Berdiri dan berbicara di depan orang banyak merupakan ketakutan terbesar sebagian besar orang. Bahkan, beberapa survei menemukan bahwa lebih banyak orang yang takut untuk berbicara di depan umum ketimbang menghadapi kematian.

Meskipun pembicara adalah seorang yang sangat ahli di bidangnya sekalipun, mereka mengaku bahwa butterfly in the stomach masih tetap mereka rasakan setiap kali mereka akan naik panggung. Kecemasan ini timbul akibat ketakutan akan pandangan orang lain terhadap kita.

Yang menarik, masalahnya bukan pada komentar negatif yang diterima (yang sering kali bahkan tidak terjadi), melainkan ketakutan itu sendiri. Situasi yang hanya berkecamuk di benak kita. Akibat rasa takut ini, sering kali energi kita habis karena sibuk mengawasi bagaimana reaksi orang lain sehingga kita tidak lagi memiliki energi untuk menampilkan performa terbaik.

Kegiatan kita berpusat untuk menganalisis pendapat orang tentang kita, mengapa pesanku hanya dijawab singkat, mengapa muka atasan berubah ketika saya mempresentasikan angka-angka ini. Bahkan, tidak jarang beragam latihan dan persiapan yang telah dilakukan sebelumnya pun tiba-tiba menguap tak berbekas. Fenomena seperti ini dikenal dengan sebutan fear of other people’s opinion (FOPO).

FOPO adalah proses aktivasi psikologis, fisiologis, dan fisik untuk menghindari penolakan. Dalam budaya timur, hal ini tampaknya sudah ditanamkan dalam benak kita semenjak kecil. Tak jarang kita mendengar komentar orangtua yang mengatakan “apa kata orang nantiketika ada tindakan kita yang di luar kebiasaan yang ada.

Kebutuhan akan penerimaan dari orang lain menjadi sedemikian kuatnya sehingga tak jarang kita tidak berani menampilkan pendapat pribadi, sikap, maupun prinsip yang kita percayai karena khawatir akan adanya penolakan dari pihak lain.

Dalam dunia kerja, FOPO yang berupa obsesi irasional dan tidak produktif ini dapat mengakibatkan performa yang tidak optimal, membuat kita menahan diri, berhati-hati, dan lebih memilih pendapat orang lain ketimbang melakukan tindakan yang benar. Leslie Sherlin, seorang neurolog, melakukan eksperimen terhadap tiga orang pemain golf yang masing-masing adalah seorang amatir, juara klub setempat, dan profesional.

Tampak bahwa kekuatan dari pegolf profesional yang sudah berkompetisi dalam berbagai kejuaraan adalah kemampuannya untuk mengenali dan mengatur kembali gejala-gejala fisik kecemasan tampilnya, seperti pikiran yang kacau dan detak jantung yang semakin meningkat untuk kembali stabil dan terfokus sehingga tidak terlalu memengaruhi permainannya.

Baca juga: Pekerjaan yang Bermutu

Seorang amatir yang bermain hanya untuk bersenang-senang sedikit terpengaruh performanya ketika harus tampil dalam tekanan yang lebih besar dengan kehadiran banyak orang. Sementara itu, sang juara klub setempat menunjukkan penurunan performa yang sangat signifikan ketika ia tampil di depan banyak penonton yang adalah pegolf profesional idolanya dan orang-orang yang ia kenal dibandingkan ketika ia tampil sendiri tanpa penonton.

Semakin tinggi tangga karier tempat kita berada, semakin kuat gangguan kecemasan akan opini orang lain karena merasa semakin menjadi sorotan berbagai pihak. Sudah menjadi sifat manusia untuk mencoba mengendalikan opini orang lain dan cara mereka berpikir tentang kita.

Namun, bila untuk itu kita melepaskan kendali atas hidup kita sendiri, di sinilah kita kehilangan jati diri. We trade in authenticity for approval. Kita ikut tertawa bila atasan mengucapkan humor yang sebenarnya tidak lucu. Kita berusaha menyusun respons kita pada saat kita berbicara dengan orang lain. Seperti yang dikatakan Lao Tzu, filsuf dan penulis teks filosofis terkenal Tao Te Ching dan pendiri Taoisme, “Care about what other people think and you will always be their prisoner”.

Pengelolaan FOPO dalam organisasi

Identitas adalah asal berkembangnya FOPO ini. Identitas adalah rasa subyektif yang kita bangun dari pengalaman, keyakinan, nilai, memori, dan budaya kita. Identitas juga bisa datang dari ras, agama, gender, hubungan, keluarga, profesi, kebangsaan, dan masih banyak aspek lain. Orangtua kita atau pemuka agama juga bisa memengaruhi identitas ini. Identitas menjadi cara kita mendefinisikan diri, siapa saya ini.

Dalam performance based identity, kita mendefinisikan diri kita berdasarkan kesuksesan pekerjaan kita. Ben Houltberg, profesor dari USC, menyebutkan tiga hal penentu identitas berdasarkan kinerja ini, yaitu penghargaan diri, ketakutan akan kegagalan, dan perfeksionisme.

Keinginan kuat untuk berprestasi ini sering membuahkan kelelahan yang memengaruhi kesejahteraan mental, hubungan interpersonal, dan mengurangi potensi kita. Kita sibuk mengejar kompetitor karena ingin lebih unggul dari mereka, mengubah prioritas demi dapat bersaing dengan mereka hingga melupakan apa sesungguhnya kekuatan utama kita, apa yang membentuk diri organisasi kita ini.

Untuk organisasi yang berorientasi kinerja jangka pendek, pendekatan tersebut memang cara tercepat mencapai hasil. Namun, hal ini merupakan pendekatan jangka pendek yang pada akhirnya membuat karyawan merasa cemas, kelelahan, dan kurang efektif dalam pekerjaannya.

Alternatif lain adalah membudayakan kekuatan identitas pada purpose-based identity. Identitas ini didapatkan dari niat di dalam, yang umumnya memiliki nilai intrinsik bagi kita sekaligus lebih besar dari kita. Purpose menjadi filter dalam pengambilan keputusan, menentukan prioritas, dan membuat pilihan. Kita bukan mempertanyakan “apa pendapat orang mengenai pekerjaan saya”, melainkan apakah saya bertindak sesuai dengan purpose (niat) saya?

Seorang salesman yang berlandaskan purpose based identity tidak berfokus pada pencapaian target penjualan, tetapi berupaya memastikan bahwa solusi yang diberikan dapat menyelesaikan masalah kliennya dan membuat hidup mereka lebih baik. Dengan identitas ini, alih-alih kelelahan karena mengejar target, ia justru terus dipenuhi energi positif yang mendorongnya untuk terus berkontribusi.

Sebagai timbal baliknya, klien pun merasa senang karena mendapatkan produk dan solusi yang benar-benar bermanfaat dan dengan senang hati merekomendasikan produk tersebut pada orang lain.

For people with a purpose-based identity, it’s not other people’s praise that drives them, it’s the meaning of what they’re doing and the impact they can make. Those are two very different types of fuel: One is sustainable, and the other will burn you out.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM