Konsep employability sudah tidak lagi sekadar organisasi yang dapat menjamin hari tua. Dalam suatu pembicaraan di media sosial, ada seorang calon pekerja yang berkomentar, “Saya mau-mau saja pindah pekerjaan, tetapi tidak ke perusahaan yang Anda sebutkan ini. Suasana di perusahaan ini toksik (toxic).”
Pembicaraan pun berlanjut dengan tanggapan beberapa orang yang menyebutkan indikasi-indikasi perusahaan toksik. Antara lain, gejala “silo”, cari muka, dan sikut-sikutan. Mendengar ini, kita mungkin berpikir, bukankah hampir di semua organisasi, hal-hal seperti ini dapat terjadi? Pada kondisi sejauh apa kita dapat menyebutnya sebagai toksik?
Kata toksik berkonotasi sangat kuat dan keras. Setiap organisasi tentunya menghindari tersangkut label toksik yang membangkitkan kesan gerah dan terasa beracun ini. Sebuah penelitian di Amerika yang dilakukan MIT menemukan bahwa budaya toksik inilah penyebab utama karyawan meninggalkan perusahaan.
Anda mungkin masih ingat Travis Kallanick, pemimpin Uber yang kontroversial karena beberapa tindakan tidak etis terhadap pengemudi maupun karyawannya sendiri sehingga banyak eksekutif yang meninggalkan perusahaan dan mengakibatkan kerugian yang amat besar. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 58 persen karyawan melakukan resign disebabkan budaya toksik dari perusahaan terdahulunya.
Istilah “suka tidak suka, terima saja” sudah tidak bisa berlaku dalam dunia yang semakin kritis dan disruptif ini. Pilihan yang tersedia jauh lebih banyak, job hopping pun sudah dipandang hal yang lumrah saat ini. Sebanyak 65 persen gen Z umumnya bertahan kurang dari setahun dalam sebuah organisasi. Angka yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan gen X, baby boomers, atau bahkan milenial sekalipun. Untuk itu, organisasi perlu benar-benar mengupayakan budaya yang sehat, positif, dan terus bertumbuh.
Budaya disfungsional
Pada setiap tempat kerja, budaya disfungsional bisa muncul dalam beragam bentuk. Mulai dari perundungan (bullying), berkoalisi yang tidak sehat, sampai praktik-praktik ketidakjujuran dan yang melanggar kode etik. Bahkan, pada masa bekerja secara virtual seperti ini pun, suasana toksik juga bisa terjadi melalui perundungan dalam bentuk pesan elektronik maupun telepon.
Banyak yang menuduh atasan sebagai penyebab situasi toksik ini. Namun, sesungguhnya kondisi ini dapat disebabkan siapa pun juga pada level apa pun juga. Memang kepemimpinan yang lemah cenderung membiarkan budaya toksik ini terus berkembang karena ia tidak memiliki keberanian untuk mengakhirinya.
Bagaimana bentuk perusahaan disfungsional? Perusahaan berkinerja tinggi dan bergengsi yang bangga dengan budaya bekerja tidak kenal waktu, tanpa sadar telah membangun budaya toksik yang memeras karyawannya. Pesan elektronik berseliweran selama 24 jam penuh, orang dituntut untuk multitasking, pimpinan yang bangga dengan proyek yang bertumpuk, karyawan sakit yang tidak berani untuk beristirahat karena khawatir performanya dinilai jelek adalah salah satu ciri dari budaya toksik.
Suasana toksik juga terjadi dalam kebiasaan mencari kesalahan, menyalahkan, dan alergi terhadap kesalahan. Dalam situasi ini, tidak seorang pun mau bertanggung jawab terhadap kejadian tertentu walaupun berada dalam areanya. Sebab, setelah menemukan pelakunya, pembahasan difokuskan pada tudingan kesalahan secara bertubi-tubi tanpa ada yang tertarik untuk membahas “what next” agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali. Dalam budaya ini, gejala umum yang tumbuh adalah budaya “pokoknya bukan saya” sehingga tidak ada yang mau mengambil risiko.
Budaya yang penuh ancaman seperti ini bisa saja pada mulanya dimaksudkan untuk menegakkan kedisiplinan. Namun, peringatan terhadap pelanggaran yang berbentuk ancaman ekstrem, akan membangun budaya penuh ketakutan dan suasana kerja berubah menjadi kasar serta menghindari tanggung jawab.
Ada juga kebiasaan dalam beberapa lembaga yang membangun kolaborasi dan preferensi dengan golongan tertentu. Bisa dari suku bangsa, agama, bahkan universitas tertentu yang membuat mereka yang di luar golongan tersebut mengalami kesulitan untuk berkembang.
Terakhir, budaya dengan pimpinan yang selalu benar. Pertanyaan dan kritik dianggap vokal dan berbahaya serta bisa membuat mereka tersingkirkan. Pemimpin dengan jelas menunjukkan preferensinya kepada mereka yang memuja-mujanya lepas dari benar ataupun salah tindakannya.
Bisakah kita bayangkan rasa aman karyawan di organisasi-organisasi seperti ini? Karyawan yang tidak mempunyai pilihan lain akan bertahan di perusahaan seperti ini, dan berfokus pada keamanan pekerjaannya tanpa peduli terhadap perkembangan organisasi. Sementara itu, karyawan yang potensial membawa kemajuan organisasi, pasti akan mencari tempat lain yang dapat memberikan kenyamanan bekerja. Bukankah ini sangat merugikan organisasi?
Tempat kerja ideal
Banyak orang khususnya pimpinan perusahaan merasa bahwa kultur mereka baik-baik saja, minimal tidak sampai toksik. Namun, pada zaman ketika para milenial sangat kritis terhadap nilai yang dianutnya dan yang dilihat di tempat kerja, kita harus mengkaji praktik-praktik yang terjadi di organisasi kita. Apakah ada yang sekiranya menciutkan nyali para karyawan?
Salah satu cara untuk mencegah berkembangnya budaya toksik adalah memperkuat komunikasi organisasi. Sistem “whistle blowing” karyawan yang menjamin anonimitas dapat memberikan masukan kepada manajemen mengenai kondisi organisasi. Perubahan dalam organisasi juga perlu dikomunikasikan dengan hati-hati dan cermat sambil merabarasakan respons karyawan terhadap perubahan tersebut dan sikap terbuka untuk membuat penyesuaian jika diperlukan setelah proses diskusi terjadi.
Orang-orang tidak meninggalkan pekerjaan, mereka meninggalkan budaya kerja yang toksik. – Dr Amina Aitsi-Selmi
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Menumbuhkembangkan Bawahan