Dalam pengembangan kepribadian, meskipun sering menganggap yang paling tahu dan mengenal diri sendiri, sebenarnya kita memiliki area buta yang tidak disadari. Bisa jadi kita terkaget-kaget mendengar bagaimana persepsi orang lain terhadap diri kita. Ada pemimpin yang merasa diri sebagai seorang visioner, hands on, dan responsif. Ia tidak menyadari bahwa orang lain sulit berkembang di bawah kepemimpinannya karena dominasinya yang begitu kuat.
Ia selalu bereaksi lebih cepat, memberikan arahan dengan tegas ketika anak buahnya masih berdiskusi tentang situasi yang terjadi dengan berbagai alternatif solusi sambil mempertimbangkan risiko yang ada. Sikapnya yang dominan ini lambat laun membuat anak buah merasa sesak dan kemudian mengembangkan sikap menunggu arahan dan keputusan darinya serta enggan mengambil risiko.
Robert Bruce Shaw dalam bukunya, Leadership Blindspots, menyebut titik buta sebagai kelemahan atau ancaman yang tidak kita sadari, tetapi bisa sangat merusak. “Kelemahan yang kita ketahui cenderung tidak akan menggagalkan kita dari tujuan, tetapi kelemahan yang tidak kita sadari justru bisa sangat berbahaya,” tulis Shaw.
Titik buta ini dapat memengaruhi kinerja tim, hubungan, bahkan kesuksesan organisasi. Salah satu contoh kelemahan yang menumbuhkan titik buta adalah arogansi yang merasa diri lebih baik dari yang lain. Dalam hidup sehari-hari, kita melihat banyak orang yang merasa kuat dalam kehidupan beragamanya sehingga sibuk menasihati orang lain yang menurutnya tidak menjalankan aturan-aturan keagamaan dengan baik. Gejala ini pun bisa kita sebut sebagai arogansi tersembunyi.
Douglas Stone dan Sheila Heen, dalam bukunya, Thanks for the Feedback, menggambarkan titik buta sebagai kesenjangan antara diri yang kita pikir kita tampilkan dan cara orang lain melihat kita. Pemahaman ini menunjukkan bahwa persepsi kita tentang diri sendiri sering kali berbeda dengan bagaimana orang lain melihat perilaku, sikap, sampai kepada nada suara kita sehari-hari.
Sering kali, titik buta muncul karena hal-hal yang dianggap biasa oleh kita, tetapi sebenarnya menghasilkan dampak yang mengganggu bagi orang lain. Misalnya, mereka yang terbiasa menaikkan intensitas suaranya dalam diskusi agar semakin didengar oleh orang lain, tidak sadar bahwa ia membuat orang lain merasa terintimidasi. Atau, justru mereka yang enggan untuk tampil mengambil peran karena merasa diri bukan siapa-siapa, padahal rekan-rekannya sangat mengharapkan inisiatifnya dengan keahlian yang dimiliki.
Baca juga: Menjual Reputasi, Aset yang Tak Ternilai
Komunikasi to the point yang kita anggap efisien dalam proses diskusi dan pengambilan keputusan ternyata membuat orang lain menutup mulut. Kebiasaan kerja keras sampai larut yang kita anggap menunjukkan dedikasi, membuat orang di sekitarnya merasa burn out karena tidak lagi memiliki keseimbangan kerja.
Si “pembunuh senyap”
Kebiasaan-kebiasaan buruk ini tidak langsung berakibat fatal sehingga sering dibiarkan tanpa ada yang mengintervensi. Namun, perasaan tidak nyaman orang sering kali berakibat pada keinginan untuk meninggalkan organisasi atau pemimpinnya.
Menurut Tom Gimbel pendiri LaSalle Network, tiga alasan utama individu meninggalkan pekerjaannya adalah tidak suka dengan atasannya, ingin penghasilan lebih besar, dan tidak menyukai pekerjaannya.
Beberapa pemimpin dalam semangat mereka untuk optimistis, justru malah terjebak dalam “masked positivity” dengan menolak pendapat berbeda yang tidak selaras dengan pandangan positif mereka, sehingga malah mengaburkan kenyataan yang ada. Titik buta dapat membuat kita gagal melihat peluang perbaikan ataupun kesempatan berinovasi dengan mengalihkan pada pembenaran-pembenaran.
Kekuasaan besar selain membawa tanggung jawab besar, juga membuka pintu bagi dua jebakan, yaitu hubris (kesombongan) dan fokus yang sempit. Ketika seorang pemimpin merasa superior, mereka sering kali mengabaikan masukan dari bawahan dan cenderung merasa mampu menyelesaikan semua masalah sendiri.
Hal itu bisa berbahaya, terutama pada masa krisis ketika keputusan yang cepat diperlukan dalam kondisi yang serba ambigu. Barry Rand dari Xerox pernah mengatakan, “Jika memiliki seseorang yang hanya bilang ‘ya’ pada Anda, ada ketimpangan dalam hubungan tersebut.”
Ada tiga poros yang perlu kita perhatikan agar tidak membuat titik buta kita bertambah parah. Pertama, kalkulasi emosi. Kita sering mereduksi dampak dari ekspresi emosi kita pada orang lain dengan alasan emosi bersifat sesaat. Sementara itu, orang yang terdampak justru akan menyimpan kesan tersebut sampai lama karena dampak emosi yang dirasakannya. Maya Angelou mengatakan, “Saya telah belajar bahwa orang akan melupakan apa yang Anda katakan, orang akan melupakan apa yang Anda lakukan, tetapi orang tidak akan pernah melupakan bagaimana Anda membuat mereka merasa.”
Kedua, kita sering menyamakan antara situasi dan karakter. Banyak pemimpin yang merasa sah-sah saja bereaksi keras ketika menghadapi situasi yang memang nenegangkan. Sementara itu, orang lain memang melihat reaksinya itu bagian dari karakternya.
Poros ketiga yang harus kita perhatikan adalah niat. Menurut Stone dan Heen, “Kita menilai diri sendiri dari niat kita, sementara orang lain menilai kita dari dampaknya.” Niat baik yang menimbulkan dampak negatif akan menciptakan kesenjangan antara cerita orang lain tentang saya dan cerita yang menurut saya “benar” tentang saya.
Berbenah tanpa pembenaran
Sebagai manusia, kita tidak pernah boleh lupa berbenah diri. Mengetahui dan menyadari penuh bahwa kita memiliki titik buta adalah langkah pertama. Kita perlu menyelaraskan pikiran, perasaan, dan niat dengan perilaku dan dampaknya terhadap orang lain.
Kita pun perlu berniat untuk mengadakan perubahan dalam diri, tanpa pembenaran lagi. Kita juga perlu sadar bahwa cermin jujur yang tidak mencari muka dengan hanya melontarkan pujian sangatlah berharga meskipun terasa menyakitkan.
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.