Baru saja hybrid office mulai menjadi suatu gaya hidup baru, kita mulai dilanda kekhawatiran lagi dengan varian-varian baru virus yang sepertinya semakin lama semakin canggih. Kita butuh gaya manajemen yang kekinian pula.

Pola kerja kita sendiri tanpa disadari sudah terinterupsi. Banyak karyawan yang menolak ke kantor karena alasan jam perjalanan yang sudah tidak masuk akal, risiko penularan di ruang tertutup, atau sekadar sudah merasa nyaman dan produktif bekerja dari rumah. Padahal, kita semua tahu bahwa sebagai manusia produktif, kita memang memiliki keharusan untuk dapat beradaptasi dengan situasi hybrid ini untuk bekerja fleksibel, baik di kantor maupun di rumah sesuai dengan kebutuhan.

Bisa kita bayangkan betapa repot dan dilematiknya tugas pemimpin yang semakin dipersulit dengan keadaan VUCA dalam bisnisnya. Pemimpin perlu waspada terhadap apa yang dikatakan dan dilakukannya. Pada saat seperti ini, banyak yang menjadi sensitif, khawatir, tetapi tuntutan kerja justru malah semakin bertambah. Oleh karena itu, pemimpin tetap harus menerapkan manajemen decisive, tetapi sekaligus kolaboratif, strategis, tetapi tidak boleh melupakan jeritan grassroot.

Ia perlu action oriented tetapi tetap cerdik menghitung risiko. Ia harus atentif, tetapi tidak boleh terlalu micromanage. Tugas pemimpin seolah-olah berdiri di tengah papan jungkat jungkit yang tidak pernah bisa balance, apalagi dengan beragam tuntutan stakeholders dari berbagai arah. Ia perlu sadar bahwa pemimpin harus autentik, tanpa banyak drama.

Bila kita datang ke toko buku, beragam buku mengenai gaya kepemimpinan dari berbagai tokoh manajemen ada di sana. Gaya kepemimpinan efektif ini memang suatu isu yang tidak ada habisnya. Namun, dari waktu ke waktu, para periset tetap tidak menemukan gaya manajemen yang paling efektif dan cocok untuk setiap situasi. Setiap pemimpin pasti setuju bahwa perlu menggunakan gaya berbeda dalam situasi yang berbeda. Sebenarnya dengan situasi yang tidak menentu ini, bagaimana sebagai pemimpin kita harus bertindak?

Self-knowledge is power

Banyak pemimpin yang tindakannya membuat kita bertanya-tanya, apakah ia menyadari dampak buruk tindakannya ini pada bawahan atau bahkan masyarakat sekitar?

Self-awareness is key. Self-awareness adalah pengetahuan tentang diri sendiri, kekuatan dan kekurangan diri sehingga kita bisa secara aktif membenahi diri sendiri. Gaya kepemimpinan datang dari siapa kita. Bagaimana kita menghadapi satu situasi, apa yang kita lakukan adalah cerminan dari jati diri kita. Jadi, seorang pemimpin, tidak peduli berapa usianya, perlu banyak berefleksi diri tentang siapa dia, apa kebiasaannya, dan apa dampak yang ia berikan pada sekitarnya.

Kita juga perlu menyadari asumsi-asumsi dan bias-bias kita dan apa yang menjadi blind spot kita. Karena dengan tidak obyektifnya kita, kita sulit membina rasa saling percaya. Semua orang bisa memiliki pendapat subyektif, tetapi dengan kesadaran tinggi, kita bisa mengarahkan pikiran ke arah yang lebih obyektif dan menghindari pendekatan like and dislike yang memang sangat manusiawi sehingga dapat mengembangkan rasa empati dan memberikan feedback yang lebih tulus.

Kontrol diri yang kuat

Pemimpin dengan self awareness yang kuat biasanya sadar bahwa ia tidak mengetahui semua jawaban. Oleh karena itu, kekuatan kemampuan mendengar dan brainstorming menjadi sangat penting pada zaman perubahan yang serba cepat ini. Sadari kebiasaan kita yang mungkin ingin dengan cepat memberikan pendapat, jawaban, ataupun masukan kepada anak buah kita.

Upaya penyadaran dan kontrol diri ini pasti menimbulkan ketegangan pada diri kita, apalagi dalam situasi seperti sekarang. Oleh karena itu, seorang pemimpin perlu pandai-pandai mengurai stresnya dan mencari cara coping yang tepat, misalnya mengatur waktu istirahat, menjalankan work life balance dengan cerdik dan belajar cara mengekspresikan isi hatinya dengan tepat.

Dengan kekuatan self awareness dan kontrol diri ini, kita bisa bergerak lebih lincah dan berespons tepat pada situasi yang berubah-ubah.

Bagaimana manajemen tim dari jauh?

Dilema bekerja dari jauh, tidak bertatap muka, tetapi tetap menuntut kinerja optimal memang tetap ada dalam situasi pandemi ini. Apakah kita harus frustrasi dengan keadaan ini?

Kita sebenarnya bisa mencari jalan tengah dari situasi ini dan menguasai keadaan. Tentunya upayanya tidak sama dengan situasi tatap muka. Namun, di sinilah seni menerapkan manajemen atau kepemimpinan kita.

Pertama, agendakan waktu untuk membina hubungan. Banyak di antara kita yang segera memutuskan percakapan setelah “Zoom” usai. Padahal, dalam komunikasi informal seperti ini pemimpin dapat memperdalam self awareness-nya dan meningkatkan engagement serta trust dengan anak buah.

Kedua, menetapkan sasaran dengan lebih jelas, transparan dan detail. Mengingat dalam hubungan jarak jauh ini kita memang mengalami kendala dalam memantau anak buah kita, sasaran kerja menjadi salah satu indikator yang penting untuk diterapkan. Pecahkan sasaran-sasaran yang terlalu tinggi ke dalam sasaran-sasaran kecil sehingga dapat dipantau lebih intensif.

Ketiga, jangan lupakan manfaat komunikasi tertulis. Dalam bekerja secara remote ini, sinyal memang menjadi kunci utama. Namun, kondisinya sering kali tidak dapat dipastikan. Ada kalanya di tengah-tengah rapat, sinyal menghilang dan bisa jadi rapat terus berlangsung tanpa kehadiran 1–2 orang tersebut. Oleh karena itu, upayakan selalu ada notulen rapat sehingga semua orang memiliki informasi yang sama. Ingat juga untuk menindaklanjutinya pada rapat berikutnya agar proses kemajuan benar-benar terpantau.

Keempat, kreatif adakan acara teambuilding secara virtual. Walaupun mungkin tidak semenarik biasanya, proses pengadaannya saja bisa jadi sudah membawa aura positif pada tim.

Kelima, tampilkan wajah kita yang membawa semangat positif di depan kamera dalam rapat-rapat online. Bawahan membaca suasana hati kita dan suasana hati kita dijadikan barometer suasana seluruh divisi atau perusahaan. Di sinilah perlunya kontrol emosi kita.

Kita perlu ingat bahwa keadaan pandemi ini bukan keadaan darurat lagi. Kondisi ini adalah kondisi yang normal sekarang. Tim kita adalah investasi kita. Jadi, kita perlu 100 persen all out bila ingin menjadikan tim kita yang terbaik dengan kepemimpinan atau manajemen kita.

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM

Baca juga: Upskilling