Dengan manis Nadine (6) menawarkan teh kepada tamunya siang itu. “Tehnya mau pakai gula dan susu?†tanyanya. Ia lalu menyodorkan cangkir plastik kecil berwarna merah jambu kepada tamunya. “Alas cangkirnya pakai yang warna biru, ya. Aku suka kalau warna alasnya beda dengan cangkirnya,†lanjut Nadine.
Teman baru Nadine yang usianya jauh lebih dewasa itu lantas mengucapkan terima kasih dan berpura-pura menyesap teh dari gelas plastik yang kosong. Yang ditawarkan Nadine memang bukan teh sungguhan. Ia sedang bermain peran dengan mainan peralatan makan yang dimilikinya. Interaksi hangat itu terjadi di dalam ruang semacam kamar yang memang dikhususkan Judith (33) dan suaminya, orangtua Nadine, sebagai ruang bermain untuk anak-anaknya di rumah.
Judith menyadari benar, proses belajar anak dimulai dari bermain. “Untuk anak-anak, dunia mereka adalah bermain. Belajar saja dimulai dari bermain. Kalau kita punya satu tempat bagi anak untuk bereksplorasi, mereka main dengan lebih lepas. Kalau diajak main pun lebih kooperatif karena di sini dia bisa lebih fokus, perhatiannya tidak terpecah ke hal lain, seperti televisi atau gadget,†tutur Judith, Rabu (4/11).
Di ruangan seluas kira-kira 20 meter persegi itu, ada beragam mainan, misalnya mobil-mobilan, boneka, replika dinosaurus, lego, dan rumah-rumahan. Judith juga mengajarkan anak-anaknya, Nadine dan Brandon, untuk mengingat tempat menyimpan tiap mainan dan membereskannya setelah selesai dipakai.
Ruang bermain itu terletak di samping tangga, memanfaatkan sebagian ruang kosong di bawah langit-langit yang memang tinggi. Judith bercerita, ketika pertama kali dirancang, ruang bermain tersebut berada di lantai dua. Namun, suatu kali arsitek rumah tersebut menawarkan untuk “menyulap†langit-langit garasi untuk menjadi sebuah ruangan.
“Kami pikir benar juga usulnya, langit-langit garasi tidak perlu terlalu tinggi. Akhirnya ruang inilah yang dijadikan ruang bermain. Letaknya yang di antara lantai satu dan dua memudahkan kami untuk memantau anak-anak, apalagi dindingnya sebagian besar terbuat dari kaca,†cerita Judith.
Beberapa hal dipertimbangkan dengan matang agar ruang tersebut aman dan nyaman bagi anak-anak. Lantainya dilapisi bahan vinil yang tidak terlalu keras atau terlalu dingin, sekaligus mudah dibersihkan. Judith juga menyediakan karpet karet yang cukup empuk agar anak-anaknya merasa betah di sana. Ruang tersebut pun bebas dari benda-benda tajam atau yang mudah pecah.
Pentingnya bermain
Bermain merupakan fondasi untuk tumbuh kembang anak. Dari sisi psikologi perkembangan, ada lima aspek perkembangan yang bisa ditumbuhkan dengan bermain, yaitu fisik, kognitif, bahasa, emosi, dan sosial.
Psikolog Anna Surti Ariani menjelaskan, permainan yang menggunakan motorik kasar ini akan melatih fisik anak. “Bukan sekadar membuat anak sehat, permainan ini membuat koordinasi motorik anak lebih baik dan berbagai jenis kecerdasan berkembang dengan lebih baik,†ujar Nina, panggilan akrabnya, Rabu (4/11).
Anak juga belajar berpikir strategis ketika bermain, misalnya lewat petak umpet. Dia harus menentukan mau bersembunyi di mana agar tidak mudah ditemukan. Anak juga bermain konsentrasi, daya ingat, dan ketelitian. Permainan-permainan ini juga memperluas wawasan dan memberi ide-ide tambahan untuk anak. Permainan yang mengandung unsur kata-kata, misalnya dalam bentuk lagu, berkontribusi terhadap kecerdasan bahasa. Ia belajar memperluas kosakata, memahami struktur bahasa, dan mengungkapkan pendapat.
Permainan juga merangsang berbagai hormon yang memunculkan rasa senang sehingga anak merasakan emosi positif. Jika ada hal-hal yang memicu emosi negatif, anak juga belajar untuk mengenali dan mengatur emosinya. Sementara itu, manfaat sosial bisa didapatkan terutama ketika anak bermain bersama orang lain, misalnya orangtua, saudara, atau temannya. Ia belajar bersosialisasi, mengungkapkan pendapat, mengenali emosi orang lain, dan memperlakukan orang lain sesuai emosinya.
Sebagian efek positif bermain, diakui Judith, sudah tampak pada anak-anaknya, “Mereka jadi lebih bertanggung jawab dan berani menyatakan pendapatnya.†Nina mengatakan, memang baik jika anak punya tempat bermain khusus, tetapi itu tidak harus disediakan di ruang tersendiri jika tidak memungkinkan.
Orangtua bisa menyediakannya di kamar anak, sudut di ruang keluarga, atau di taman kompleks sejauh itu aman. Yang pasti, anak mesti didukung untuk bermain karena di sanalah puncak eksplorasinya. Seperti kata Einstein, “Play is the highest form of research.†[NOV]
noted:Â Ciptakan Ruang untuk Bereksplorasi