Manusia adalah zoon politicon, yaitu makhluk yang berpolitik. Begitulah Aristoteles menjelaskan manusia. Maka dari itu, sudah sewajarnya manusia memiliki agenda atau tujuan untuk diwujudkan.

Salah satu wujud dari agenda manusia bisa dilihat pada kemerdekaan Indonesia yang berasal dari ide untuk menyatukan masyarakat Nusantara.

Budiman Sudjatmiko, seorang politisi Indonesia, dalam siniar BEGINU bertajuk “Merangkai Ide dari Lima Obsesi Diri” menjelaskan perkembangan manusia yang tidak bisa lepas dari politik.

Akan tetapi, selalu ada keinginan untuk berkuasa atau menjadikan kepentingan pribadi sebagai prioritas berpolitik. Hal ini nyatanya dapat diwujudkan melalui KKN atau pencitraan di kala Pemilu dilaksanakan.

Sayangnya, dari pemikiran dan perilaku yang demikian: integritas tak kelihatan dan komitmen hanya menjadi janji yang tak kunjung ditepati.

Bila kita melihat kembali pada kasus yang baru-baru ini diberitakan, seperti penembakan Brigadir J dan Kanjuruhan, Indonesia sedang mengalami kondisi yang memprihatinkan, terutama atas hilangnya rasa kemanusiaan.

Kemudian, belum selesainya tragedi di Stadion Kanjuruhan yang menjadi kisah gelap sepakbola Indonesia, masyarakat kembali digemparkan dengan berita anggaran TV LED untuk ruang wakil rakyat yang angkanya sulit dinalar.

Kiranya, Indonesia mulai harus berbenah agar dapat mewujudkan cita-cita yang besar, khususnya para pemimpin, yang menurut Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita (1960), memiliki jiwa kerdil.

Pasalnya, Bung Hatta tak menghendaki Indonesia menjadi negara kekuasaan yang para pemimpinnya suka menindas warganya sendiri dengan hukum dan mengangkat senjata.

Sementara sekarang, di tengah kondisi terkikisnya rasa kemanusiaan Indonesia, para calon petinggi negara sibuk menyiapkan wajah-wajah baru sebagai perwakilan partai dalam ajang Pemilu.

Memang tidak salah untuk mempersiapkan sedini mungkin untuk menyambut Pemilu. Namun, bukan berarti harus dalam keadaan berduka. 

Untuk menyikapinya agar tidak lagi dibohongi oleh janji-janji palsu, masyarakat juga harus berbenah. Kita tidak bisa hanya puas di kala mereka (capres dan cawapres) berpidato langsung tergiur janji. Karena janji-janji tersebut merupakan kontrak sosial yang harus direalisasikan.

Apabila kontrak itu tidak juga terwujud, masyarakat wajib menagihnya. Karena bila kontrak itu malah cenderung dilupakan, maka bukan tidak mungkin ada indikasi bahwa para pejabat beranggapan dirinya sebagai pemilik negara.

Bila merujuk pada Mahatma Gandhi sebagai pejuang kemanusiaan, bukan tidak mungkin para elit politik kita kurang memahami apa itu politik. Menurut Gandhi, politik itu suci dan sakral. Karena ada kewajiban-kewajiban nilai dan moral untuk menyelamatkan kemanusiaan sekaligus membangun peradaban.

Bisa jadi, janji yang ditagih melalui demonstrasi masa di jalan depan gedung DPR kerap menjengkelkan bagi para elit politik. Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa suara rakyat dan dukungan politik akan menentukan kemenangan dalam suatu kontestasi elektoral.

Dalam praktiknya, dukungan dan penggemar para tokoh politik cenderung erat dengan hasrat emosi dan perasaan. Karena, tidak sedikit sikap loyalitas pendukung mencerminkan pemihakan yang tidak mendasar, selain emosi sesaat.

Terlebih, para tokoh politik itu menyadari bahwa rancangan pemerintahan yang “berbelit-belit” dan timbul dari pemikiran yang matang kurang disukai. Masyarakat lebih menyenangi lip service atau pencitraan di publik. Dampaknya, para tokoh politik akan berlomba-lomba layaknya kejar setoran demi mencanangkan identitas yang disesuaikan dengan kegemaran masyarakat.

Masih banyak informasi perihal generasi muda dari Muhammad Faisal. Simak obrolan lengkapnya dalam siniar BEGINU bertajuk “Merangkai Ide dari Lima Obsesi Diri” di Spotify.

Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap episode terbaru yang tayang pada Senin, Rabu, dan Jumat!

 

Penulis: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri