Padahal, lingkungan kerja yang baik dapat membawa kita pada suasana positif. Namun, faktanya menurut survei PPM Manajemen diketahui, ada 80 persen pekerja yang mengalami gejala stres selama masa pandemi Covid-19.
Namun, Henry Manampiring, penulis Filosofi Teras, berkata lain. Dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Menghadapi Atasan yang Kurang Suportif” ia mengatakan sumber stres dapat berasal dari kepercayaan yang irasional dan tak sesuai realitas.
Ekspektasi berlebih bisa jadi toksik
Biasanya, harapan berlebih dengan penggunaan kata harus pada suatu hal bisa membuat pikiran menjadi tak sehat, “Nah, ini harus waspada dengan kata-kata harus. Akan lebih sehat buat sehat kalo kita bilang: idealnya saya mau dapet lingkungan positif.”
Menurutnya, ekspektasi diri yang tak terealisasi dapat membuat kita menderita. Padahal, situasi lingkungan kerja berada di luar kendali kita.Â
Banyak dari kita yang sudah menanamkan pemahaman bahwa lingkungan negatif bisa membawa pola hidup buruk. Pada akhirnya, hal itu malah membuat kita menyandarkan kehidupan pada lingkungan.Â
Henry mengatakan, ajaran stoisisme sangat kontradiktif dengan pernyataan tersebut. Menurut para filsuf, kualitas hidup tak ditentukan oleh lingkungan, tapi respons dan pilihan kita terhadapnya.
“Sangat dipercaya dalam Filosofi Teras kita bisa memiliki hidup yang baik dalam lingkungan yang buruk,” tambahnya.
Lingkungan kerja kurang suportif
Saat kita merasa lingkungan kerja kurang suportif, menurut Henry, ada dua hal yang dapat dilakukan oleh kita. Pertama, perhatikan kembali kebenaran dari perkataan kita.
Menurutnya, bisa jadi itu hanyalah perspektif kita sendiri karena tak sesuai dengan yang diinginkan. Padahal, rekan kerja memiliki bentuk dukungan yang beragam. Misalnya, ada yang memberikan ucapan, tutor secara langsung, hingga pemberian hadiah.
Kedua, apabila telah ada bukti, kita bisa berkomunikasi dengan mereka perihal masalah yang dialami. Henry juga menyampaikan, “Banyak orang tetap kerja itu berharap kalo bosnya bisa baca pikiran, padahal enggak.”
Apabila usaha-usaha yang telah dilakukan masih belum berhasil, kita bisa menceritakannya ke HR. Hal ini dilakukan agar kita bisa mendapat solusi terbaik. Akan tetapi, kalau masih menemukan kendala, langkah terakhir yang bisa dilakukan adalah resign.
Namun, menurut Henry, pengalaman “keras” itu yang bisa membentuk kepribadian dan kemampuan kita menjadi lebih baik.Â
“Kamu kan gak pernah tau skill-skill, ketekunan, keuletan yang kamu dapatkan di situasi ini. Kelak, beberapa tahun lagi mungkin kamu melihat ke belakang dan bersyukur, loh,” pungkasnya.
Kiat-kiat untuk atasan agar suportif
Melihat dari sisi atasan, penting juga bagi mereka berusaha agar para karyawannya memiliki rasa nyaman. Oleh karena itu, Henry memberikan empat keutamaan hidup baik yang bisa diterapkan.Â
Pertama adalah wisdom (kebijaksanaan). Dalam hal ini, ketika mengambil keputusan, atasan tidak boleh tergesa-gesa. Dengarkan dengan saksama semua masukan dan opini dari bawahan.
Kedua adalah courage (keberanian), yaitu berani bertindak dan mengambil keputusan. Jadi, ketika bawahan melakukan kesalahan jangan takut untuk menegurnya. Selain itu, atasan juga harus berani melindungi bawahan saat ia melakukan kesalahan.
Ketiga, yaitu temperance (ketahanan diri) yang berupa menahan diri dari nafsu. Misalnya, berikanlah pekerjaan dalam proporsi yang layak dan jangan terlalu berlebihan dalam memuji atau menegur.
Terakhir adalah justice (keadilan). Elemen keutamaan hidup ini dapat dilakukan ketika bawahan meminta hak cuti, sebagai atasan, kita harus memberikannya. Selain itu, perlakukan bawahan setara dan jangan sampai ada yang namanya “anak emas”.
Dengarkan lebih lanjut obrolan bersama Henry Manampiring dalam siniar Anyaman Jiwa di Spotify. Ikuti juga siniarnya agar kalian senantiasa punya teman cerita!
Penulis: Alifia Putri Yudanti & Ikko Anata
Baca juga:Â Benarkah Rasa Insecure Menghambat Pikiran Positif terhadap Diri Sendiri.