Istilah “stoik” diambil dari filsafat lama Stoikisme yang pertama kali dikembangkan oleh Zeno dari Citium sekitar 300 SM di Yunani Kuno. Lalu dikembangkan lagi oleh para filsuf besar seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius.
Stoikisme bukanlah filosofi tentang menjadi dingin, apatis, atau anti-emosi. Sebaliknya, Stoikisme adalah seni mengelola emosi dengan bijak. Bukan menekan atau menafikan situasi tertentu, melainkan dengan kesadaran mengenali, menyaring, dan memutuskan mana yang pantas mendapat energi dan perhatian kita. Stoikisme mendorong kita untuk menumbuhkan nilai-nilai seperti keberanian, kebijaksanaan, dan disiplin diri. Jadi, bukan tentang melarikan diri dari kenyataan atau menghindari tantangan, melainkan tentang merangkul dan menemukan kedamaian batin di tengah kekacauan.
Para pemikir menanamkan prinsip-prinsip Stoikisme sebagai jalan untuk hidup bermakna, bukan hanya hidup nyaman. Dalam Meditations yang ditulis selama masa perang di tengah kekuasaan dan tanggung jawabnya yang besar, Kaisar Marcus merenungi betapa pentingnya mengatur pikiran sendiri. “Anda memiliki kekuatan atas pikiran Anda, bukan peristiwa-peristiwa di luar diri Anda. Sadarilah hal ini dan Anda akan menemukan kekuatan.”
Kita hidup dan bekerja pada era yang penuh tekanan dan tantangan. Banyak yang mulai merasa kewalahan dan mencari cara agar dapat tetap tenang di tengah arus informasi dan tuntutan yang tak kunjung reda. Bagaimana menghindari overthinking ketika ada komentar buruk tentang performa kerjanya, sikap atasan yang dingin, maupun rekan kerja yang tidak kooperatif.
Ada tiga prinsip penting Stoikisme. Pertama, kita harus tahu apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang tidak (the dichotomy of control). Apa yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, supplier, apalagi pelanggan kita adalah di luar kontrol kita. Namun, bagaimana perasaan kita bereaksi terhadap sikap orang lain terhadap kita, sesungguhnya berada dalam kontrol penuh kita.
Atasan atau pelanggan bisa saja memaki-maki diri kita, tetapi mereka tidak memiliki akses ke dalam pikiran dan perasaan kita bila kita tidak mengizinkannya. “Aku tidak bisa mengubah orang lain, tetapi aku bisa mengubah caraku bereaksi.” Sudah saatnya kita mulai melihat bahwa kita bukanlah boneka yang bisa disetel untuk marah, senang, menangis kapan pun pihak lain menginginkannya. Kitalah yang seharusnya memegang kendali.
Ketika seseorang berkata kasar atau bersikap tidak adil, alih-alih membalas, dengan sadar kita memberi ruang untuk memikirkan reaksi terbaik kita, seperti kata Marcus Aurelius, “Balas dendam terbaik adalah tidak menjadi seperti musuh Anda.”
Kedua, kita diajak untuk hidup dengan kebajikan, yaitu bijaksana, berani, adil, dan menahan diri. Di tempat kerja, ini bisa menjadi pembeda antara yang larut dalam drama dan yang tetap bekerja dengan tenang. Seorang pegawai muda yang mendapat kritik keras bisa beraksi dengan marah, lalu diam-diam mulai mencari lowongan baru.
Namun, sikap Stoik mengajaknya berpikir, “Apakah kritik ini memang tentang diriku atau ini hanya persepsi sesaat dari atasan? Apa yang bisa aku pelajari dan ubah?” Seorang Stoik tidak reaktif, tapi reflektif. Stoik mengajak kita bertindak dengan bijak, tegas tapi tidak meledak-ledak.
Ketiga, kita diajak untuk lentur beradaptasi dengan perubahan. Kaum Stoa mengajarkan kita untuk memandang perubahan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan untuk bertumbuh dan belajar. Pada awal AI diperkenalkan, banyak diskusi mengenai AI, tentang kelebihan dan kekurangannya. Banyak pro dan kontra yang dibahas.
Namun, perubahan tidak terbendung. Jalan terbaik adalah bagaimana kita bisa terampil berselancar dengan perubahan, bagaimana kita bisa memanfaatkannya secara optimal sesuai kebutuhan dan nilai-nilai yang kita pegang. AI sebenarnya adalah sebuah alat, metode baru, seperti ketika kita dulu berkenalan dengan komputer, aplikasi kerja Excel, dan lainnya. Pada awalnya mungkin terlihat menakutkan tapi sekarang menjadi bagian dalam hidup kita.
Tentu, bersikap Stoik membutuhkan latihan dan kesadaran terus-menerus. Misalnya, pada awal hari, kita menulis hal yang tidak bisa kita kendalikan hari itu (cuaca, sikap orang lain, hasil proyek) dan juga hal yang bisa kita kendalikan (niat baik, ketelitian, atau keteguhan kita).
Pada malam hari, kita telaah kembali bagaimana perjalanan pengendalian diri kita pada hari itu. Kenali apa yang dapat memicu emosi kita dan bagaimana respons lebih bijak yang dapat kita lakukan pada lain kesempatan.
Penulis Greg Sadler menyarankan latihan harian untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan buruk (negative visualization), mengenali pemicu emosi kita, dan apa yang bisa kita lakukan sambil tetap berpegang pada nilai pribadi. CEO Condé Nast International, Jonathan Newhouse, mengatakan, prinsip “don’t suffer imagined troubles” membuatnya lebih tenang dalam mengambil keputusan bisnis yang berisiko tinggi.
Ia juga meminta tim eksekutifnya untuk membaca The Daily Stoic agar diskusi mereka tidak hanya berbasis data, tetapi juga berpegangan pada nilai dan dilakukan dengan ketenangan berpikir. Pete Carroll, pelatih Seattle Seahawks, mengajak para pemainnya untuk menuliskan hal-hal yang mereka khawatirkan, lalu mendiskusikan bagaimana menghadapinya dengan kendali diri, bukan impuls.
Lebih jauh, Stoikisme bisa menjadi strategi hidup yang sehat. Ia tidak hanya pelindung terhadap stres, tetapi juga alat untuk membangun budaya kerja yang lebih stabil dan penuh kejelasan. Jika satu orang dalam tim mampu bersikap Stoik, kemungkinan besar ia akan menular. Ia membawa ketenangan dalam konflik, kejernihan dalam rapat, dan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan. Dan di sanalah, Stoikisme menemukan relevansinya di setiap situasi.
Apakah ini mudah? Tentu tidak. Namun, seperti yang ditulis Epictetus, “Tidak ada hal hebat yang tercipta secara tiba-tiba.” Ini adalah latihan seumur hidup. Mungkin, pada era yang serba cepat ini, justru filosofi tua inilah yang bisa menjadi penyeimbang.
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman & Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.