Banyak organisasi sangat menyadari bahwa proses pengembangan keterampilan kepemimpinan tidak cukup bila dijalani oleh individu tanpa bimbingan dari para seniornya. Namun, tentunya senior yang ditunjuk juga harus memiliki keterampilan yang mumpuni untuk dapat membimbing juniornya tersebut mencapai tujuan yang ditetapkan. Inilah sebabnya program coaching dan mentoring ini ramai digalakkan di organisasi. Namun, kita juga melihat sering kali program ini dikalahkan dengan kesibukan operasional sehari-hari. Padahal, momen-momen mentoring adalah momen yang dapat dinikmati baik oleh mentor maupun mentee, mungkin sampai seumur hidupnya.
Sebuah perusahaan konsultan ternama mengembangkan program mentor mentee ini dengan memberikan fasilitas makan siang sebulan sekali kepada para eksekutif beserta dengan mentornya ini. Pembicaraan tidak dipantau, tidak juga ada daftar isian yang harus dilengkapi. Namun, hasilnya sungguh mengagumkan. Para eksekutif tidak pernah lupa pada mentornya, apa pesan-pesannya. Beberapa prinsip hidup dan bekerja para mentor pun mereka jadikan sebagai pegangan. Bila hubungan mentor mentee ini bisa demikian indah dan bermanfaat, mengapa kita sering merasa bahwa program ini sangat sulit diimplementasikan?
Banyak orang mengharapkan hasil nyata yang kasat mata dari hubungan mentor mentee ini. Padahal, hasil yang didapatkan sering tidak teraga, hanya bisa dihayati oleh mentor dan mentee yang bersangkutan. Mentorship bukanlah program pelatihan, ia tidak secara khusus mengajarkan keterampilan tertentu. Keluaran dari mentorship adalah hubungan yang berkualitas antara dua orang yang berbeda pengalaman dan keahliannya. Hasil saling berbagi dalam hubungan tersebutlah yang akan dirasakan oleh mentee dan bisa jadi juga mentornya.
Mentorship berjalan penuh empati sehingga hambatan-hambatan komunikasi sudah terdobrak menjadi komunikasi terbuka dan saling menambah wawasan. Yang senior semakin mengerti mengenai kehidupan kerja para yunior, sebaliknya si yunior mendapatkan wawasan mengenai nilai dan perspektif yang sarat dengan pengalaman hidup.
Namun, yang sering terjadi dan menjadi penyebab tidak mulusnya mentorship adalah masih kentalnya power imbalance sehingga tidak terasa adanya mutual benefit di antara mentor dan mentee. Dengan demikian, mentee mudah “merasa kecil” dan hanya merunduk-runduk kepada senior yang sudah berpengalaman. Sementara itu, mentor merasa mentee-lah yang lebih membutuhkannya sehingga ia terasa “angin-anginan” saja dalam menyediakan waktunya. Biasanya dalam hubungan seperti ini, aliran empati pun tidak akan terasa tulus.
Setiap pihak, baik mentor maupun mentee, perlu menghayati bahwa hubungan ini memiliki keuntungan bagi dirinya. What’s in it for me-nya perlu jelas bagi diri masing-masing, bukan sekadar bagi perusahaan ataupun pihak lainnya.
Proses mentoring yang berhasil akan membuka wawasan mentee mengenai budaya, nilai-nilai perusahaan, industri, dan kesempatan-kesempatan berkembang lainnya. Sebaliknya, mentor juga mendapat keuntungan. Ia mendapatkan wawasan baru mengenai perspektif anak muda, dengan gaya hidup dan pemikiran yang sangat berbeda dengan dirinya. Hal ini sangat berguna bagi mereka untuk memahami apa yang sedang terjadi di pasaran yang dikuasai generasi ini.
Mentorship = hubungan profesional yang “win–win”
Dalam hubungan mentorship ini, mentor tidak memberi nasihat secara bertubi-tubi pada mentee. Ia juga tidak memberi pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan para mentee. Dalam hubungan ini, mentor berusaha memahami wawasan mentee, dan kemudian memberi pandangan yang lebih luas kepada mereka. The role of the mentor is to help the mentee develop their quality of thinking and help them to put it in context. Jadi, tugas mentor dalam mentoring ini lebih banyak mendengar dan bertanya untuk menggali perspektif si mentee, membantunya untuk memahami dirinya sendiri dalam merancang masa depannya.
Dalam hubungan ini, respek kedua belah pihak sangat penting, antara yang senior ke yang muda dan sebaliknya. Mentorship is a gift of time and expertise built on mutual respect and trust, with clear rules of engagement.
Tips bagi para mentor
Sebagai mentor, kita tidak bisa lepas dari hubungan pribadi dengan mentee kita. Inilah sebabnya kita perlu mendalami kehidupan personalnya lebih dari sekadar hubungan kerja. Hanya dengan cara inilah kita dapat membina koneksi personal yang berkualitas.
Mentor selalu harus mengingatkan diri untuk tetap berpikiran terbuka bahwa ia tidak selalu benar. Tanyakan kepada mentee bagaimana ia menghendaki proses mentoring ini berlangsung. Jawabannya mungkin di luar ekspektasi kita karena pandangan mereka berbeda dengan kita ketika kita sebaya mereka. Sikap menerima pandangan berbeda inilah yang perlu kita kembangkan.
Tips untuk para mentee
Proses mentorship yang diprogramkan perusahaan, sering dilihat sebagai kewajiban, sehingga terkadang mentee tidak mempunyai rasa memiliki terhadap proses ini. Padahal, siapa yang dapat melakukan investasi dalam karier kita, kecuali diri kita sendiri? Kitalah yang perlu mengupayakan pencapaian sasaran kita.
Kita pun perlu membangun rasa percaya terhadap proses mentoring ini sekaligus juga dengan mentor kita. Bila respek dan trust tidak dikembangkan, waktu yang kita gunakan untuk proses mentoring ini akan terbuang percuma saja.
Seorang mentee harus sadar, perjalanan kariernya masih panjang. Oleh karena itu, ia masih harus terus belajar dan berkembang. Sehubungan dengan itu, seorang mentee harus memelihara semangat belajarnya terus untuk menyerap hal-hal baru yang ia temui sepanjang proses mentorship.
Yakinlah, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Sesuatu yang berharga dalam hidup dicapai melalui kerja keras, maka untuk pengembangan diri kita, jangan segan-segan mengerjakan PR kita.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
HR Consultant/Konsultan SDM
Baca juga: Gaya Manajemen pada Musim Pandemi.