Beberapa bartender di sebuah restoran memiliki pelanggan tetap yang kerap datang dan bergaul di restorannya. Pelanggan tersebut demikian akrabnya sehingga terkadang menunda pembayaran ketika kebetulan lupa membawa dompetnya. Bahkan, sampai ada tim bartender yang meminta izin kepada atasan untuk pergi ke bandara mengantar si pelanggan pulang ke kampung halamannya.

Bukankah hubungan ini menunjukkan kemesraan mengharukan yang tidak tercantum dalam prosedur standar perusahaan? Ini hanyalah sentuhan pribadi yang diberikan pada pelanggan yang memang sudah dengan setia berkunjung ke restoran mereka. Bila kita meninjaunya secara finansial, bayangkan betapa persahabatan ini mendatangkan bisnis mengingat pelanggan ini pasti tidak akan pergi ke tetangga sebelah.

Banyak orang tahu, memberi pelayanan yang “lebih” pasti akan memberi efek positif pada bisnis. Bahkan, ada ungkapan lama dari Roger Staubach yang mengatakan, “There are no traffic jams along the extra mile.” Metafora ini bisa kita asosiasikan dengan banyak hal termasuk juga alam dunia bisnis sekarang, ketika membicarakan masalah CX yang biasa dikenal sebagai customer experience.

Pengalaman positif pelanggan akan sangat memperkuat rasa percaya dan hubungan pelanggan dengan brand tertentu. Pengalaman penumpang taksi yang mendapatkan kembali barangnya yang tertinggal pasti akan selalu diingat tidak hanya oleh sang pelanggan, tetapi juga lingkungan teman-teman, keluarganya, bahkan dalam dunia digital sekarang ini mungkin juga diviralkan ke khalayak luas.

Flavorx adalah produsen di Amerika yang membuat produk yang bisa menetralisasi rasa obat untuk anak-anak agar mereka tidak berkeberatan mengonsumsi obat yang tidak enak rasanya. Chris Cielewich mengharuskan para penjual produknya untuk meminta setiap anak yang ikut membeli obat untuk memilih sendiri rasa yang mereka inginkan. Hasilnya, perusahaan tersebut mendapatkan peningkatan penjualan yang sangat signifikan.

Going extra mile adalah konsep pelanggan mendapatkan lebih daripada yang ia harapkan. Hal ini juga berkaitan dengan “usaha lebih” yang dilakukan seseorang dalam bekerja sehingga ia bisa melaju lebih depan daripada rekan rekannya.

Apakah pada masa krisis seperti ini kita masih bisa melakukan extra mile? Bukankah kita sendiri sudah sibuk dan hampir tidak memiliki waktu ekstra? Justru saat disrupsi sudah terjadi dan semua orang dituntut untuk design thinking, kita perlu memikirkan tindakan ini sebagai strategi bertahan. Perusahaan-perusahaan startup banyak yang mengoptimalkan strategi ini dengan mengobral semua hal istimewa yang bisa mereka lakukan, mulai dari gratis ongkos kirim, beragam bonus voucer, hingga layanan-layanan customized lainnya.

Masa pandemi seperti ini justru merupakan kesempatan bagi kita semua yang berada dalam bisnis pelayanan untuk bisa memberikan pelayanan ekstra kepada pelanggan agar mereka tidak pindah ke lain hati. Hal-hal sederhana yang tidak terduga seperti mengirimkan belanjaan pelanggan dengan tambahan ucapan penyemangat hari bisa merupakan sesuatu bagi mereka yang menerimanya. Going extra mile juga memastikan, pelanggan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya meskipun mungkin bisa saja hal tersebut sudah di luar area tanggung jawab kita.

Ketika barang pesanan pelanggan ternyata tidak sampai ke alamat yang tepat, padahal dia sangat memerlukannya segera dan akan membutuhkan waktu lama untuk mengurusnya dengan pihak logistik, kita dapat membantu mengirim ulang barang tersebut agar pelanggan bisa mendapatkannya segera, tentunya dengan biaya tambahan yang ditanggung oleh pelanggan. Pelanggan pasti merasa terbantu dengan kepedulian dan kesediaan kita untuk membantunya.

Jadi, bagaimana agar semangat extra mile ini bisa tersebar di seluruh perusahaan?

“Extra mile” oleh seluruh tim

Untuk menjadi institusi yang dikenal dengan extra mile-nya tidak bisa dilakukan hanya oleh 1–2 orang saja dalam institusi tersebut. Tidaklah mudah untuk menyajikan servis yang sudah 100 persen sesuai dengan SLA organisasi menjadi 110 persen. Apalagi dalam situasi pandemi yang belum berhenti sampai sekarang.

Sebuah studi melakukan penelitian untuk mengetahui apa yang membuat para karyawan bersemangat dalam memberikan servis yang baik. Ternyata 20 persen mengatakan karena adanya komentar teman, 17 persen karena keinginan sendiri untuk berbuat lebih baik, dan 13 persen karena rasa dihargai. Hal ini menunjukkan, peer recognition perlu digalakkan di seluruh lapisan organisasi karena tampaknya individu rela bekerja lebih keras demi persahabatan.

Penelitian tersebut juga menunjukkan, dua pertiga dari karyawan ternyata tidak menyadari adanya budaya perusahaan. Perlu kita akui, menanamkan budaya pada benak setiap karyawan tidaklah mudah. Kita tidak bisa berhenti dengan mencanangkan semata budaya yang penting bagi kita, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana melakukannya sehingga hal ini benar-benar di-buy in oleh setiap karyawan dan menjadi sesuatu yang mereka percayai juga. Culture isn’t just some nice ideas, either. It must be woven into every process. It must be applied and lived out.

Dalam mengimplementasikannya, satu hal yang juga sangat penting adalah keterampilan kepemimpinan. Tidak hanya bagi para atasan, tetapi juga kepada para karyawan. Sering kali kita memfokuskan diri pada kepemimpinan seorang pemimpin, sampai lupa bahwa setiap individu juga bertanggung jawab untuk mengembangkan dirinya, untuk berkontribusi, dan untuk berinovasi. Banyak karyawan yang tidak happy karena sikap atasannya, tetapi banyak pemimpin juga yang frustrasi dengan keengganan anak buah untuk berubah.

Karyawan yang merasakan fun akan melakukan semua usaha dengan gembira. Dari reaksi-reaksi yang diberikan teman kerja, atasan, anak buah, dan pelanggan, ia pun akan semakin bahagia. Semangat inilah yang dapat terus menular dan bergulir ke seluruh penjuru organisasi.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM