Gejala yang timbul akibat terinfeksi Covid-19 mungkin cepat berlalu. Namun, sejumlah orang masih mengalami efek jangka panjangnya, atau yang dikenal dengan long Covid.
Apa itu long Covid?
Long Covid adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan dampak penyakit Covid-19 yang masih terus dirasakan dalam beberapa pekan atau bulan setelah seseorang terinfeksi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikannya sebagai gejala yang muncul dalam biasanya selama tiga bulan setelah terinfeksi Covid-19 dan tidak dapat dijelaskan dengan diagnosis alternatif.
Prevalensinya secara global belum diketahui secara pasti karena begitu beragamnya data yang ada. Namun, riset dari University of Michigan bisa memberikan sedikit gambaran. Penelitian ini menyebutkan, lebih dari 40 persen penyintas Covid mengalami efek jangka panjang setelah pulih.
Tim riset tersebut juga melihat data dari 17 negara yang memantau pengalaman dampak jangka panjang Covid pada pasien. Prevalensinya sekitar 43 persen. Di antara pasien yang dirawat di rumah sakit, prevalensinya meningkat menjadi 57 persen. Persentasenya, 49 persen pada perempuan dan 37 persen pada laki-laki.
WHO memperkirakan, dari setidaknya 237 juta orang di seluruh dunia yang terinfeksi Covid pada Oktober tahun lalu, lebih dari 100 juta orang masih mengalami konsekuensi kesehatan jangka panjang.
Baca juga:
Kenali Perbedaan Gejala Covid-19, Pilek, dan Flu
5 Hal yang Harus Diperhatikan setelah Vaksinasi Covid-19
GejalaÂ
Lansia dan orang dengan kondisi medis serius berisiko lebih tinggi mengalami long Covid meski tidak menutup kemungkinan ini juga memengaruhi orang yang lebih muda yang tidak mempunyai keluhan kesehatan khusus.
Ada banyak keluhan atau gejala yang dilaporkan pasca-Covid. WHO menyebutkan, gejala paling umum adalah kelelahan yang memengaruhi 23 persen penyintas Covid. Gejala lain, seperti napas pendek, insomnia, nyeri sendi, dan gangguan memori dilaporkan oleh 13 persen penyintas.
Sebagai catatan, studi tersebut dilakukan pada 2021, sebelum varian Omicron menjadi dominan. Selain hal-hal tersebut, gejala yang mungkin timbul antara lain sebagai berikut.
- Batuk
- Hilang atau melemahnya indra penciuman
- Nyeri sendi
- Nyeri pada area dada
- Kesulitan berkonsentrasi
- Gangguan memori
- Nyeri otot
- Sakit kepala
- Detak jantung yang terlalu cepat
- Melemahnya indra pencecap
- Depresi atau gangguan kecemasan
- Demam
- Limbung ketika berdiri
Memahami dampak jangka panjang
Meski Covid-19 adalah penyakit yang terutama menyerang saluran pernapasan, termasuk paru-paru, penyakit ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ lain. Misalnya, jantung, ginjal, dan otak.
Kerusakan organ tersebut dapat memicu komplikasi yang masih harus ditangani pasca pulihnya pasien dari Covid-19. Pada sebagian orang, efek kesehatan itu bisa mencakup masalah pernapasan jangka panjang, komplikasi jantung, penurunan fungsi ginjal, stroke, bahkan sindrom Guillain-Barre–kondisi yang menyebabkan kelumpuhan temporer.
Covid-19 juga dapat membuat sel darah cenderung merumpun dan membentuk gumpalan. Ketika gumpalan itu menjadi besar, ini berisiko memicu serangan jantung dan stroke. Penggumpalan darah juga akan memengaruhi fungsi paru-paru, hati, dan ginjal.
Bagi sebagian orang dengan keluhan berat ketika terinfeksi dan harus mendapatkan beragam perawatan untuk sembuh, bahkan ventilator untuk bernapas, pengalaman terinfeksi Covid-19 bisa jadi traumatis. Setelah sembuh, pasien tersebut berisiko mengalami sindrom stres pasca-trauma, depresi, dan gangguan kecemasan.
Sebagian orang yang pulih dari Covid-19 juga mengeluhkan sindrom kelelahan, yaitu rasa letih ekstrem yang tak membaik dengan istirahat. Ini membuat kondisi mental juga tidak sehat.
Tentu saja, masih banyak yang belum kita ketahui tentang dampak Covid-19 pada orang yang terinfeksi, tetapi sejumlah penelitian terus berjalan. Para ilmuwan merekomendasikan penyintas Covid-19 untuk terus memonitor kondisinya dan mengecek fungsi organ-organ secara medis.