Covid-19 telah membawa kita ke dalam pola hidup baru yang serba waswas. Dalam krisis kesehatan global ini, sudah wajar jika kita merasakan kecemasan, depresi atau semua jenis kelelahan mental, dan hilangnya motivasi.

Rumah tangga cekcok karena hal-hal sepele, yang terpicu oleh semua ketegangan menjadi seolah ribut besar. Proses belajar untuk berkoordinasi dengan rekan kerja sekantor yang work from home juga tidak mudah. Butuh waktu. Sementara itu, peraturan pemerintah juga tidak pasti. Tentunya kita tidak bisa menyalahkan begitu saja sebab keadaannya inilah yang demikian tidak menentu. Lalu, bagaimana kita menyikapi keadaan yang tidak menentu ini? Dalam kondisi ini, alternatif terbaik adalah berpikir positif.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa pilihan ini hanyalah ungkapan. Padahal, sebenarnya, jika bisa berpikir konstruktif, tetap happy, dan mempunyai isi pikiran yang berguna, kita tetap bisa secara aktif berkontribusi. Tentunya kita tidak bisa juga mengatakan bahwa berpikir positif akan membuat kita kebal dari Covid-19, tetapi sudah banyak ahli berpendapat bahwa pikiran positif bisa meningkatkan imunitas kita.

Selain itu, kita perlu mengingat bahwa berpikir positif di sini bukan berarti meredam ketakutan. Berpikir positif berarti kita tetap mempunyai beberapa perangkat yang bisa mempersenjatai kita menembus ketakutan dan kekhawatiran untuk menemukan arti dan keseimbangan.

Kaitan erat antara badan dan pikiran

Penelitian pada tahun 1980-an memastikan bahwa otak berkaitan erat dengan sistem imun manusia. Studi di University of Queensland pada tahun 2014 oleh tim periset Dr Elise Kalokerinos melakukan penelitian longitudinal terhadap 50 orang berusia 65–90 tahun, selama 2 tahun. Para peserta diberi beberapa foto yang bersifat positif dan negatif, kemudian diminta untuk mengingat foto-foto tersebut. Hasil menunjukkan bahwa peserta yang lebih banyak mengingat foto-foto positif ternyata mempunyai antibodi lebih banyak, yang berarti sistem imunnya lebih baik,  daripada peserta yang mengingat foto-foto negatif. Artinya, ada kaitan erat antara imunitas dan kesehatan psikologis manusia.

Jadi, sebetulnya, bersikap positif dan optimistis tanpa syarat tertentu itu tetap menghasilkan imunitas yang lebih baik. Sebaliknya, dengan bersikap pesimistis, kita bisa cepat sakit dan bahkan bisa dihinggapi penyakit kronis.

Bersikap toleran terhadap ketidakpastian

Ketika bekerja dari rumah tanpa melihat kemajuan perusahaan ataupun arah perkembangan tempat kita bekerja, kita kehilangan ritme kerja. Hal ini dapat melemahkan motivasi kita. Dalam menghadapi keadaan tidak biasa ini, kita perlu menjaga normalitas. Hal itu tidak mudah. Dalam ilmu psikologi terdapat istilah “The Avoidance Paradox”, yaitu semakin kita menghindari sesuatu yang membangkitkan kecemasan, semakin kita melipatgandakan kecemasan yang ada.

Resilience

Langkah utama dalam bersikap toleran terhadap ketidakpastian adalah mengakuinya. Ketidakpastian ini perlu ditembus atau diterima, dan kekuatan yang dibutuhkan untuk itu disebut resilience. Resilience bukanlah karakter, melainkan keterampilan yang bisa dipelajari. Biasanya keterampilan ini dimiliki oleh para olahragawan yang sudah biasa jatuh bangun dan mengalami kekalahan. Orang mencari tantangan yang semakin sulit, maka akan semakin meningkatkan produksi adrenalinnya. Bagi yang belum mempunyai mental seperti ini, bisa melatih diri.

Pertama, kita perlu menuliskan apa saja yang kita khawatirkan dan menganalisis tingkat bahaya yang akan kita alami. Kita lalu memikirkan akibat terburuk bila hal-hal yang sudah kita tuliskan itu benar terjadi: apa yang akan kita lakukan, dan jika gagal, ke mana kita harus meminta pertolongan. Bila skenario ini sudah kita bayangkan, selanjutnya kita bisa mendiskusikan hal ini dengan orang yang bisa kita mintakan tolong dalam bayangan kita tersebut. Hal ini akan memperkuat keyakinan kita dan memberi kita kekuatan untuk menghadapi masalah pada masa depan.

Pikiran yang jernih

Hal yang sering membuat pikiran  semakin waswas adalah karena kita tidak berhenti menganalisis dan membuat judgement. Sebenarnya kita bisa menghentikan judgement untuk waktu-waktu tertentu dan melepas pikiran dengan menerima rangsangan-rangsangan baru yang sering tidak kita indahkan. Justru di sini biasanya pikiran positif timbul dan kita bisa merasakan kehangatan hubungan dengan lingkungan sekitar. Bahkan, kita sendiri pun bisa mengobservasi diri. Dengan banyak memperhatikan bagaimana kita berpikir, kita bisa menjadi seorang yang lebih obyektif.

Kita sering tidak menyadari bahwa sikap perfeksionis sering menjadi bumerang bagi diri sendiri. Karena ingin menyelesaikan suatu tugas sebaik-baiknya, kita menjadi ketinggalan berkembang. Kita pun jadi sering tidak menerima hal-hal positif yang sudah ada di sekitar atau bahkan yang sudah dimiliki. Jadi, sebetulnya rasa syukur itu tidak hanya rasa terima kasih untuk apa yang sudah kita punyai, tetapi juga untuk kemampuan dan keterampilan kita dalam menghadapi kesulitan yang sedang berlangsung.

Kecemasan, stres, dan kepanikan, sering membuat kita merasa lemas, tidak berdaya dan helpless. Pada saat pandemi, ketika kemungkinan tertular demikian besar, kita mungkin sekali mengembangkan rasa helpless ini. Kita lupa bahwa sebenarnya masih banyak hal yang ada dalam kendali kita dan dapat kita kontrol. Kita tinggal mengarahkan sudut pandang dari sisi lain dan membuat daftar tentang hal-hal yang masih bisa kendalikan. Dari sini, kita bisa merasa lega dan bertenaga. Dalam kondisi ancaman kesehatan ini, misalnya, kita betul-betul bisa mengendalikan makanan kita dan memilih makanan yang sehat. Konon, asupan yang sehat mengoptimalkan daya tahan kita, demikian juga dengan merutinkan kebiasaan berolahraga. Yang pasti, be kind to yourself.

Eileen Rachman & Dyah Larasati

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING