Pepatah lama mengatakan, “Orang akan melupakan apa yang Anda katakan, orang akan melupakan apa yang Anda lakukan, tetapi orang tidak akan pernah melupakan bagaimana Anda membuat mereka merasakan.” Ini perlu menjadi pedoman kita bila ingin mengelola sumber daya manusia (SDM) secara kreatif.

Para pelaku bisnis sibuk mengucurkan dana untuk meningkatkan kepuasan pelanggannya. Mencari produk baru yang sedang diminati oleh pasar dan berinvestasi pada teknologi yang dapat membuat pengalaman berbelanja para pelanggannya menjadi lebih mudah dan menyenangkan.

Namun, berapa banyak yang secara serius mengalokasikan investasinya untuk membangun kepuasan karyawan? Padahal, konsultan Gartner menemukan bahwa 64 persen kepuasan pelanggan didapatkan dari interaksi mereka dengan para karyawan perusahaan penyedia jasa tersebut.

Data yang dimiliki Gartner juga menunjukkan bahwa perusahaan dengan customer experience (CX) yang tinggi memiliki lebih dari 60 persen karyawan yang merasa engaged dengan organisasi mereka. Mereka juga memiliki keuntungan hingga 25 persen lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak memedulikan employee experience (EX).

Pimpinan sering merasa bahwa karyawan akan senang dengan pembagian bonus, tunjangan, maupun kenaikan gaji setiap tahunnya. Namun, penghayatan karyawan bisa saja berbeda dengan apa yang diasumsikan pimpinan. Pembagian bonus bisa dianggap tidak adil, kenaikan gaji dirasa tidak seimbang dengan tuntutan tanggung jawab. Hal ini tentunya sah-sah saja karena perspektif karyawan adalah hak setiap karyawan.

Untuk itu, organisasi perlu merancang dengan lebih serius strategi untuk dapat benar-benar menangkap kebutuhan dan harapan karyawan terhadap organisasi. EX mencakup inisiatif yang komprehensif dari setiap aspek pengalaman karyawan selama ia bekerja dalam organisasi tersebut.

Mulai dari hari pertamanya bergabung di organisasi, proses penilaian kerjanya, sampai bagaimana organisasi memberikan dukungan dalam berbagai peristiwa kehidupan pribadi karyawan, seperti kelahiran dan kematian anggota keluarga.

Yang jelas, karyawan yang engaged akan bekerja lebih keras agar visi misi perusahaan tercapai. Mereka lebih kreatif dalam mencari peluang-peluang baru yang memberikan kontribusi bagi perusahaan. Karyawan yang diperhatikan oleh perusahaan, juga lebih memperhatikan orang lain. Pada akhirnya, pelanggan pun akan menerima perlakuan yang lebih baik, empati, dan kepedulian yang lebih besar.

Zappos, perusahaan e-commerce sepatu meyakini kunci kesuksesannya terletak pada kekuatan budaya perusahaan yang dibangun oleh pendirinya, Nick Swinmurn  dan Tony Hsieh. Semangat Zappos untuk delivering WOW kepada seluruh pelanggannya diawali dengan menciptakan tempat kerja yang fun dan inklusif bagi setiap orang.

Zappos percaya bahwa Zappos is not an average company. Our service is not average, and we don’t want our people to be average. Zappos bahkan menawarkan 1.000 dollar AS kepada para karyawan yang baru bergabung untuk meninggalkan perusahaan bila mereka merasa bahwa budaya Zappos ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka sendiri.

Buah dari komitmen Zappos untuk menghargai perbedaan dan keunikan individual ini berhasil membawanya menjadi perusahaan bernilai 1,2 miliar dollar AS hanya dalam waktu 10 tahun. Nilai tertinggi yang bisa diraih oleh perusahaan e-commerce saat itu.

CEO Starbucks Howard Behar yang menulis buku It’s Not About The Coffee: Leadership Principles from a Life at Starbucks, memiliki filosofi yang sangat jelas: our primary focus is not merely serving coffee; it’s about serving people.

Howard menyadari bahwa ia dapat merealisasikan prinsipnya ini melalui para karyawan yang dianggap sebagai partner. Para karyawan menerima manfaat, seperti opsi saham, asuransi kesehatan, dan menawarkan program penggantian biaya sekolah.

Selama resesi 2008, ketika banyak perusahaan mengurangi pelatihan karyawan karena keuntungan yang berkurang, Starbucks justru mengurangi jam operasional selama 3,5 jam untuk menyediakan kursus penyegaran espresso bagi para barista. Howard berhasil mengembangkan Starbucks dari 28 gerai ketika ia mulai bergabung, menjadi puluhan ribu gerai di berbagai lokasi.

CEO Virgin Atlantic Richard Branson berpendapat, “Klien tidak diutamakan. Karyawan adalah yang utama. Jika Anda menjaga karyawan, mereka akan menjaga klien.“ Sungguh terbukti pada perusahaan-perusahaan yang memperhatikan karyawannya.

Seorang mantan karyawan Zappos menceritakan pengalamannya selama bekerja di sana dan mengatakan, “Working at Zappos, i feel, is the best corporate job a person can have. Like any organization, there are problems, but the overall experience is fun, helpful, and rewarding.

Generasi muda sekarang pun terlihat semakin peduli dengan nilai-nilai yang diusung perusahaan. Mereka semakin kritis menilai apakah perusahaan benar-benar mempraktikkan nilai luhur yang dipasang di dinding perusahaan.

Tanggung jawab pemimpin dan pengelola SDM semakin jelas. Para pemimpin menjadi model untuk menginspirasikan rasa percaya, kejujuran, dan semangatnya sehingga membuat karyawan merasa didukung, dihargai, dan termotivasi.

Berinvestasi pada EX

Employee value proposition (EVP) melampaui sekadar upah dan segala macam tunjangan. Beberapa elemen, seperti budaya perusahaan, peluang pengembangan karier, kebijakan work-life balance, dan lingkungan kerja yang mendukung perlu dimasukkan pada penawaran kepada karyawan.

Kemajuan teknologi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sebenarnya memiliki peran besar untuk membuat kehidupan karyawan di organisasi menjadi lebih mudah. Program pelatihan yang spesifik dengan kebutuhan hingga proses pemantauan perkembangan masing-masing karyawan, komunikasi yang seamless, dan jalur karier yang dipersonalisasi adalah beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi dengan bantuan teknologi untuk membuat karyawan merasa unik dan dihargai.

Pelanggan akan mempertahankan loyalitasnya pada perusahaan yang konsisten dan reliabel dengan janji-janjinya. Demikian juga employee experience harus menjadi momen nyata yang benar-benar dirasakan oleh karyawan dalam setiap interaksinya di perusahaan. Jangan sekadar konsep yang dijanjikan oleh pimpinan perusahaan.

Apakah pimpinan tahu siapa yang paling sedikit mengambil cuti, siapa yang sering lembur, apa harapan mereka yang baru bergabung, siapa yang kerap makan siang sendirian, apa alasan utama mereka yang mengundurkan diri? Ketidakpedulian akan tetap terasa sekalipun dibungkus kata-kata manis pemimpin. If happiness translates, then so does employees’ unhappiness.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Baca juga: Memasuki Tahun VUCA