Ada perusahaan yang melakukan beragam koordinasi dengan meeting-meeting yang membuat para pekerja merasa overwhelmed. Namun, ada juga perusahaan yang karyawannya hilang, tidak bisa dihubungi, sementara ia sebenarnya merupakan posisi kunci yang melayani nasabah atau pelanggan.
Tidak mudah rasanya mempertahankan engagement karyawan pada saat-saat seperti ini, ketika penjualan macet. Pimpinan mengkhawatirkan bagaimana bisa membayar gaji sehingga tanpa sadar memberikan pressure yang sangat tinggi kepada para karyawannya. Karyawan yang normal akan mengerti bahwa perusahaan sedang mengalami kesulitan yang tidak berujung.
Namun, tidak semua karyawan memiliki inisiatif untuk memperjuangkan nasib perusahaannya. Di Experd, semangat untuk moving forward terlihat sangat kental.
Meskipun work from home sudah ditetapkan, beberapa karyawan memilih tetap berada di kantor demi memastikan pelayanan kepada para pelanggan tetap sesuai standar sambil juga menjaga keselamatan dirinya. Kegiatan pemasaran, pengembangan dan uji coba, pembuatan proposal, serta mengejar proyek dilakukan secara bersama-sama dengan penuh kegigihan.
Ada yang merasa bahwa berinteraksi secara virtual ternyata jauh lebih melelahkan hingga merasa tegang. Ada pula yang justru menunjukkan kekuatannya dalam bekerja secara virtual. Tetapi, semua bekerja sepenuh hati, bahkan terasa lebih dari 100 persen.
Namun, ternyata, tidak semua pimpinan perusahaan merasakan hal ini. Banyak pimpinan yang mengeluhkan sulitnya mengendalikan perusahaan yang ibarat kapal sedang diterpa badai, yaitu karyawan terasa kocar-kacir.
Di sinilah kita merasakan bahwa karyawan bisa bekerja dengan hati, tetapi bisa pula bekerja tanpa membawa hatinya secara utuh meskipun tetap profesional. Inikah yang dinamakan passion yang sesungguhnya?
Passion lebih penting dari engagement
Banyak penelitian yang mengatakan bahwa passion terhadap pekerjaan akhir-akhir ini terasa langka. Ada manajer yang melakukan delegasi tanpa empati, asalkan pekerjaan terdistribusi habis ke anggota timnya dengan tujuan key performance indicators–nya tercapai.
Namun, kemudian apa yang terjadi? Organisasi yang mempekerjakan manajer dengan mentalitas seperti ini, pada akhirnya akan kehilangan soul organisasinya. Istilahnya, perusahaan hanya mempekerjakan individu yang tidak membawa hatinya ke pekerjaan, tidak berbeda dengan sebuah robot.
Bagaimana kita bisa membuat karyawan memberi 100 persen dari upaya dan pemikirannya bila jajaran manajemennya sendiri tidak juga passionate dalam pekerjaannya? Pleasure in the job puts perfection in the work, kata Aristoteles.
Seperti apakah pekerja yang passionate itu? Terkadang dalam pengembangan karyawan, kita sering terfokus pada pengembangan pengetahuan dan keterampilannya semata.
Kita bahkan mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan para karyawan agar kompetensinya meningkat dan berkembang. Namun, kita sering lupa bahwa yang dibutuhkan adalah ambisi dan kepedulian.
Seorang bisa dikatakan passionate apabila ia tidak henti-hentinya berusaha mencapai kinerja terbaik, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga perusahaan.
Motivasinya bukan karena pengaruh upah atau bonus yang tinggi, melainkan tertantang untuk menjadi lebih baik lagi. The only way to do great work is to love what you do, kata Steve Jobs.
Dalam keadaan yang berubah drastis seperti ini, kita membutuhkan karyawan yang bernapas panjang. Bukan karyawan yang membuat kejutan prestasi sekali dan sesudah itu melempem kelelahan. Ia juga harus berpikir jauh ke depan dan “think big“. Mereka harus memiliki daya lenting sehingga ketika terjatuh bisa bangun lagi, bahkan menjadi lebih kuat untuk menghadapi tantangan dan disrupsi.
Ini berbeda dengan engagement karyawan. Karyawan akan merasa engaged bila ia happy. Sementara itu, karyawan yang passionate bisa saja tidak happy ketika upayanya sia-sia. Namun, ia akan bangkit dan mencoba lagi.
Orang yang passionate adalah mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang. Ia selalu mencari jalan yang lebih baik untuk mengembangkan diri, tugas, dan organisasi. Artinya, bila berfokus pada engagement semata, kita akan terjebak pada keceriaan dan kebersamaan, tetapi bisa-bisa lupa pada pertumbuhan dan pengembangan.
Bagaimana menumbuhkan passion ?
Dalam bisnis, banyak perusahaan yang demikian kuat menghindari risiko sehingga berpegang pada standar operasi yang baku. Sering kali standar operasi sudah berjalan bertahun-tahun sampai tidak ada yang berani mengubahnya. Karyawan yang mempertanyakan atau berusaha melakukan perubahan sering tidak diterima oleh kawan-kawan yang ingin semua berjalan seperti biasa.
Tanpa sadar, kreativitas di perusahaan ini terhambat. Organisasi perlu memberikan lahan bagi passion untuk tumbuh subur dengan memberikan karyawannya kesempatan untuk menguasai, memodifikasi, dan memperdalam pekerjaannya.
Sering kali organisasi menandai produktivitas karyawan dari output yang berkontribusi langsung pada penghasilan organisasi. Padahal, inovasi bisa tumbuh dari beragam kegagalan yang terjadi dan terus menerus ditelaah oleh mereka yang memiliki passion agar hal serupa tidak lagi terjadi pada masa mendatang.
Di sinilah sebetulnya kunci dari tumbuhnya passion. Rasa ingin tahu harus dipupuk terus, tidak boleh berhenti. Biarkan karyawan bereksperimen, memilih proyek yang diminati, dan menikmati hasil dan pembaruan yang ia usulkan.
Di saat ketika tidak memiliki pilihan kecuali memelototi layar komputer, seperti situasi krisis ini, kita menyadari bahwa karyawan semakin terkoneksi dengan dunia luar. Terasa sekali bagaimana wawasan menjadi lebih terbuka dan terangsang untuk bersaing dan maju.
Oleh karena itu, setiap pimpinan perusahaan perlu menanamkan growth mindset pada anggota timnya. Yang tidak mempunyai semangat seperti itu perlu ditarik atau menyingkir. Berikan sebanyak-banyaknya otonomi dan dukungan bagi karyawan untuk belajar.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 11 April 2020.