lingkungan Kerja
Meskipun begitu, sebagai pekerja, kita harus berusaha menjadi pribadi yang mengutamakan resiliensi dalam menghadapi masalah. Menurut Limeade, regulasi emosi dapat membantu kita dalam mengelola perasaan negatif muncul. Bahkan, jika mampu mengatur emosi, kita akan mendapat beberapa manfaat, seperti
- Meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi perasaan negatif yang memicu tindakan berbahaya lainnya;
- Mampu mengelola interaksi interpersonal untuk menghindari konflik; dan
- Mengoptimalkan bagaimana informasi diproses untuk mencari jalan keluar sehingga tugas akan diselesaikan dengan lebih efektif.
Jika mendapat kritik, terimalah kritikan tersebut, berhenti sejenak, validasi dan luapkan emosi di tempat yang tepat (toilet jika ingin menangis atau curahkan di buku harian), baru setelahnya berpikir kembali untuk mendapat solusi terbaik. Hindari meluapkan emosi berlebih di depan atasan atau rekan kerja karena ini berpotensi menimbulkan konflik.
Kita harus sadar bahwa tidak semua hal berjalan sesuai dengan kemauan kita. Apabila masih dirasa sulit, bicarakan dengan team leader untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut. Ini adalah langkah yang lebih bijak daripada terus memaksakan diri yang berakibat tak terkontrolnya emosi.
Selain itu, mengutip Psych Central, kita bisa mendistraksi emosi dengan memaksimalkan fungsi panca indra, seperti menggenggam benda kecil, mendengarkan musik, hingga menonton film. Atur juga emosi dengan mengambil napas dalam-dalam lewat perut sehingga sistem saraf menjadi lebih rileks.
Jika tips sederhana dirasa kurang, cobalah ubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Misalnya, tidur minimal delapan jam, mengonsumsi makanan kaya nutrisi, olahraga secara teratur 30 menit per hari, hingga pergi jalan-jalan untuk merilekskan diri. Dengan begitu, kita bisa lebih siap dalam menghadapi situasi tak terduga.
Namun, apabila dirasa emosi sudah cukup parah dan mengganggu relasi, pertimbangkan untuk menemui para profesional. Nantinya, mereka akan memberikan beberapa terapi (seperti CBT, ACT, atau DBT) untuk membantu mencegah respons atau reaksi yang berlebihan.
Lebih dari itu, mereka juga mungkin bisa menemukan pemicu yang menjadi sumber masalah dalam regulasi emosi. Pasalnya, dalam beberapa kasus gangguan mental, regulasi emosi bisa menjadi gejala utama, seperti gangguan kecemasan atau bipolar.
Lantas, bagaimana cara lainnya untuk mengatur emosi berlebih di lingkungan kerja?
Dengarkan jawaban lengkapnya dalam siniar Obsesif episode “Mengelola Emosi dalam Bekerja” dengan tautan akses dik.si/ObsesifS8E5 di Spotify.
Tak hanya itu, di sana, ada pula beragam informasi menarik seputar dunia kerja untuk para fresh graduate dan job seeker, loh. Jadi, akses sekarang juga siniar dan playlist-nya di YouTube Medio by KG Media agar kamu tak terlewat tiap episodenya!
Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya.
Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
Baca juga: Jangan Emosi! Begini Cara Membantu Korban Kekerasan Seksual