Frederick Herzberg, psikolog klinis, mengungkapkan, berdasarkan penelitiannya, manusia memiliki dua set kebutuhan. Pertama, kebutuhan level rendah seperti menghindari rasa sakit dan memenuhi kebutuhan hidup. Kedua, kebutuhan level tinggi sebagai manusia yang ingin terus berkembang.
Kebutuhan-kebutuhan pada bagian pertama oleh Herzberg dinamai faktor hygiene yang tidak bisa meningkatkan kepuasan, tetapi ketiadaannya dapat menghasilkan ketidakpuasan dalam bekerja. Contohnya, kebersihan (hygiene) yang tidak dapat membuat kita semakin sehat, tetapi kondisi yang tidak bersih dapat menimbulkan penyakit. Beberapa faktor hygiene adalah gaji, aturan dan kebijakan perusahaan, pengawasan, status, serta rasa aman.
Sementara itu, faktor kedua adalah faktor motivator yang dapat berkontribusi pada kepuasan kerja. Penghargaan atas prestasi, tanggung jawab yang lebih besar, dan kesempatan untuk berkembang adalah faktor yang dapat mendorong karyawan semakin berprestasi.
Pada dasarnya, manusia memiliki kebutuhan untuk diakui oleh keluarga, teman, atasan, guru, maupun atasannya. Sebuah riset dalam Journal of Managerial Psychology menunjukkan, apresiasi akan meningkatkan kepuasan kerja yang pada akhirnya memengaruhi well being seseorang. Apresiasi juga bisa meningkatkan kualitas hubungan interpersonal yang berdampak pada retensi, meningkatnya kinerja, dan efisiensi. Tuntutan dan disiplin memang penting, tetapi hal ini dapat diberikan bersamaan dengan apresiasi.
Ketika organisasi sudah paham bahwa motivasi karyawan akan semakin meningkat melalui apresiasi, mengapa banyak karyawan yang merasa tidak dihargai dengan semestinya?
Ada beberapa hal yang sering melatarbelakangi para atasan sulit untuk memberikan apresiasi. Pertama, kekhawatiran bahwa pujian bukannya memacu produktivitas, melainkan justru membuat karyawan besar kepala dan bersikap “kurang ajar”.
Kedua, memberi penghargaan dianggap membutuhkan waktu ekstra untuk sesuatu yang sudah menjadi kewajiban pekerja untuk bekerja sebaik-baiknya.
Ketiga, hubungan yang berjarak antara atasan dan bawahan membuat atasan sulit melihat prestasi personal bawahan apalagi membuat apresiasi yang tepat. Apresiasi yang berkenan di hati karyawan tidak bisa dilakukan secara massal dan seragam. Atasan perlu mengetahui apa yang dianggap penting oleh setiap karyawan.
Seni memberi apresiasi
Memberikan apresiasi tidak semudah yang kita kira agar dapat benar-benar bermakna dan mengena. Kita bisa memberi apresiasi terhadap kontribusi atau ketika individu memberikan nilai tambah terhadap tanggung jawabnya.
Dalam menghidupkan kebiasaan menghargai dan mengakui, kita perlu membedakan antara memberi penghargaan dan apresiasi. Apresiasi tanpa penghargaan akan mengurangi produktivitas dan motivasi. Sementara itu, penghargaan tanpa apresiasi akan membuat karyawan merasa hanya dihargai bila mereka produktif. “Don’t leave your staff feeling like work is pointless, or like they’re just a cog in a machine.”
Apresiasi tidak selalu berkaitan dengan uang, yang penting terasa signifikan bagi penerima dan dalam timing yang tepat. Segera berikan apresiasi, jangan menunda-nunda. Sebuah pujian tulus secara langsung pada saat rapat mungkin lebih berkesan ketimbang voucer belanja yang diberikan dalam amplop tertutup.
Membangun budaya apresiatif
Bila kita berkomitmen untuk membangun budaya apresiatif, pertanyaan berikut perlu kita jawab: tingkah laku dan tindakan-tindakan apa yang akan kita berikan penghargaan secara terbuka dalam organisasi kita?
Banyak perusahaan melakukan selebrasi ketika target tercapai, memberikan penghargaan kepada karyawan terbaik dengan berbagai kriteria dan melalui proses pemilihan yang panjang. Apakah ini yang dapat mengembangkan budaya apresiatif?
Budaya apresiatif justru perlu dibangun melalui kemampuan kita mencari tingkah laku-tingkah laku yang bisa jadi selama ini terlewatkan, padahal berdampak besar terhadap kesuksesan organisasi.
Kita tahu bahwa setiap perusahaan hidup melalui keuntungan bisnis yang dapat mereka hasilkan. Keuntungan bisa diperoleh selain dari penjualan yang tinggi, juga dari pengeluaran yang lebih hemat. Oleh karena itu, manajemen dapat memberikan apresiasi kepada karyawan yang nyata-nyata membuat perusahaan berhemat. Mulai dari perilaku menghemat biaya operasional harian sampai inovasi yang membuat perusahaan memiliki proses produksi lebih efisien.
Selain itu, mereka yang dapat membuat suasana bekerja lebih positif, menyebarkan semangat saling membantu satu sama lain tanpa memperhitungkan mana bagianmu mana bagianku, juga perlu mendapat apresiasi. Memberikan apresiasi terhadap individu seperti ini membuat para karyawan menyadari bahwa sikap ini perlu ditiru dan pada akhirnya terbangun budaya yang lebih positif di organisasi.
Kita juga dapat memberikan apresiasi kepada mereka yang mungkin kurang cemerlang tetapi memiliki komitmen kerja yang tinggi. Tanpa kita sadari sebenarnya semangat seperti ini pun dapat dijadikan panutan.
Budaya tidak pernah statis. Kehadiran personel baru, apalagi pimpinan dapat mengubah budaya yang ada. Oleh karena itu, hal-hal yang esensial dalam membangun budaya apresiatif ini perlu didokumentasikan secara lengkap meski kita tetap terbuka terhadap perubahan yang lebih baik.
Kita tidak boleh terkejut dengan saran dan masukan dari karyawan. Waktu berganti terus, semua kebutuhan dan keinginan manusia pun senantiasa berevolusi.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Memaknai Nilai Korporasi