Konsep berpikir kreatif kerap digaung-gaungkan, baik di dunia pendidikan maupun di tempat kerja. Kita sadar bahwa untuk menang dalam kompetisi yang semakin intens ini, perlu memiliki cara-cara baru yang dihasilkan dari pemikiran kreatif.

Namun, kreasi dan inovasi ini seharusnya tidak sekadar berbeda dari pakem-pakem yang sudah ada dan menjadi nyeleneh, tetapi juga bagaimana kita bisa menggunakan pendekatan yang lebih empiris berdasarkan data yang sering kali terlewatkan ketika kita berusaha berpikir kreatif.

Steven D Levitt dan Stephen J Dubner menerbitkan buku ketiga mereka berjudul Think like a Freak yang mendorong kita untuk menganalisis kembali cara-cara berpikir yang biasa kita lakukan, yang membuat kita terjebak dalam berbagai asumsi.

Para penulis tadi menyoroti bagaimana kebiasaan-kebiasaan berpikir yang sering kali tidak disadari telah membuat kita mengambil keputusan yang salah. Hal yang paling penting diajarkan dalam buku ini adalah agar kita melihat dunia dengan lebih jelas sebagaimana adanya, bukan seperti yang dilihat sebagian besar orang, bagaimana kita menyadari bias-bias yang sering kita abaikan.

Levitt dan Dubner menyatakan bahwa sering kali pilihan yang benar adalah pilihan yang justru tidak populer sehingga dibutuhkan keberanian yang cukup besar untuk mengambil pilihan ini. Dalam statistik dunia persepakbolaan, ditemukan bahwa pada tendangan penalti, 57 persen penjaga gawang akan melompat ke sisi kiri penendang bola karena sebagian besar penendang bola tentunya akan menendang dengan kaki kanan dan membuat bola bergulir ke sisi kiri.

Baca juga: Asah Keberanian

Hanya 41 persen dalam momen tendangan penalti yang membuat penjaga gawang melompat ke sisi kanan. Bila menelaah angka ini, kita akan melihat data bahwa hanya 2 persen dari keseluruhan momen penjaga gawang akan tetap berada di tengah. Namun, mengapa jarang sekali tendangan penalti diarahkan ke tengah gawang yang sebenarnya memiliki peluang keberhasilan 98 persen?

Hal itu karena tendangan ke tengah terasa kurang sensasional. Selain itu, jika gagal, penendang bola akan dicemooh para suporter karena dianggap mengarahkan bola yang mudah ditebak penjaga gawang lawan. Mana yang akan Anda pilih: a disliked winner atau a favored loser?

Dalam Freakonomics, mereka menyebutkan bahwa perilaku manusia sering kali dapat dibentuk oleh insentif. Dalam buku ketiganya ini, mereka menunjukkan agar kita dapat melihat apa yang sesungguhnya diinginkan manusia sering kali berbeda dengan apa yang mereka ucapkan. Kejelian kita menangkap apa yang tersirat dan bukan tersurat inilah yang dapat meningkatkan keberhasilan dalam menemukan solusi-solusi yang tepat sasaran.

Pelajaran ketiga yang dipaparkan buku tadi adalah bagaimana kita melepaskan paham-paham yang selama ini diyakini, padahal belum tentu cocok dengan situasi diri kita. Masyarakat selalu mengajarkan kita untuk berani maju terus, pantang menyerah.

Sementara dalam banyak situasi, berhenti bisa jadi pilihan terbaik yang kita miliki alih-alih terjerumus lebih dalam dan semakin banyak kerugian yang harus kita tanggung. Kita harus dapat melihat dengan bijak mana yang patut diperjuangkan, mana yang harus rela kita lepaskan. Hubungan yang buruk, bisnis yang tidak memiliki prospek adalah contoh hal-hal yang selayaknya kita lepaskan untuk membuat hidup lebih bahagia.

Berpikir dengan cara berbeda

Langkah pertama yang terpenting adalah mengakui apa yang kita tidak tahu. Kebanyakan dari kita takut kelihatan bodoh sehingga lupa bagaimana mengekspresikan ungkapan, “Saya tidak  tahu.” Padahal, ini adalah dasar untuk belajar dan menemukan solusi baru. “It is also both very arrogant and ignorant to think that we know everything about anything.

Istilah “ultracrepidarianisme” merujuk pada kebiasaan memberikan pendapat dan saran tentang hal-hal di luar pengetahuan atau kemampuan kita. Setiap kali melakukan ini, kita sebenarnya sedang melindungi reputasi sendiri daripada berkontribusi untuk kebaikan bersama.

Untuk mengubah kebiasaan berpikir, kita perlu berlatih mengubah formula pertanyaan yang biasa diajukan. Albert Einstein mengatakan, “If i had an hour to solve a problem and my life depended on the solution, i would spend the first 55 minutes determining the proper question to ask, for once i know the proper question, i could solve the problem in less than five minutes.

Pertanyaan yang berbeda bisa membuka perspektif baru yang belum pernah dipikirkan sebelumnya. Daripada bertanya mengapa penjualan menurun, lebih baik menanyakan apa yang sebenarnya diinginkan pelanggan dan tidak kita berikan?

Alih-alih mengajukan pertanyaan besar yang membawa pada jawaban yang terlalu kompleks, kita juga bisa memecah pertanyaan tersebut ke dalam pertanyaan-pertanyaan kecil yang menuntun pada jawaban yang tepat.

Musuh yang sering tidak disadari dalam berpikir adalah prasangka. Prasangka membuat kita mengesampingkan sejumlah besar kemungkinan solusi hanya karena hal tersebut tampaknya tidak mungkin. Kita harus waspada terhadap jawaban yang terlalu jelas maupun dogma-dogma yang cenderung melekat.

Kita perlu membangun rasa ingin tahu seperti anak kecil, tanpa dibebani dengan apa yang kita rasa sudah kita ketahui. Ingatlah bahwa seorang anak kecil yang akhirnya menunjukkan baju baru kaisar sebenarnya bukan pakaian sama sekali. Seperti kata Daniel Kahnemann, “We can be blind to the obvious, and we are also blind to our blindness.”

Banyak orang melihat dunia dari sisi sukses dan gagal. Padahal, melalui kegagalan, kita justru mendapatkan aneka pelajaran yang mungkin tidak terbayangkan oleh kita sebelumnya. “I have not failed. I’ve just found ten thousand ways that won’t work,” kata Thomas A Edison.

Hanya karena sesuatu hal tidak berjalan seperti yang kita harapkan, tidak berarti bahwa semuanya sia-sia belaka. Kegagalan terjadi ketika kita sibuk menyalahkan diri, orang lain, maupun situasi sehingga lupa untuk menarik pelajaran dari proses yang belum membawa pada hasil yang kita inginkan ini.

Oleh karena itu, umpan balik adalah hal yang sangat berharga untuk didapatkan. Melalui evaluasi menyeluruh terhadap hasil kerja kita, barulah kita dapat mengetahui apa yang perlu diperbaiki.

Pada zaman dengan segala kecanggihan kecerdasan buatan (artificial Intelligence/AI), kita justru harus semakin aktif berpikir dengan cara-cara yang tidak biasa karena otak lebih canggih dari mesin yang sudah terprogram.

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.