Istilah “alfa” yang belakangan ini sering disebut di medsos, sering dihubungkan dengan sosok yang kuat, dominan, dan percaya diri. Dalam konteks kepemimpinan, alfa dianggap sebagai figur pemimpin yang mampu menginspirasi orang lain dalam menghadapi tantangan dan mencapai kesuksesan.

Elon Musk adalah contoh pemimpin ambisius yang berhasil memimpin inovasi teknologi lewat Tesla dan SpaceX. Jeff Bezos sukses mendirikan dan memimpin bisnis Amazon. Contoh lainnya, Indra Nooyi yang berhasil memimpin inovasi strategis di PepsiCo. Mereka pemimpin yang memiliki kombinasi unik antara visi yang kuat dan keberanian mengambil risiko dan upaya memberikan inspirasi bagi orang lain agar mencapai sesuatu yang lebih besar.

Namun, di balik pesona tersebut, ada pertanyaan apakah kepemimpinan alfa selalu membawa dampak positif? Bagaimana cara mengelola perilaku ini agar efektif dalam berbagai konteks?

Dampak negatif kepemimpinan alfa

Pemimpin alfa merupakan figur sentral yang mendorong peningkatan kinerja tim dan organisasi. Mereka menetapkan target ambisius, disertai arahan yang jelas. Mereka mendorong anggota tim untuk keluar dari zona nyaman, seperti yang dilakukan Steve Jobs.

Meski demikian, inspirasi ini kadang diikuti dengan dampak emosional yang tidak ringan bagi tim, termasuk pada si pemimpin itu sendiri. Steve Jobs pada akhirnya sering kali berhadapan dengan tekanan yang ia ciptakan sendiri.

Sifat dominan pemimpin alfa juga dapat memicu konflik, terutama ketika mereka berhadapan dengan individu berkepribadian serupa. Selain itu, pemimpin yang sangat berfokus pada hasil, seperti Travis Kalanick di Uber, juga mungkin menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak etis.

Lebih jauh, gaya kepemimpinan ini dapat mendorong ketergantungan berlebihan dari tim terhadap pemimpin sehingga menghambat kemandirian dalam melakukan inovasi. Sebagaimana yang mungkin terjadi pada beberapa perusahaan keluarga ketika figur alfa memegang kendali penuh. Pendekatan yang terlalu dominan dapat membuat tim kehilangan suara dan menghambat kreativitas (Morency Editor, 2018).

Menyadari keseimbangan

Penelitian terbaru menunjukkan, kepemimpinan yang ideal membutuhkan kombinasi antara kekuatan dan empati, dominasi dan kolaborasi, serta ketegasan dan fleksibilitas.

Martin Luther King Jr memadukan ketegasan dengan empati dalam perjuangannya, sambil menegaskan, “Saya telah memutuskan untuk tetap bertahan dengan cinta. Kebencian adalah beban yang terlalu berat untuk ditanggung.”

Tak kalah penting, komunikasi yang efektif memungkinkan pemimpin menyampaikan visi dengan jelas sekaligus mendengarkan masukan tim, seperti kata-kata inspiratif King, “Waktu yang selalu tepat untuk melakukan hal yang benar.” Kombinasi ini menjadikan pemimpin alfa tidak hanya berwibawa, tetapi juga relevan dan inspiratif.

Baca juga: Manajemen Mikro, ketika Pemimpin Jadi Penghambat

Satya Nadella, contoh dari pemimpin alfa modern, yang menyeimbangkan sifat-sifat alfa tradisional seperti dominasi, ketegasan, dan keberanian, dengan pendekatan yang lebih manusiawi seperti empati, kolaborasi, dan kerendahan hati. Ini memungkinkan Microsoft untuk bertransformasi menjadi perusahaan yang inovatif, inklusif, dan relevan pada era teknologi saat ini.

Pendekatan kepemimpinan Nadella menunjukkan bahwa menjadi pemimpin alfa tidak berarti harus mendominasi secara agresif, tetapi menggunakan kekuatan mereka untuk memberdayakan orang lain dan menciptakan dampak yang lebih besar. Transformasi Bezos dalam beberapa tahun terakhir hanya berhasil ketika ia berubah dan berusaha menerima kritik sehingga dapat membantu menciptakan keseimbangan antara ambisi dan empati.

Mengintegrasikan kekuatan alfa dengan empati

Para pemimpin yang menyadari bahwa sifat dominan yang kental dapat mengadopsi servant leadership dapat menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan antara ambisi dan empati. Transformasi ini tidak hanya meningkatkan efektivitas pemimpin, tetapi juga membangun hubungan yang lebih erat dan mendalam dengan tim.

Servant leader menempatkan kebutuhan tim di atas kepentingan pribadi pemimpin. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang sering berorientasi pada otoritas, servant leader lebih menampilkan peran sebagai fasilitator dan pendukung. Ia berusaha memastikan bahwa setiap anggota tim merasa dihargai, didengar, dan didukung dalam proses kerjanya.

Richard Branson, pendiri Virgin Group, contoh lain dari pemimpin yang berhasil memadukan karakter alfa dengan prinsip servant leadership. Branson dikenal dengan filosofinya bahwa “karyawan adalah pelanggan pertama”. Baginya, keberhasilan bisnis dimulai dengan memastikan bahwa karyawan merasa dihargai dan didukung.

Salah satu langkah konkretnya dengan memberikan kebebasan kepada timnya untuk berinovasi, sambil tetap memberikan panduan yang jelas. Pendekatan ini menciptakan lingkungan kerja yang dinamis dan penuh kreativitas. Setiap individu merasa memiliki peran penting dalam kesuksesan perusahaan. Ini bukti bahwa kepemimpinan yang melayani tidak mengorbankan ambisi atau kekuatan seorang pemimpin.

Sebaliknya, servant leadership memperkuat posisi pemimpin dengan menciptakan hubungan yang lebih dalam dengan tim. Pemimpin tidak lagi hanya menjadi pengarah, tetapi juga mentor dan pendukung bagi timnya.

Integrasi alpha leader dengan servant leader bukanlah hal mudah. Ini memerlukan perubahan paradigma dan komitmen yang kuat untuk mendengarkan, belajar, dan berkembang. Banyak pemimpin alfa sudah terbiasa dengan kontrol penuh dan otoritas yang kuat sehingga membutuhkan upaya ekstra untuk melepaskan ego dan membuka diri terhadap pendekatan kolaboratif.

Namun, tantangan ini sepadan dengan hasilnya. Pemimpin yang melayani tidak hanya akan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif, tetapi juga meninggalkan warisan berharga dalam organisasi mereka.

Sebagaimana disampaikan ahli kepemimpinan Manfred Kets de Vries, “Kekuatan besar seorang pemimpin dapat berubah menjadi kelemahan jika tidak diimbangi dengan kerendahan hati dan kecerdasan emosional.”

Oleh karena itu, integrasi antara ketegasan dan empati menjadi kunci keberhasilan seorang pemimpin. Bila ingin  mempertahankannya, servant leadership harus sudah menjadi pola pikir si pemimpin. Ia tidak hanya mengarahkan, tetapi juga melayani. Dalam dunia kerja yang semakin kompleks, pendekatan ini tidak hanya relevan, tetapi juga esensial untuk menciptakan organisasi yang sukses dan berkelanjutan.

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.