Dalam berbagai rapat kerja akhir tahun ini, kata transformasi dan inovasi banyak bergaung menjadi kata kunci. Semua orang berkeyakinan bahwa inovasilah yang akan membuat kita dapat terus berpacu dalam kompetisi. Oleh karena itu, semua pimpinan menyerukan kepada anak buahnya untuk terus-menerus berfokus pada inovasi.

Namun, banyak karyawan yang memiliki semangat menggebu-gebu dalam berinovasi juga mengalami kebingungan bagaimana harus memulainya ketika mereka membandingkan diri dengan para start-ups yang kreatif dan lincah. Bisa kita bayangkan jalan pikiran yang tadinya dibentuk untuk selalu mematuhi standar operasi, sekarang justru dipaksa untuk mempertanyakan praktik-praktik yang ada, berpikir out of the box, dan menemukan solusi-solusi baru. Innovate or die kata orang.

Untung saja, banyak perusahaan sudah menjalankan pelatihan dan sosialisasi untuk menanamkan pemahaman bahwa kita dapat berinovasi dalam segala bidang. Inovasi tidak terbatas pada produk baru saja. Proses bisnis yang dibuat lebih singkat, lebih customer friendly, juga dapat disebut inovasi. Toko yang tadinya dijaga oleh pramuniaga, yang terkadang membuat pelanggan risih karena terus-menerus menempel pada pelanggan dengan maksud dapat cepat membantu pelanggan bila dibutuhkan, mengalami transformasi secara digital dengan menyusun panduan mengenai letak display produk, keterangan mengenai spesifikasi produk sehingga pelanggan bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan dengan cepat. Manajemen yang tadinya birokratis sekarang sudah menyediakan sistem pengumpulan ide dan pendapat dari lapangan. Perusahaan yang sebelum ini mengandalkan reputasinya yang besar sekarang merasa perlu memasarkan diri dengan lebih agresif dan kreatif.

Cara pikir baru yang sering disebut sebagai design thinking merupakan proses berpikir yang tidak lagi dimulai dari benak pemimpin atau para pemikir perusahaan lainnya, tetapi justru bermula dari kebutuhan pasar. Apa yang akan membuat pelanggan puas, senang, tertarik, sampai tergoda untuk membeli. Pokok persoalan ini dianalisis untuk melahirkan cara, produk, ataupun manajemen baru di dalam perusahaan kita. Analisis pun tidak boleh dilakukan terlalu lama menunggu sampai semua data benar-benar jelas, tetapi perlu langsung melakukan uji coba dalam skala yang tidak terlalu besar risikonya.

Prinsip-prinsip berinovasi di perusahaan

Agar transformasi dapat berjalan dengan lancar, inovasi tidak boleh terjadi secara sporadis, hit and miss tanpa grand design. Kita perlu sama-sama memahami apa yang sedang terjadi di luar dan mendefinisikan ancaman terdekat yang akan kita hadapi. Dari sini, kita bersama-sama menciptakan strategi inovasi yang lebih komprehensif dan dapat ditangkap oleh setiap divisi di perusahaan, tidak peduli garis depan ataupun belakang. Ada beberapa hal yang perlu dianut oleh seluruh perusahaan bila napas inovasi ingin diembuskan di dalam organisasi.

Pertama, kita perlu melihat start ups dari sudut sistematika berpikirnya. Bukan sekadar penampilan, cara mereka melakukan brainstorming maupun hal lain yang sering dibahas menjadi ciri penduduk Silicon Valley. Kondisi yang sesungguhnya perlu kita pelajari dari para start ups ini adalah kekuatan mereka membuat metode kerja dalam kondisi uncertainty ini yang serba tidak jelas, tidak pasti, tetapi tetap dapat terus bergerak maju.

Kedua, kegiatan inovasi terancam mengalami kegagalan bila proses searching dan exploring dilakukan dalam proses yang sangat singkat. Banyak di antara manajemen puncak perusahaan ketika mendapatkan sebuah ide langsung berusaha mengerahkan seluruh sumber daya di perusahaan mengeksekusi idenya sementara belum ada pembahasan yang tuntas mengenai pemikiran tersebut. Asumsi adalah musuh besar inovasi. Asumsi harus ditunjang oleh eksplorasi yang kuat. Making decisions based on evidence means that we must go wherever the evidence takes us.

Ketiga, banyak yang membayangkan bahwa inovasi adalah sekumpulan ide yang cool. Padahal, inovasi tetaplah harus memiliki landasan mode bisnis yang menguntungkan perusahaan. Without a good business model, even the coolest ideas will fail. Model bisnis yang baik pasti menjawab kebutuhan pelanggan dan juga memikirkan nilai tambah yang menguntungkan. Di sinilah saktinya proses eksplorasi yang dapat menemukan solusi yang tepat untuk menjawab kebutuhan pasar.

Keempat, right thing, right time. Banyak bisnis yang sudah melakukan inovasi ketika pasar belum siap. Contohnya, Blue Bird yang justru sudah memiliki aplikasi online lebih dahulu daripada lahirnya sang unicorn Gojek. Namun, kebiasaan menggunakan aplikasi yang belum terbangun di masyarakat membuat penggunaan aplikasi mereka pun tidak berkembang. Di sinilah kita perlu sekali melakukan riset mengenai pasar dan langkah yang perlu kita lakukan untuk “mendidik” pasar.

Kelima, right question, right time. Proses manajemen yang baik pasti memancing setiap manajer untuk bertanya sebelum memulai prosesnya. Misalnya, dengan mempertanyakan return on investment (ROI) sebelum memulai suatu proyek akan membuat manajer memetakan pemikirannya secara menyeluruh mengenai proyek yang akan dikembangkannya. Proses inovasi yang baik harus membantu setiap manajer untuk berpikir ke mana menempatkan anak buahnya, bagaimana membuat keputusan strategis dan bagaimana membawa divisinya bergerak maju ke depan.

Kelima pertimbangan ini diperlukan agar proses inovasi kita berjalan sesuai rencana, tidak sia-sia membuang energi dan dana. Tetap ada pertanyaan-pertanyaan dalam benak kita yang membuat kita tidak besar pasak daripada tiang. Pertanyaan -pertanyaan seperti siapa pelanggan Anda? Problem apa yang dapat kita pecahkan? Bisakah kita memecahkan masalahnya? Berapa biaya solusi kita? Seberapa kuat daya beli pelanggan? Apakah harga kita cocok dengan selera pelanggan? Bagaimana cara terbaik menjangkau pelanggan kita?

It is not only our products that need continuous improvement. We should also continuously improve the processes we use to create them.

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM

Baca juga: Menyikapi Anak Buah Bermasalah