Perkembangan kota dan sekitarnya bergerak melingkar ke arah luar. Pertama-tama pusat kota sebagai porosnya, lantas merambat ke tepian-tepiannya. Ini menciptakan area menarik, transisi antara kota dan lahan-lahan persawahan atau pesisir. Wilayah ini pelan-pelan terbangun: desakota. Sayangnya, pembangunan kerap tak terencana dengan baik.

Moench dan Gyawali (2008) mendefinisikan desakota sebagai lingkungan peralihan antara kota dan desa yang sistem komunikasi, transportasi, dan ekonominya sudah terkoneksi. Wilayah ini memiliki ciri-ciri desa sekaligus kota. Misalnya, teknologi komunikasi modern sudah masuk ke wilayah ini dan penduduknya masih begitu agraris. Sektor ekonomi formal dan informal pun tumbuh bersamaan.

Sebenarnya, desakota amat potensial. Wilayah ini bisa berfungsi sebagai permukiman, ruang terbuka hijau penyeimbang padatnya lahan perkotaan, daerah resapan air, atau tempat untuk memperkuat ketahanan pangan. Musuhnya adalah pembangunan serampangan yang tak memperhitungkan keseimbangan pemanfaatan lahan.

Pengembangan desakota yang belum direncanakan dengan baik menggugah Krill Office for Resilient Cities and Architecture dari Belanda untuk mengadakan penelitian tentang tata desakota di sebelah selatan Yogyakarta. Krill lantas mengajak empat arsitek/biro arsitektur (SHAU, Felixx, Eko Prawoto, Sigit Kusumawijaya) dan pakar dari empat perguruan tinggi (UGM, UKDW, IHE, IHS) untuk mengadakan penelitian dan mencari arah untuk pengembangan desakota. Hasil penelitian tersebut dipamerkan dalam “Proto Tamansari Exhibition Desakota-Peri Urban Area: Indonesia’s Claim to the World’s Greenest Metropole” yang diadakan di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta, pada 4–24 September 2015.

Dalam seminar yang diselenggarakan Senin (14/9) di Erasmus Huis, dikemukakan tiga persoalan utama yang mesti dipikirkan dalam pembangunan desakota: infrastruktur, agrikultur, dan air. Di banyak desakota, sawah dan lahan pertanian telah banyak berganti wajah menjadi permukiman. Ini juga terjadi di Wirosaban, salah satu daerah fokus penelitian. Untuk merawat kultur bertani di desakota, sebagian sawah yang masih tersisa rencananya akan dibeli pihak universitas untuk dijadikan sekolah tani dan laboratorium agraris yang akan berkontribusi meningkatkan pengetahuan tentang pertanian.

Olaf Gerson, peneliti dari asosiasi perencana kota Isocarp, juga melihat infrastruktur jalanan yang selama ini eksis di wilayah selatan Yogyakarta belum mampu mengakomodasi kebutuhan mobilitas penduduk, apalagi untuk beberapa tahun ke depan. Kebutuhan akan infrastruktur ini semakin krusial karena Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata. Mesti ada transportasi yang mudah untuk membantu pelancong mengunjungi daerah-daerah pinggiran yang punya daya tarik besar. Jika memungkinkan, ke depan mesti dibangun jalur kereta dengan stasiun-stasiun kecil di desakota.

Di samping sistem transportasi yang baik, arsitektur dan budaya lokal menjadi potensi besar untuk mengangkat pariwisata dan kesejahteraan penduduk desakota. Arsitektur lokal merupakan daya tarik sekaligus penguat identitas desakota.

Ada banyak desakota lain di Indonesia yang perlu dibangun dengan pendekatan berbeda-beda. Yang pasti, setiap pembangunan mesti memperhitungkan keseimbangan proporsi penggunaan lanskap untuk permukiman, pertanian, dan irigasi. Selain itu, komunitas lokal perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan. [NOV]

noted: Desakota Mau Dibawa ke Mana