Sempat mendapat sorotan dari media akibat beberapa sikap kontroversialnya, seperti saat penurunan baliho pimpinan Front Pembela Islam (FPI) maupun saat memimpin shalat bersama mahasiswa pada aksi demonstrasi Omnibus Law beberapa waktu lalu, Dudung ternyata telah melakukan beberapa gebrakan saat menjadi pimpinan di Akademi Militer.
Letnan Jenderal kelahiran 16 November 1965 ini mengawali karier dari nol di ranah militer. Namun, tanpa disangka, dengan peringkat taruna yang tak begitu signifikan, menurut tuturnya, Dudung berhasil menduduki posisi penting di TNI.
Salah satunya adalah jabatan Wakil Gubernur Akademi Militer pada 2015 hingga 2016, yang kemudian membawanya menjadi pimpinan di akademi tersebut pada periode 2018 hingga 2020.
Berangkat dari pengalaman pribadi
Dudung Abdurachman adalah lulusan Akademi Militer tahun 1988 dari kecabangan infanteri. Menurut paparannya dalam perbincangan dengan Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho dalam siniar BEGINU, semasa menjadi taruna, ia acap kali mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan dari senior.
Nyatanya, kultur seperti itu terus berlanjut di Akademi Militer hingga saat ia menjadi Wakil Gubernur. Ia merasakan keresahan akan kegiatan, yang menurut Dudung, tidak bermakna.
Baginya, tugas pokok, tujuan, dan sasaran dari setiap kegiatan yang dilaksanakan di akademi harus jelas.
Tanpa poin-poin ini maka setiap aktivitas dapat diprediksi tidak akan membawa hasil yang signifikan. Dengan kata lain, hanya membuang-buang waktu.
Berlandaskan pemikiran tersebut, ia menggenggam niat yang kuat untuk membawa perubahan pada metode pengajaran hingga nilai-nilai yang dianut di wilayah Akademi Militer.
Tiga kunci sukses
Setiap kali diamanahi sebuah jabatan, Dudung memegang sebuah prinsip. Keberhasilan dan kemenangan yang ia peroleh, bertolok ukur pada kemampuannya mengubah sesuatu yang baru.
“Kunci sukses itu ada tiga. Pertama, lupakan masa lalu; kedua, lakukan secara optimal, kalau maksimal kita sulit, dan yang ketiga, masa depan itu hanya sebuah cita-cita dan angan-angan, tetapi harus diperjuangkan,” papar Dudung.
Dimulai dari hal yang sederhana, seperti tidak membawa-bawa dan membandingkan kultur Akademi Militer pada masa lampau dengan masa sekarang. Ia mempercayai bahwa di generasi ini, kecerdasan lebih diandalkan ketimbang fisik semata.
Teknologi sudah meliputi segala lini kehidupan. Apabila memilih untuk menerapkan cara lama dalam belajar, pelajar akan tergerus oleh pesatnya perkembangan zaman.
Pada masa jabatannya, Dudung pun mengusung sebuah metode pembelajaran berbasis elektronik (e-learning) pada kegiatan belajar-mengajar di Akademi Militer.
Dirikan rumah ibadah
Sejak didirikan pada 11 November 1957, Akademi Militer hanya memiliki masjid dan gereja Protestan sebagai sarana peribadatan para taruna.
Menurut paparan Dudung Abdurachman, setiap hari Jumat, para taruna beragama Katolik maupun Hindu hanya dapat beribadah di sebuah kelas.
Hal ini menjadi keresahan bagi Dudung. “Mereka punya hak yang sama sebagai warna negara. Justru sedini mungkin, pada usia masih muda, kita ajarkan tentang toleransi beragama di sini,” ujarnya.
Akhirnya pada bulan Februari, ia menginisiasi pembangunan gereja Katolik dan pura di dalam area Akademi Militer. “Itulah sebenarnya implementasi Pancasila di situ,” sambung Dudung.
Mengubah relasi senior dan junior
Berdasarkan pengalamannya pada masa taruna, Dudung merasakan adanya kesenjangan antara senior dan junior. Bentuk-bentuk pelatihan dan hukuman yang melewati batas kerap menjadi jurang pemisah antara para senior dan junior. Dahulu, tidak jarang hukuman berat diberikan kepada para taruna.
Kepada para taruna senior, Dudung menyampaikan, “Kamu jangan ada kegiatan yang tanpa makna, semua harus ada tujuannya.” Ia pun menambahkan, “Jangan mendemonstrasikan kebodohan di depan saya.”
Kegiatan yang tidak mengandung tujuan ataupun hakikat tertentu pun perlahan diberhentikan. Berkatnya, perubahan besar terjadi di lingkungan Akademi Militer. Ia berpesan kepada para senior dan junior untuk membangun hubungan yang kokoh sebab mereka akan menjadi mitra dalam menjalankan tugasnya sebagai perwira pada kemudian hari.
Kritisi menu makanan
Ketelitian Dudung Abdurachman nyatanya juga meliputi hal yang spesifik seperti menu makanan para taruna. Ia menyampaikan kepada penanggung jawabnya, “Kamu jangan coba-coba motong uang makannya mereka.”
Ia tidak segan meminta rekanan pejabat di Akademi Militer untuk mengkritisi menu makanan taruna. Tidak tanggung-tanggung, ia meminta ahli gizi dan dokter untuk mengecek kandungan makanan sebelum dikonsumsi oleh para taruna.
“Hari Selasa–Kamis itu harus ada puding dan es krim. Sebulan sekali ada makannya beef steak,” kata Dudung. Baginya, ini adalah upaya dari Akademi Militer untuk memenuhi hak-hak para taruna.
Ketika ditanya mengenai alasannya membawa begitu banyak perubahan di Akademi Militer, Dudung menjawab, “Taruna ini kan semacam kertas lembaran putih yang belum ada tulisannya. Lembaga pendidikan taruna ini kan calon pemimpin, saya bentuk karakter. Dia harus punya karakter, integritas.”
Dudung berharap para taruna yang suatu saat akan menjadi pemimpin dapat memiliki karakter yang baik sebab karakter pemimpin akan memengaruhi karakter bawahannya.
Cerita ini disampaikan oleh Dudung Abdurachman secara lengkap dalam siniar BEGINU season kedua, episode ke-6 bertajuk Dudung Abdurachman, Loper Koran, dan Keberanian Bersikap Jenderal TNI.
Dengarkan perbincangan selengkapnya di Spotify, Google Podcast, Apple Podcast, atau platform pemutar audio favorit Anda lainnya. Klik https://bit.ly/S2E6Beginu-klasika untuk mendengarkan.
Penulis: Intania Ayumirza FP dan Brigitta Valencia Bellion
Baca juga : Strategi Pemasaran untuk Mempertahankan Bisnis saat Pandemi