Perjalanan Eko Prawoto melanglang buana, termasuk menimba ilmu di Belanda dan mampir ke India, justru membulatkan tekadnya untuk kembali ke kampung. Tinggal di sana dan menggali ilmu-ilmu arsitektur yang sejak dulu hidup dalam keseharian rakyat. Pilihan tersebut, seperti dilansir Kompas (25/3/2006), didasari pemikiran bahwa tradisi pinggiran lebih memiliki energi kreatif.
Bagi Eko, rumah kampung harus bisa menjadi wahana aktivitas warganya. Konsep ini jugalah yang menjadi dasar perancangan rumahnya sendiri yang terletak di Yogyakarta. Secara keseluruhan, rumah ini terkesan rustic. Dinding-dinding bata merah dibiarkan tanpa plesteran. Sebagian kusen dan pintu dibuat dari material bekas. Eko membubuhkan pula spontanitas jenaka pada rumahnya, di pintu utama dekat teras, Eko menambahkan pahatan tokek.
Dalam karya-karya bangunan maupun instalasi rancangan Eko, atmosfer kampung yang digabungkannya dengan pengetahuan modern dan tradisional itu pun muncul. Di Galeri Nasirun, misalnya, rangkaian bambu, kayu, dan bata berpadu apik dengan cahaya matahari dan lingkungan sekitarnya. Babadan Project menyajikan bangunan yang diinspirasi dari bentuk joglo dengan apik. Detail susunan batu bata membuatnya makin cantik.
Dalam buku Arsitektur untuk Kemanusiaan (2005), Eko mengemukakan pandangannya. Bagi Eko, kampung itu terhormat karena sangat inspiratif. Ia sering berkeliling dari satu kampung ke kampung lain untuk mencerna ide-ide. Arsitektur kampung itu sangat dekat dengan kehidupan dan bisa menjawab beragam persoalan. Di sana, ditemukan pula kehangatan, relasi, kreativitas, dan kejujuran hubungan antarmanusia.
Rekonsiliasi
“Saya punya simpati dan empati dalam pada masyarakat kecil. Pada yang dilupakan, yang terpinggirkan, yang diremehkan, termasuk dalam hal ini tradisi dan alam. Saya kira panggilan zaman kita sekarang adalah untuk mulai rekonsiliasi dengan alam,†tutur Eko di rumahnya, Sabtu (30/5).
Saat ini, dilihatnya banyak arsitektur yang terlalu berjarak dengan situs yang menaunginya. Material-material diimpor, desain pun merujuk pada sesuatu yang jauh, yang tidak sesuai dengan kondisi lokal. Ia membandingkan bagaimana tradisi kita sudah belajar mengakrabi alam.
“Dalam arsitektur, kita mesti belajar mengenal material, prinsip-prinsip konstruksinya, bagaimana desain yang dulu merespons kondisi alam dan iklim serta menghidupi nilai-nilai di dalamnya. Dengan cara berpikir modern, kita cenderung menindas alam, berpikir pragmatis. Kita tidak mau repot, hanya mengambil sebagian tanggung jawab kita,†ujar Eko.
Eko mencontohkan respons arsitektur terhadap gempa yang sejak lama disadari leluhur kita. Di Indonesia, gempa adalah sebuah keniscayaan. Pengetahuan membangun yang utuh, seperti yang diwariskan leluhur kita, menyadari benar hal itu. Mereka menyikapi gempa tidak dengan melawan alam, tetapi berdamai dengannya. Konstruksinya fleksibel, bisa berayun. Sambungan-sambungannya pun lentur. Ia membuat analogi, “Di dunia bela diri, ada karate dan aikido. Arsitektur tradisional mungkin seperti aikido.â€
Eko yang lebih sering menggunakan material lokal dalam karya-karyanya juga ingin membangunkan kesadaran orang-orang, material lokal kita begitu kaya dan kuat. “Sebagai bangsa Indonesia, kita merupakan bangsa yang besar dengan kebudayaan yang begitu banyak dan bervariasi. Dengan modal budaya seperti itu, harusnya kita bertindak lebih sebagai produsen, bukan konsumen. Kalau kita menengok tradisi, sebenarnya mereka bisa melengkapi sendiri apa-apa yang mereka butuhkan. Kalau kita bicara soal kemerdekaan, itu salah satu poinnya†ujar Eko.
Penggunaan material lokal dalam arsitektur ini, dalam konteks yang lebih luas, terkait dengan kesinambungan dan ketahanan kita sebagai bangsa. Kemauan kita menggunakan material lokal nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Yang lebih penting, menjaga tradisi ketukangan (local skill) tetap hidup. Satu-satunya cara adalah terus mempraktikkannya.
Kecenderungan arsitektur modern yang lain, kita mencoba mengatur alam. “Suhu yang tropis kita coba ingkari dengan mengubah temperatur menjadi 16 derajat. Persoalannya, apakah 29 derajat itu unbearable? Membiarkan tubuh kita dalam suhu konstan juga membuat badan semakin lemah,†kata Eko.
Eko melihat, alam menyediakan sarana alami bagi kita untuk melatih ketahanan tubuh, menyeimbangkan otak, dan melatih refleks. Dalam kacamata yang lebih makro, alam adalah tempat belajar dan kita semestinya lebih selaras lagi dengan alam, termasuk dalam perkara arsitektur.
“Situs tidak pernah terisolasi. Tanah punya kaitan dengan masa lalu dan masa depan, maka saya melihat arsitektur selalu nonpermanen. Kita tidak boleh sombong dan mengklaim eksistensi kita yang paling penting. Kita cuma bertamu, saya mencoba mendekati arsitektur dengan cara seperti itu. Saya juga mencoba mendamaikan yang modern dengan yang tradisional,†jelas Eko. Ia pun menganyam realita yang dihadapinya di lapangan dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang dimilikinya.
“Arsitektur kerap meminta banyak dari alam, termasuk meminta perhatian dengan keinginan untuk membuat sesuatu yang tampak hebat dan menonjol. Saya pikir ini saatnya memberi. Memberi pada sekitar, memberi oksigen, memberi hal baik,†tutup Eko. [NOV]
noted: arsitektur yang berdamai dengan alam