Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan sehari-hari manusia. Hal itu terjadi karena manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Pada era digital ditambah dengan pandemi, komunikasi yang tadinya bertatap muka, beralih menjadi daring.

Menurut Harry Febrian, seorang Digital Media Researcher, dalam siniar Obsesif, komunikasi sering disalahpahami sebagai proses berbicara saja. Padahal, saat menyampaikan pesan, juga terdapat proses dan pemaknaan isi. Hal ini diperparah dengan komunikasi digital yang sering kali memiliki banyak kendala.

“Komunikasi bukan hanya menerima dan mengirim pesan, tapi dia juga ada elemen-elemen penting yang sering terlupakan,” ujar lelaki yang sedang menempuh pendidikan di RMIT University.

Warganet Indonesia sendiri adalah buktinya. Ketika kita diakui sebagai masyarakat–di kehidupan nyata–yang ramah, justru berbanding terbalik saat berada di media sosial. Menurut laporan Microsoft yang sempat heboh, warganet Indonesia diberi gelar sebagai paling tidak sopan se-Asia Tenggara.

Pemahaman Audiens yang Sering Dilupakan

Salah satu faktor yang mendasari terjadinya distorsi dalam komunikasi digital adalah tak memahami audiens. Mayoritas dari kita hanya berfokus pada penyampaian opini tanpa memperhatikan dampaknya.

“Kita kadang-kadang sering fokus sama diri kita. Itu enggak salah. Tapi yang enggak boleh dilupakan adalah proses komunikasi itu juga melibatkan orang lain.”

Padahal, penting sekali untuk memahami audiens agar kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Sebelum menyampaikan opini, kita harus memperhatikan lingkungan yang dituju. Selain itu, diperlukan riset sebelum berkomentar agar opini tak blunder.

“Bayangkan proses komunikasi itu seperti menanam pohon tomat yang berbuah. Kita semua pengen punya proses komunikasi yang baik. Tapi sebelumnya, kita harus menyiapkan lingkungannya dulu.”

Setelah menyampaikan opini dan ada yang membalas, gunakan kesempatan itu sebagai ruang diskusi agar menciptakan kesepahaman bersama. Hal inilah yang sering dilupakan sehingga muncul keributan yang berujung pada debat kusir. Akhirnya, opini-opini yang tak relevan dengan topik pun muncul.

Padahal, masalah-masalah itu tidak harus diselesaikan dengan teknik-teknik komunikasi. Cukup gunakan empati dan pemahaman menyeluruh. Kita harus mampu untuk berhenti, berefleksi, dan menghargai opini orang lain. Apabila ingin menyanggah, gunakanlah bahasa yang baik dengan tak mengedepankan emosi.

Pentingnya Bertindak Asertif saat Berkomunikasi

Pemahaman terhadap audiens saat berkomunikasi secara digital dapat dilakukan dengan menggunakan komunikasi asertif. Harry memberikan sejumlah tips yang bisa dilakukan. Pertama, gunakanlah emoji saat berkomunikasi secara tulis. Menggunakan emoji dapat menunjukkan emosi yang sedang kita miliki pada saat itu.

Selain itu, perhatikan juga waktu membalas pesan karena ia juga bisa membentuk kesan. Apabila kita membalas terlalu cepat, terkadang akan dianggap sebagai orang yang terburu-buru. Namun, membalas pesan dengan rentang waktu yang lama akan dianggap mengabaikan dan cenderung tak peduli.

Selanjutnya, perhatikan kesalahan ketik. Adanya salah ketik bisa menimbulkan persepsi bahwa kita tak serius dalam menanggapi pesan. Hal ini sangat berlaku saat berada di lingkungan kerja yang profesional.

Yang sering dilupakan juga adalah ketakterbatasan ruang dan waktu pada komunikasi digital. Saat menulis sebuah opini di media sosial, terkadang kita secara bebas menulis karena merasa jauh dari audiens serta berlindung di balik anonimitas. Padahal, kalau sudah menyampaikan opini, semua jejak telah terekam secara permanen di dunia digital.

“Yang sebetulnya anonim itu enggak betul-betul anonim. Cukup mudah untuk di-trace. Jadi, kalo ada temen-temen yang memiliki perasaan aman di dunia digital, itu perasaan yang semu,” tutupnya.

Obrolan lebih lanjut seputar fenomena komunikasi digital bersama Harry Febrian, bisa kalian dengarkan di siniar Obsesif bertajuk “Komunikasi, Teknologi, dan Medsos dalam Keterbatasan Kondisi Nyata”. Dengarkan sekarang juga atau akses melalui tautan berikut https://dik.si/obsesifharryf.


Penulis: Alifia Putri Yudanti & Brigitta Valencia Bellion

Baca juga : Tantangan dan Solusi Berbisnis pada Era Pandemi