Life is about growing, learning, and becoming, kata pepatah. Menjalani kehidupan berarti mengalami transformasi pertumbuhan dan perkembangan. Kita tumbuh dari kecil menjadi besar, belajar dari tidak bisa menjadi bisa.

Dalam prosesnya, kita membutuhkan umpan balik mengenai performa yang dimiliki saat ini. Pada masa sekolah, kita menjalani berbagai ujian. Di tempat kerja, kita mendapat evaluasi kinerja. Evaluasi kinerja bisa berupa hasil nyata pencapaian berdasarkan target yang sudah ditetapkan, ditambah dengan evaluasi proses pencapaiannya yang biasa dilakukan dengan metode penilaian 360 derajat.

360-degree feedback adalah metode evaluasi melingkar yang memungkinkan individu menerima umpan balik dari berbagai sumber di lingkungan kerjanya, mulai dari atasan, rekan kerja, bawahan, hingga pelanggan. Proses ini memberi pandangan komprehensif dan lebih obyektif tentang bagaimana seseorang dipersepsikan oleh orang lain. Ini dapat meningkatkan self-awareness serta mendorong akuntabilitas individu terhadap pengembangan diri mereka sendiri.

Namun, hasil evaluasi ini  sering dianggap sebagai “vonis” yang tidak menyenangkan. Padahal, tujuannya agar kita mendapat gambaran yang jelas mengenai kekuatan dan lebih mudah menentukan arah pengembangan diri kita. Dari mana lagi kita bisa mendapatkan gambaran diri secara obyektif kalau tidak dari lingkungan sosial kita?

Menurut penelitian Tasha Eurich dalam artikelnya Working with People Who Aren’t Self-Aware, meskipun 95 persen orang berpikir bahwa mereka sadar diri, ternyata hanya 10–15 persen yang benar-benar memiliki self-awareness​. Ini berarti ada kesenjangan besar antara bagaimana orang melihat diri mereka sendiri dan bagaimana mereka benar-benar dipersepsikan oleh orang lain di tempat kerja.

Dalam sebuah survei yang dilakukan dengan 467 pekerja, juga ditemukan bahwa 99 persen responden merasa bekerja dengan setidaknya satu orang yang tidak sadar diri dan hampir setengahnya bekerja dengan empat orang atau lebih yang menunjukkan kurangnya kesadaran diri​.

Menurut penelitian Eurich, self-awareness yang rendah sering menyebabkan seseorang tidak menyadari kelemahan atau kekuatannya sendiri. Ini sangat berbahaya karena mereka tidak memiliki titik untuk melakukan perubahan.

Apalagi bila yang perlu meningkatkan penyadaran diri justru pejabat atau atasan yang memiliki wewenang lebih besar daripada yang memberi masukan. Mereka merasa bahwa merekalah yang paling mengenal diri mereka sendiri, padahal ada blind spots yang tidak  terungkap.

“Titik buta kita adalah area orang lain dapat melihat dalam diri kita, tetapi kita sendiri tidak dapat melihatnya,” tulis Caitlin Cooper.

Reaksi terhadap umpan balik

Dari pengalaman kami di Experd, beragam respons ditunjukkan oleh individu yang menerima umpan balik. Ada yang terkejut karena hal yang menurutnya biasa saja ternyata berkesan positif bagi rekannya. Ada yang merasa bahwa ia sudah berusaha keras dan optimal untuk melakukan hal yang positif, tetapi tidak diapresiasi oleh lingkungannya.

Ada yang menangkis umpan balik dengan argumen sarkastik sambil sibuk mencari tahu siapa gerangan pemberi masukan tersebut. Ada pula tipe “aware-don’t-care” atau individu yang sadar akan perilakunya tetapi memilih untuk tidak peduli, bahkan menjadikannya sebagai gaya pribadi. Seperti seorang pemimpin yang berkata, “alat manajemen terbaik adalah ketakutan” sehingga ia merasa tidak perlu melakukan perubahan.

Perbedaan mendasar antara mereka yang tidak sadar diri dengan tipe “aware-don’t-care” terletak pada intensinya. Orang yang tidak sadar diri umumnya tidak mengetahui kekurangan mereka, apalagi dampaknya terhadap orang lain. Sementara itu, individu “aware-don’t-care” sepenuhnya menyadari perilaku negatif mereka, tapi memilih tidak berubah karena merasa hal tersebut justru membantunya mencapai tujuan.

Namun, kedua tipe tersebut sama-sama tidak sadar bahwa suasana kerja menjadi tegang dan kolaborasi tim pun menjadi terhambat. Mereka tidak dapat membaca situasi sosial dengan baik, tidak memperhatikan dengan siapa mereka berbicara sehingga proses komunikasi pun menjadi sulit. Mereka tidak memiliki ukuran yang pas mengenai kontribusinya ke tim ataupun organisasi, merasa telah memberikan kontribusi yang besar.

Membudayakan umpan balik 360 derajat

Agar mendapatkan manfaat optimal, pemberian umpan balik 360 derajat ini perlu dirancang dengan cermat.

Pertama dan paling penting adalah kerahasiaan. Memberikan umpan balik bukanlah hal yang mudah. Orang khawatir hal ini memberikan dampak buruk kepada mereka dan hubungan mereka dengan penerima umpan balik. Apalagi bila penerima memiliki posisi yang lebih tinggi dan berpengaruh.

Oleh karena itu, pemberi umpan balik harus yakin akan anonimitasnya sehingga mereka akan jujur dan terbuka ketika merasa aman. Tidak jarang proses pengambilan data umpan balik 360 derajat ini dilakukan oleh pihak ketiga untuk menjamin kerahasiaan dan independensinya.

Item pengukuran kuesioner 360 derajat juga harus dipastikan menggunakan kalimat-kalimat yang berfokus pada perilaku yang bisa diubah dan bukan pada karakter, apalagi label pribadi seseorang. Dengan demikian, penerima umpan balik bisa merancang langkah perubahan perilaku yang tepat, tanpa merasa disudutkan karena atribut diri yang sudah menempel dan sulit diubah.

Banyak yang mengkhawatirkan subyektivitas dari para “rater” pemberi umpan balik. Untuk itu, para rater perlu memahami tujuan yang ingin dicapai dalam pemberian umpan balik ini. Sosialisasi sebelum program pengambilan data sangatlah penting untuk membuat semua pihak memahami pentingnya program 360 derajat ini.

Ketika umpan balik 360 derajat ini menjadi proses rutin di organisasi, semua orang akan sadar bahwa mereka dapat menjadi pemberi sekaligus penerima umpan balik. Dengan demikian, umpan balik dapat bersifat lebih suportif dengan penuh empati, bukan “penghakiman”. Rater haruslah orang yang memiliki hubungan kerja dengan individu sehingga dapat memberikan masukan yang tepat.

Setelah itu, individu juga perlu didampingi oleh mentor untuk bersama-sama membaca laporan hasil pengolahan data 360 derajat tersebut. Mentor akan membantu berefleksi, memahami konteks dan nuansa dari data yang dipaparkan dalam laporan untuk menentukan langkah perbaikan yang tepat.

Without context and support, the subject may not be able to make use of the feedback.

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.