Pandemi sudah menciptakan focusing effect secara otomatis. Perhatian kita selalu mengarah pada pemberitaan mengenai perkembangan virus dan dampaknya. Semua orang, bahkan yang tidak bisa membaca data dan tidak tahu menahu mengenai kesehatan pun sekarang terlihat fasih bicara mengenai virus Covid-19  layak ahlinya. Dampak pandemi di sekitar kita memang sudah begitu kumulatif sehingga membuat kita tidak mampu berpikir jernih selama berbulan-bulan. Kita membutuhkan tim virtual yang sinergis.

Pola work from home yang sudah menjadi wacana bertahun-tahun harus diimplementasikan segera dalam hitungan hari. Kita harus segera menata diri untuk bekerja online mengubah perhatian dan fokus kita.

Minggu-minggu berlalu, bulan pun berganti. Waktu pandemi ini bahkan sudah masuk dalam hitungan tahun. Saat sekarang tim yang sudah bekerja secara remote sepanjang masa ini mulai merasakan permasalahan-permasalahan. Anggota yang baru bergabung tidak merasakan atmosfer tatap muka. Karyawan yang bermasalah dengan perkembangan pribadinya banyak yang tidak tersentuh oleh atasannya, karena keterlambatan dalam medeteksi adanya masalah. Terasa juga melunturnya kultur kelompok atau lembaga karena kehidupan sehari-hari tidak teraba dengan jelas.

Tentunya tantangan bagi para pemimpin adalah bagaimana menjaga semangat tim agar terus penuh energi dan tetap kuat menghadapi hambatan-hambatan yang mungkin lebih dahsyat di masa mendatang. Ada beberapa pemimpin yang berhasil menjaga kebahagiaan, produktivitas, dan kinerja timnya. Kita perlu belajar dari mereka.

Teknologi tetap paling penting

Di pasaran sekarang banyak sekali tersebar platform yang memudahkan kita untuk berinteraksi dan mengorganisasikan pekerjaan kita bersama seluruh anggota tim. Tentunya penguasaan platform-platform ini secara mendalam akan sangat membantu kita untuk melakukan monitoring, berkontak dan berkoordinasi.

Ketrampilan individu dalam menggunakan teknologi memang berbeda-beda. Namun, kita harus memastikan bahwa komunikasi dan  update pekerjaan tetap terjaga di antara seluruh anggota tim, karena dari sinilah tim dapat bergerak maju.

Biasakan keadaan tidak sinkron

Teman saya seorang pimpinan yang bangun pagi. Setiap selesai shalat ia mulai mengirimkan pesan-pesannya meskipun jarang mendapatkan jawaban segera. Ia sangat sadar bahwa rekan-rekannya mungkin masih memiliki kegiatan lain, tapi ia memang mengharapkan jawaban mereka begitu memasuki jam kerja resmi mulai pukul 8.

Ketika kita masih berkantor, komunikasi yang kita lakukan biasanya tatap muka. Rapat pun berlangsung sekitar satu sampai dua jam. Namun, keadaan ini tidak sama bila tim berkerja secara virtual. Ada ahli yang mengatakan, “When everyone is added to group meetings, no one is paying attention”. Kita sendiri menyaksikan adanya gejala ketika orang-orang menggunakan dua perangkat, menutup kamera dan suara, serta beragam tindakan yang menyatakan kehadiran dengan fokus setengah-setengah.

Keadaan tim virtual dengan lokasi bekerja remote ini bisa jadi berbeda-beda. Ada yang berada di ruangan yang nyaman, ada yang berada di dekat dapur ataupun di sebelah kompor masak, sambil mengawasi sekolah anak-anaknya yang juga dilakukan secara daring. Karenanya kita memang harus menerima keragaman keadaan ini dan bisa menyikapinya.

Kita bisa membuat komitmen agar mereka yang ada di dalam grup bereaksi terhadap pesan dalam  jangka waktu tertentu. Meski tidak secepat seperti ketika semuanya fokus di bawah atap yang sama. Yang penting koneksi satu sama lain dalam tim tetap terjaga. Strategi komunikasi tim virtuallah yang perlu berubah.

Definisikan kehadiran

Kita sudah sulit melihat batas-batas lagi. Ada perusahaan yang mewajibkan setiap karyawan berada di depan layar komputernya pada jam kerja. Namun hal itu pastinya sulit diimplementasikan untuk waktu yang lama.

Penelitian yang dilakukan Microsoft menunjukkan dalam model bekerja remote ini, para pekerja mengalami kesulitan untuk menarik batas antara pekerjaan dan kegiatan rumah. Kesulitan mengelola hal ini menjadi top stressor mereka. Karenanya kesepakatan mengenai waktu berkoordinasi perlu dibuat dengan seluruh anggota tim virtual, sehingga tidak terjadi kecemasan untuk terus menerus memeriksa telepon mereka karena khawatir dianggap tidak responsif.

Dengan adanya kejelasan ini, tidak ada lagi individu yang merasa dirinya dicecar kehadirannya atau dianggap menghilang dari kegiatan kantor. Sementara ia sendiri merasa sudah berkontribusi dan menyelesaikan pekerjaannya.

Tekankan pengembangan

Dalam keadaan pandemik, modus bertahan memang menjadi  prioritas utama dalam benak kita. Kebanyakan dari kita tidak memikirkan pengembangan diri, sementara justru di masa ini banyak sekali terjadi perubahan sehingga setiap anggota tim virtual sebenarnya harus siap berubah.

Dalam bukunya  A New Culture of Learning, John Brown dan Peter Denning menyatakan bahwa umur pengetahuan hanya bertahan maksimal 10 tahun, sehingga memasuki masa 5 tahun, pengetahuan yang kita miliki ini mulai menjadi tidak relevan. Dengan kata lain, karyawan yang tidak belajar apa-apa selama 5 tahun, bisa dibilang sudah tidak banyak manfaatnya bagi perusahaan.

Kita perlu membangun kultur belajar dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: apa yang sedang dibaca saat ini? Keterampilan baru apa yang sedang dipelajari? Ada penyadaran bahwa belajar itu perlu dan harus berlangsung terus-menerus.

Connect one on one

Bagaimana pun efektifnya sesi online, pertemuan satu lawan satu sangat berbeda efeknya.  Dalam pertemuan empat mata ini, bonding jauh lebih mudah terjadi, apalagi bila dilakukan secara rutin. Walaupun pertemuan virtual tidak seefektif tatap muka, bila memang terpaksa tetap harus dilakukan.

Namun mengingat tampilan kita di layar menjadi lebih flat daripada sebenarnya, kita perlu melakukan upaya ekstra untuk tampil menarik di layar audio visual. Upayakan untuk selalu lebih ekspresif dan bold agar passion kita tertangkap dan tertular kepada para anggota tim virtual lainnya.

Penelitian mengatakan, bawahan biasanya sangat antusias menghadapi pertemuan satu lawan satu ini. Ini adalah momen yang penting untuk menjaga ikatan hati dengan tim meskipun virtual.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/ Konsultan SDM

Baca juga : Karakter Resilient , Getting Back After a Set Back