Pada zaman yang serba cepat dan penuh persaingan ini, inovasi bukan lagi sebuah pilihan, melainkan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Tanpa kemampuan untuk beradaptasi dan mencipta, organisasi akan tertinggal dan terlupakan.

Tuntutan pasar sudah semakin kompleks dan kompetitif. Terkadang kita tidak habis pikir bagaimana cara para kompetitor begitu cepat menciptakan beragam produk baru dengan proses yang lebih efisien sehingga harganya pun lebih ekonomis dari produk kita.

Untuk menciptakan budaya inovasi berkelanjutan, inovasi tidak bisa hanya dibebankan kepada segelintir orang ataupun manajemen puncak untuk mengeluarkan ide cemerlang yang akan mengubah organisasi. Kita perlu mendorong kesadaran bahwa setiap insan dalam organisasi memiliki tanggung jawab untuk berinovasi.

Jesse Nieminen menyebut budaya inovasi sebagai “mesin yang mendorong organisasi untuk terus berkembang, maju, dan berinovasi”. Lebih dari sekadar membuat produk baru, inovasi berarti menciptakan ruang di mana ide-ide segar dapat berkembang, eksperimen dihargai, dan kegagalan dianggap sebagai bagian dari proses belajar.

Budaya organisasi pada dasarnya adalah kumpulan dari praktik, proses, kebiasaan, nilai, struktur, dan tentu saja segenap individu yang dimiliki organisasi. Para pemimpin harus memahami bahwa budaya bukan sekadar perasaan yang tidak jelas, atau hasil akhir dari pidato nilai yang disampaikan pemimpin. Namun, merupakan representasi yang konkret tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam organisasi, terutama ketika tidak ada instruksi eksplisit.  Bagaimana organisasi tetap berkomitmen pada inovasi ketika bermunculan prioritas-prioritas lain? Bagaimana sistem dan praktik dengar pendapat di organisasi terhadap ide-ide baru?

Bagi perusahaan yang sudah lama berdiri dengan tradisi kuat, berubah menuju budaya inovasi tidaklah mudah. Microsoft, contoh perusahaan yang pernah dianggap konservatif dan birokratis. Namun, di bawah kepemimpinan Satya Nadella, Microsoft berhasil menciptakan lingkungan yang mendorong ide-ide baru, mengedepankan kolaborasi, dan mendukung karyawan untuk mengambil risiko yang terukur.

Kathleen Hogan, Chief People Officer Microsoft, mengatakan, “Transformasi harus dimulai dari atas, tapi perubahan nyata terjadi dari bawah ke atas.”

Transformasi menunjukkan bahwa inovasi tidak hanya memerlukan strategi yang kuat, tetapi juga keberanian untuk meninggalkan pola pikir lama dan melibatkan seluruh tim secara bertahap dalam prosesnya. Organisasi yang memiliki budaya  kuat, umumnya akan bersatu dalam menghadapi kesulitan dan dapat berkinerja lebih baik dalam situasi krisis.

Baca juga: Umpan Balik 360 Derajat, Gugah Penyadaran Diri

Paradoks membangun budaya inovatif

Membangun budaya inovatif bukan sekadar menciptakan lingkungan kerja yang bebas, kreatif, dan asyik seperti yang kita bayangkan tentang tempat kerja kreatif Google.

Toleransi terhadap kegagalan memerlukan intoleransi terhadap ketidakmampuan. Keamanan psikologis membutuhkan kenyamanan dengan keterusterangan yang “brutal”. Kolaborasi harus diimbangi dengan akuntabilitas individu dan visi yang jelas. Yang sering kita lupakan adalah betapa budaya inovatif bersifat paradoks.

Jika ketegangan yang ditimbulkan oleh paradoks ini tidak dikelola dengan hati-hati, upaya untuk menciptakan budaya inovatif akan gagal. Ingat, budaya hanyalah representasi dari cara orang bertindak sehari-hari dan jika hal itu tidak berubah, tidak akan terjadi apa-apa terlepas dari seberapa sering kita membicarakan budaya baru tersebut.

Ada beberapa keseimbangan yang perlu kita jaga. Pertama, toleransi terhadap kegagalan. Kita sadar bahwa inovasi membutuhkan proses panjang dan di antaranya terdiri atas kegagalan demi kegagalan.

Namun, toleransi terhadap kegagalan hanya akan bermakna ketika organisasi meyakini bahwa kegagalan itu bukan terjadi karena ketidakmampuan individu. Tuntutan dalam organisasi kreatif seperti Google, Apple, dan Amazon dikenal sangatlah tinggi.

Steve Jobs tidak segan-segan memecat karyawan yang menurutnya tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. Google dapat mendorong pengambilan risiko karena yakin bahwa karyawannya sangat kompeten. Yang harus dilakukan oleh organisasi adalah bagaimana membedakan antara kegagalan yang produktif dengan yang tidak produktif.

Kegagalan produktif menghasilkan pembelajaran yang lebih berharga dibandingkan dengan biayanya sehingga yang dirayakan adalah pembelajaran, bukan kegagalan. Untuk itu, eksperimen harus dilakukan dengan disiplin yang tinggi. Tanpa disiplin, hampir semua hal dapat dianggap sebagai eksperimen. Budaya yang berorientasi disiplin memilih eksperimen dengan menetapkan kriteria yang jelas sejak awal untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memodifikasi, atau menghentikan sebuah ide.

Kedua, bagaimana menjaga rasa aman secara psikologis tetapi juga mendorong keterusterangan. Di Pixar, karyawan diajak memberikan kritik jujur demi peningkatan proyek. Kejujuran yang tuntas dalam budaya inovasi bukanlah untuk menjatuhkan, melainkan untuk memperbaiki hasil dengan cepat.

Amy Edmondson dari Harvard Business School menemukan bahwa lingkungan yang memberikan rasa aman secara psikologis mempercepat adopsi teknologi baru dan mengurangi kesalahan.

Ketiga, antara kolaborasi dan akuntabilitas individual. Meskipun kita membutuhkan masukan dan ide dari banyak kepala untuk semakin memperkaya, tetap harus ada pemimpin yang mengambil keputusan dan memiliki tanggung jawab penuh atas segala konsekuensinya untuk menghindari budaya “tanggung jawab bersama yang tidak jelas”.

Akuntabilitas dapat ditunjukkan oleh pemimpin yang menunjukkan secara terbuka tanggung jawab pribadi mereka. Kekuatan seorang pemimpin memang sangat penting dalam organisasi yang kreatif. Pemimpin dengan visi yang jelas akan menghindarkan munculnya ide-ide liar yang tidak relevan.

Transformasi budaya tidak mudah karena melibatkan perubahan aturan tak tertulis dalam organisasi. Para pemimpin harus memberikan arahan yang konsisten dan transparan tentang apa yang diharapkan, mengomunikasikan tujuan besar, serta memastikan bahwa inovasi bukanlah permainan bebas, melainkan tanggung jawab yang diemban bersama.

Budaya ini pun harus mengakar dengan membentuk norma, perilaku, dan proses di seluruh organisasi. Pemimpin harus tetap waspada terhadap tanda-tanda ketidakseimbangan dan segera melakukan penyesuaian.

“Jika menginginkan sesuatu yang baru, Anda harus berhenti melakukan sesuatu yang lama.”

Peter F Drucker

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.