Dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh tiga generasi, terasa sekali bahwa pendapat dan wawasan generasi milenial dan generasi Z ini sungguh mengejutkan. Mereka sering dianggap sebagai junior yang sulit dimengerti. Namun, sebenarnya, kita memang harus sering mendengarkan pendapat mereka karena cara mereka memersepsikan dunia ini memang berbeda dengan pemahaman generasi sebelumnya, tetapi lebih sesuai dengan pasar yang terjadi sekarang.

Pikiran mereka tampak jauh lebih berdiversifikasi, berkonsep, dan mengandung self reflection. Mereka bisa disebut sebagai digital native, sementara kita bila mau belajar, bisa menyebut diri kita digital immigrant yang belajar menjadi pengguna setia dari beragam layanan yang ditawarkan pasar dunia digital, tetapi tetap membawa gaya komunikasi, cara berpikir, dan keterampilan dari masa lalu.

Cepat atau lambat, kita sudah harus membangun digital organizations. Artinya, kita sebagai baby boomers dan gen X perlu melakukan reskilling kemampuan-kemampuan kalau tidak mau ditinggal oleh mereka. Tidak disangka-sangka, generasi muda inilah yang menyadarkan pada kita bahwa pelanggan tidak sekadar raja yang harus dituruti, tetapi juga lebih dari itu harus dipahami dan didalami kebutuhannya.

Pada April 2016, SAP, sebuah perusahaan ERP raksasa Jerman mengangkat Thomas Saueressig yang berusia 31 tahun menjadi Chief Information Officer. Ia ternominasi sebagai CIO termuda oleh majalah Forbes Global. Kesuksesan Saueressig membuktikan, generasi digital ini kenyataan di depan mata. Ia menekankan betapa pelanggan perlu didengar: “The expectations of end users have changed significantly, especially for the new generation of millennials.” Ia juga mengatakan, transformasi pola pikir baru dari pola pikir teknologi informasi (TI) yang tradisional perlu dilakukan secara menyeluruh.

Kita memang tidak bisa mengelak dari pandangan dan perspektif yang sudah berbeda 360 derajat. Bila dulu kita banyak berfokus dan berorientasi pada produk, sekarang, pemahaman dan keahlian menggali kemauan dan kebutuhan pelangganlah yang menjadi fokus. Bila dulu data pelanggan yang ada sering terabaikan, sekarang, data tersebut dianggap harta yang paling berharga.

Untuk menjembatani perbedaan antargenerasi ini, mau tidak mau kita harus mendalami pemikiran dan persepsi generasi muda ini. Bila tidak, bahkan menjadi digital immigrant pun kita tidak akan berhasil.

Belajar dari para milenial

Kesenjangan generasi ini menurut Saueressig tidak hanya disebabkan usia, tetapi juga kelahiran pada era yang berbeda sehingga mereka memiliki cara berpikir yang berbeda.

Pertama, generasi baru ini memiliki visi yang lebih berjangka panjang. “This young generation is high-context,” demikian seorang chief employee experience berkomentar. Mereka mau tahu mengapa dirinya harus bekerja di sini, ke mana tujuan organisasi ini. Mereka pun tidak melihat dunia TI seperti cara kita melihat. Menurut mereka, TI tradisional itu sekadar help desk.

Bila generasi kita sibuk dengan “silo-silo” dan enggan bekerja sama, mereka justru tidak tahan dalam suasana kerja dengan interaksi yang terbatas. “When it comes to managing their work, you have to meet them in that way — the social way.” Mereka membutuhkan umpan balik dengan segera supaya mereka tahu bagaimana melanjutkan pekerjaannya. Mereka senang pada kreativitas dan kebebasan dalam eksekusi. Terlalu banyak do’s dan don’ts dianggap menghambat kreativitas mereka.

Mereka juga tidak percaya pada hierarki. Menurut mereka, sangatlah wajar bila ada anak muda yang kreatif dan cakap ditunjuk untuk mendobrak active inertia alias kemapanan organisasi. “It’s more about connecting the right people to do the right things

Mengingat masa depan adalah milik yang muda, kita benar-benar perlu berusaha untuk menjembatani perbedaan mindset ini dan mengikuti tuntutan masa depan dalam perkembangan organisasi kita.

Menjembatani generasi

Pertama, kita perlu membangun persepsi dan visi yang sama mengenai TI. TI bukan lagi divisi yang mengurus automasi proses bisnis perusahaan, melainkan sebagai jantung perusahaan. Karena kita memang sudah akan membangun digital organizations, TI perlu mengarahkan perusahaan ke cara-cara baru agar perusahaan dapat menangkap dan menjawab kebutuhan pelanggan dengan waktu yang super cepat.

Pada masa digital ini, ada dua hal yang menjadi fokus utama dari perusahaan, yaitu data dan marketing. Belum pernah ada era ketika marketing dan TI menjadi demikian penting, terutama dengan ditunjang kemampuan untuk membaca data dan menganalisisnya. Kedua bagian ini harus berkolaborasi dan berinovasi dalam menyuarakan peran perusahaan bagi publik melalui kecanggihan TI-nya. Kedua kubu ini perlu saling mengerti.

Kita juga tidak boleh berasumsi soal usia. Ada penelitian yang mengatakan, tidak semua baby boomers atau gen X yang berpola pikir fixed. Banyak analis data dari gen X yang sukses karena pengalamannya selain bahwa mereka juga belajar mengenai teknologi baru dan berpikir out of the box.

Baby boomer termuda saat sekarang berusia 50 tahun dan yang tertua sekitar 70-an tahun. Banyak di antara mereka sudah mulai memikirkan saat-saat pensiun. Perusahaan perlu memikirkan knowledge gap yang akan terjadi bila kepergian mereka tidak dipersiapkan.

Ada beberapa hal juga yang dapat dilakukan, seperti melibatkan para baby boomers dalam program inisiasi perusahaan agar karyawan baru mendapatkan tacid knowledge dari pengalaman mereka, sampai menggalakkan program mentoring untuk mentransfer values perusahaan. Ada perusahaan yang sengaja memasangkan para senior dengan generasi digital native ini dalam proyek-proyek inovasi sehingga terjadi kolaborasi antara dua mindset yang berbeda untuk memperkaya hasilnya.

Hal yang juga sangat populer saat ini adalah diadakannya reverse mentoring yaitu proses belajar terjadi dari kedua belah pihak, baik yang tua maupun yang muda, sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Semesta sebetulnya masih menyediakan kemungkinan bagi kita untuk hidup bersama asalkan memang berkehendak untuk beradaptasi.

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM