Memasak sendiri di rumah itu keren. Tengok saja di televisi, terdapat sejumlah program tentang masak-memasak, yang bukan lagi monopoli kaum hawa. Memasak bahkan bisa menjadi kegiatan bersama yang menyenangkan bagi seluruh anggota keluarga. Kalau sudah begitu, dapur sebagai tempat berlangsungnya kegiatan masak-memasak, harus dirancang agar nyaman dan menyenangkan.

Bicara soal penataan ruangan, banyak orang pasti langsung berpikir tentang ketersediaan ruangan dan luas ukuran yang dibutuhkan. Maklum, ruangan kini kian terbatas di banyak rumah di perkotaan. Namun, luasan terbatas sebenarnya bukan halangan. Sesuaikan saja dengan ketersediaan ruangan.

Rumah dengan luas 150-an meter akan kesulitan membuat dapur yang besar. Apalagi membuat dua buah dapur, dapur kering dan basah. Jalan keluarnya adalah dengan membuat satu dapur yang mengakses pada ruang makan atau teras kecil di belakang rumah. Dapur yang sempit menjadi terasa luas oleh karena sedikitnya penyekat masif seperti tembok.

Selain itu, dapur juga harus memperhatikan kebiasaan memasak keluarga. Keluarga yang gemar memasak, apalagi dengan bumbu-bumbu yang pembuatannya cukup rumit, memerlukan fasilitas memasak yang cukup kompleks.

Rak dengan ukuran besar diperlukan untuk aneka perabotan memasak. Meja racik dapat dibuat lebih besar dari sekadar top table, karena pemilik rumah harus membuat bumbu dengan cara diuleg, aneka sayuran yang perlu dibersihkan dan dipotong.

Pergerakan orang

Berapa pun ukuran luas dapur, harus mempertimbangkan arus pergerakan orang (traffic flow). Di dapur terjadi berbagai pergerakan manusia. Di antaranya adalah gerakan di sekitar tempat kerja memasak, entah itu di dekat kompor, bak pencucian, atau pun di meja peracikan. Selain itu, ada pula gerakan dari dapur ke ruang lain, misalnya ke meja makan.

Tata ruang mestinya memperhatikan pergerakan orang tersebut di atas. Ini akan mencegah gerakan tadi saling berkonflik. Pembagian arus pergerakan paling klasik di dapur dikenal dengan work triangle atau “segitiga kerja”. Pembagian ini menjelaskan tiga aktivitas utama di dapur–yang berbeda-beda–namun saling berhubungan satu dengan yang lain.

Yang pertama adalah area penyimpanan makanan (kulkas). Disusul kemudian area meracik dan mencuci bahan (pada bak pencuci atau disebut kitchen sink). Yang ketiga adalah area kegiatan memasak yang ditandai oleh penempatan perabot seperti kompor, tabung gas, dan pengisap asap (cooker hood). Ketiga kegiatan atau area kegiatan itu sedapat mungkin membentuk proses “ban berjalan” atau segitiga. Dengan begitu, proses kerja dapat berlangsung berkesinambungan. Orang yang bekerja di dapur juga dimudahkan, tidak membuang tenaga berlebihan karena harus mondar-mandir ke sana-sini.

Tidak kalah penting adalah sirkulasi udara dan pencahayaan. Masakan ala Indonesia cenderung berbau menyengat, karena serba ditumis atau disajikan dalam keadaan panas.

Jika sirkulasi udara tidak mencukupi, ruangan dapur menjadi pengap oleh bau macam-macam bumbu. Ini mengundang binatang kecil untuk menetap di sana. Kegiatan memasak pun menjadi kurang menyenangkan. Untuk itu dapur perlu bukaan berupa jendela, lubang angin (terawang), atau akses ke arah taman belakang atau samping.

Sedangkan pencahayaan yang cukup diperlukan karena aktivitas memasak membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian. Misalnya ketika membaca resep, meracik dengan menggunakan pisau tajam, maupun aktivitas memasak itu sendiri yang menggunakan api. Pencahayaan dapat diusahakan baik secara buatan dengan lampu listrik maupun alami berupa bukaan jendela dan plafon kaca. [*/ACA]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Oktober 2018